Oleh: Putri Nurbayani Silaban A.md, Aktivis Muslimah
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Presiden Jokowi kembali merencanakan perombakan kabinet (reshuffle) setelah melakukan sidang paripurna DPR RI pada Jumat (9/4/2021). Perombakan formasi anggota kabinet ini, bukan pertama kali dilakukan, tetapi sebelumnya sudah terjadi lima kali selama periode jabatan Presiden, yakni Reshuffle pertama dilakukan pada 12 Agustus 2015, reshuffle kedua pada 27 Juli 2016, reshuffle ketiga pada Januari 2018, reshuffle yang keempat pada 15 Agustus 2018 dan reshuffle yang kelima terjadi pada periode kedua kepemimpinannya yakni pada 22 Desember 2020 tahun lalu.
Reshuffle yang terjadi ini, tentu bukan tanpa alasan, namun ada banyak alasan, salah satunya karena menteri tersebut tersandung korupsi yang menyebabkan kosongnya kursi kabinet serta merusak citra pemerintah, kinerja yang tidak optimal dan cenderung stagnan. Bahkan, tak jarang pergantian menteri terkait dengan politik balas budi sesuai dengan jatah yang diberikan meskipun yang bersangkutan tak memiliki keahlian atau latar belakang pendidikan.
Meski sudah berulang kali melakukan bongkar pasang anggota kabinet, namun tidak menujukkan pengaruh signifikan dalam kaitan ekonomi Dan kesejahteraan Rakyat.
Hal seperti ini wajar terjadi dalam sistem pemerintahan kapitalis sekuler yang memisahkan agama dan kehidupan sendiri sendiri dengan tolak ukur perbuatan berdasarkan manfaat.
Berbeda dengan sistem pemerintahan dalam konsep islam di mana standar pergantian jabatan dilakukan jika seseorang telah meninggal dan jika berbuat maksiat, seperti korupsi dan perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’.
Jabatan semata- mata hanyalah amanah yang dipikul untuk ditunaikan dengan baik dan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak. Seperti sabda Rasul: “Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Seluruh kekuasaan di dalam Islam ditujukan untuk mengimplementasikan aturan Islam dan amar ma’ruf nahi munkar. Tugas pemerintahan didelegasikan kepada ahlul taqwa(orang yang memiliki ketaqwaan) dan ahlul kifayah (orang yang memiliki kapabilitas).
Jadi, prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketaqwaan dan kafa’ah (kemampuan yang cukup). Pasalnya, pemilihan pejabat negara berkaitan dengan nasib masyarakat, demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Dalam Islam, partai hanya berfungsi sebagai muhasabah lil hukam (pemberi koreksi untuk penguasa/pemerintah) dan tidak masuk ke dalam pemerintahan . Partai-partai Islam yang boleh hanya bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam.
Syekh Taqiyyudin Annabhani menyatakan bahwa, “Seorang pejabat Negara harus memiliki 3 (tiga) kriteria yaitu: Alquwwah (kekuatan), Attaqwa (ketaqwaan), dan Al rifq bi arra’yah (lembut terhadap rakyat).” Kaidah mengangkat khalifah memiliki fisik kuat dan amanah, mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai pekerjaan, dan belas kasih terhadap rakyat. Khalifah dapat memberhentikan pejabat negara jika mendapat pengaduan dari masyarakat bahwa pejabat tersebut telah berbuat kesalahan dan kemaksiatan.
Keseluruhan kriteria tersebut dapat dilaksanakan jika diterapkan Islam dalam konteks kaffah. Wallahua`lambissawab.[]
____
Comment