Resensi Buku Nyanyi Sunyi Para Puan

Resensi220 Views

 

Identitas Buku

Tahun terbit: 2024

Judul: Nyanyi Sunyi Para Puan

Penerbit: Tanah Air Beta

Penulis: Dian Septi Trisnanti

Ukuran:13,5 x 20

Halaman: 210

Sinopsis:

“Nyanyian Sunyi para Puan” mendokumentasikan pengalaman enam penyintas kekerasan dan pelecehan seksual, dan satu pengalaman pendamping penyintas.

Tidak hanya tentang pengalaman mengalami kekerasan dan pelecehannya saja, buku ini juga menceritakan perjalanan mencari keadilan, mengatasi trauma, menyembuhkan diri, dan meneruskan hidup.

Buku ini dibuka oleh cerita Maya yang tertipu oleh laki-laki kenalannya di Facebook. Laki-laki itu meminta foto PAP lalu mengambil alih akun facebook Maya dan memeras. Diikuti oleh cerita Lusi yang dilecehkan oleh pamannya sendiri sewaktu masih berusia belia.

Keberanian Lusi melaporkan ke polisi berakibat pada stigmatisasi dan permusuhan dari keluarga besarnya. Lain lagi dengan Laras, PRT belia ini dilecehkan oleh anak laki-laki majikannya. Laras melaporkan apa yang terjadi padanya ke polisi.

Namun, proses panjang yang membutuhkan banyak biaya dan kemiskinannya membuat Laras akhirnya menerima tawaran damai dengan sejumlah uang. Sementara itu, Rini berhasil menyembuhkan traumanya melalui tarian setelah bertahun-tahun dikuntit dan diteror oleh laki-laki anak ibu kosnya.

Di tempat lain, Mina menemukan organisasi yang membuatnya merasa percaya diri dan menemukan kembali tujuan hidupnya. Bertahun-tahun sebelumnya, Mina kabur dari rumah untuk menjadi pekerja seks setelah dilecehkan bapak kandungnya terus dan tidak dipercaya oleh ibunya, yang juga pekerja seks.

Cerita selanjutnya adalah cerita Rara, buruh pabrik garmen di Jakarta Utara yang yang mengalami kekerasan berlapis. Atasan di tempat kerjanya meminta Rara mengirim foto PAP yang kemudian ditolaknya. Sampai akhirnya, Rara diPHK sebagai akibat dari penolakannya.

Buku ini diakhiri dengan cerita pengalaman seorang pendamping. Bagian ini menyoroti betapa pendamping adalah bagian paling penting dari support system bagi penyintas dan korban, namun seringkali perannya diabaikan, terutama oleh negara.

Dengan caranya sendiri, buku ini juga merupakan bentuk advokasi hak-hak penyintas kekerasan seksual. Kelima penyintas dalam buku ini tidak mendapatkan hak mereka sebagai korban seperti didampingi oleh pendamping hukum, mendapatkan layanan konseling psikologis, terutama korban anak di bawah umur, dan hak akan informasi yang mencukupi untuk membuat keputusan.

Informasi yang mereka butuhkan adalah ke mana melaporkan, ke mana mendapatkan bantuan, dan bahaya apa yang mengancam, seperti dilaporkan balik oleh pelaku dan jeratan UU ITE jika menyebarkan lewat jaringan internet.

Kesulitan penyintas mendapatkan haknya ini juga diperburuk oleh karakteristik kekerasan dan pelecehan seksual yang lebih banyak terjadi di ruang-ruang privat dan pelakunya adalah orang dekat.

Penulis buku ini, Dian Septi Trisnanti, meskipun ia menekankan pada perlunya undang-undang dan aturan pelaksananya dalam menangani kekerasan/pelecehan seksual, ia juga berusaha untuk menekankan betapa pentingnya support system dalam kasus kekerasan/pelecehan seksual, terutama yang korbannya adalah anak-anak.

Pengalaman penulis yang juga pendamping menjadikan buku ini kaya akan detail. Namun, di sisi lain, kekayaan detail seringkali melelahkan.

Buku ini bisa dibaca sebagai cerita yang mungkin akan membuat bulu kuduk berdiri. Namun buku ini juga bisa dipakai sebagai sebuah pelajaran tentang bagaimana menciptakan support system bagi penyintas dan korban, dan tentang bagaimana kita musti bersikap ketika anggota keluarga menjadi pelaku kekerasan/pelecehan seksual. Selain itu, buku ini juga penting sebagai rujukan bagi para pendamping korban/penyintas kekerasan dan pelecehan seksual.

Namun, yang paling penting adalah bahwa buku ini harus dibaca oleh siapa saja karena siapa saja bisa menjadi korban, keluarga korban, keluarga pelaku, dan bahkan pelaku kekerasan/pelecehan seksual.[]

Comment