Penulis: Hida Muliyan, S.K.M | Pemerhati Kesehatan Masyarakat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hingga saat ini stunting masih menjadi PR besar negara khususnya daerah-daerah tertentu yang prevalensinya masih tinggi. Banjarmasin Kalimantan Selatan dikabarkan turut menjadi perhatian.
Angka prevalensi stunting di Banjarmasin masih tinggi. Pemko mencari cara untuk menekannya dengan menggelar rembuk pengentasan stunting di Rattan Inn Hotel Banjarmasin, Selasa (23/4).
Salah satu strateginya, mengintervensi para calon pengantin. Sebelum menikah, mereka mesti mengisi data di aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil). (RadarBanjarmasin, Rabu/24/4/2024)
Anehnya, provinsi yang terkenal dengan kekayaan alamnya ini justru memiliki ribuan anak yang terdeteksi gizi buruk. Maka wajar jika berbagai pihak mempertanyakan akar masalahnya di mana?
Berbagai macam program sebagai upaya untuk menurunkan prevelansi stunting, seperti pemberian tablet tambah darah, edukasi menyusui dan Makanan Pendamping ASI (MPASI), Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan lain lain. Bahkan program ini tak hanya bekerjasama dengan posyandu tapi juga pihak lain seperti KEMENAG dan Dinas Pendidikan. Semua itu sudah dijalankan.
Pemerintah juga mulai membuat program strategi dengan mengintervensi para calon pengantin. Namun, sayangnya dari semua program tersebut bahkan yang dianggap sebagai solusi paling jitu, tak juga membawa perubahan signifikan.
Solusi yang mereka tawarkan dan jalankan masih terlalu pragmatis dan belum menyentuh akar masalah. Penyebab masih banyaknya gizi buruk dan gagal tumbuh ini banyak faktor. Mulai dari kurangnya literasi masyarakat, edukasi yang belum merata, kesadaran yang masih minim, serta kemampuan untuk memenuhi pangan.
Jika kita telusuri lebih jauh penyebab utama dari serentetan faktor tersebut adalah tidak adanya peran negara dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Kebutuhan rakyat itu tak hanya masalah ketersediaan pangan. Tapi juga tentang kemampuan membeli pangan itu, rumah yang layak dengan lingkungan yang bersih, kesehatan yang mudah diakses tanpa dibebani iuran BPJS. Termasuk di dalamnya juga promosi dan edukasi kesehatan yang utuh dan massif.
Pada bagian promosi kesehatan dalam upaya mencegah stunting saja masih kalah dengan promosi yang dilakukan pihak lain. Promosi menyusui dengan ASI contohnya.
Menyampaikan ASI hanya sebatas menghimbau belum pada pengarahan edukasi yang utuh. Sementara promosi produk susu yang tinggi gula masih ‘gentanyangan’ di depan mata kita. Tapi negara hanya berdiam diri tanpa ada aksi nyata.
Belum lagi membahas MPASI. Meskipun semua perempuan yang sudah menikah memahami cara pembuatan MPASI, seperti takaran yang tepat, jenis makanannya (harus ada protein hewani, karbohidrat dan lain-lain), kebersihannya, dan cara mengolahnya. Tetapi jika mereka miskin bagaimana cara mereka bisa memenuhi gizi seimbang layaknya teori pembuatan MPASI?
Sementara itu, remaja kita yang masih banyak tergolong gizi buruk. Maka solusinya bukan tentang tablet tambah darah saja. Kerena akar masalah dari kurangnya gizi mereka ada pada asupan makanan. Karena karbohidrat, vitamin apalagi protein itu hanya bisa dipenuhi melalui makanan.
Jika makanan mereka terpenuhi sesuai konsep gizi seimbang, maka mestinya tablet tambah darah tak perlu jadi prioritas.
Setelah itu kita bicara tentang agama, khususnya Islam yang tidak hanya mengurusi akad nikah semata. Memang Islam membolehkan seseorang menikah di bawah umur 17 tahun baik laki-laki ataupun perempuan.
Tapi bukan berarti nikah muda dianggap sebagai biang kerok stunting. Itu sangat tidak adil. Apalagi penyebab terjadinya nikah dini berawal dari pergaulan bebas bukan nikah karena dorongan iman.
Sangat sempit sekali pemikiran kita jika menyalahkan ajaran Islam sebagai salah satu sebab stunting dalam urusan nikah. Islam justru mengajarkan tentang ba’ah yakni kemampuan seseorang dalam menikah.
Islam juga mengajarkan tentang fikih nikah, di mana calon pasangan suami istri harus belajar dan mengetahui hak dan kewajibannya ketika mereka menikah.
Dalam Islam menikah bukan sekadar melakukan hubungan seksual secara sah dan legal. Tapi ada sisi lain dari itu yakni hak suami memberi nafkah, hak istri untuk hamil, menyusui dan melahirkan tanpa tekanan. Ada hak pengasuhan anak yang harus diasuh oleh ibu kandungnya dan rentetan hal -hal lain.
Untuk memenuhi semua itu, harus didukung oleh negara. Bukan hanya individu semata. Apalagi urusan kemiskinan yang massal itu bukan lagi perkara individu tapi perkara tata kelola negara.
Negara yang memiliki kekayaan SDA harus dikelola dengan pengelolaan Islam. Bukan kapitalisme yang hanya mementingkan keuntungan pemilik modal.
Apalagi saat ini SDA di negeri ini, termasuk Kalsel banyak dikuasai segelintir orang bahkan asing. Akibatnya kekayaan tidak merata. Hasil tambang dan sebagainya pun tidak bisa dirasakan oleh masyarakat Kalsel sendiri.
Inilah yang jadi permasalahan saat ini, pengelolaan kekayaan milik masyarakat ini dikelola dengan versi kapitalis. Seandainya dikembalikan pada Islam maka SDA akan dikelola dengan tepat oleh negara langsung dan hasil SDA tersebut akan dikembalikan lagi ke masyarakat.
Dengan pengelolaan kekayaan berdasarkan aturan Islam tersebut maka mestinya tak ada lagi rakyat terpapar gizi buruk akibat tak mampu membeli pangan dan mengakses kesehatan. Karena negara telah menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Setiap laki-laki baligh wajib bekerja untuk mencari nafkah, negara siap memberikan pekerjaan ataupun modal. Para ibu pun akan lebih tenang menjalani fitrah keperempuannya seperti hamil, melahirkan dan menyusui dengan tenang.
Mengolah MPASI dengan bahagia tanpa harus pusing memikirkan biaya pangan yang mahal. Maka kasus sunting pun dapat diminimalisir. Wallahu a’lam bishawab.[]
Comment