Renita*: Kisruh Nasib Buruh Menuai Gaduh

Opini592 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Gelombang PHK terus menghampiri dunia kerja yang diakibatkan oleh pandemi virus Covid 19 yang belum usai. Selama pandemi ini selain banyaknya pekerja yang mengalami PHK dan dirumahkan, hak mereka sebagai pekerja juga tidak diperhatikan. Hal ini membuat nasib buruh korban PHK dan yang dirumahkan semakin memprihatinkan.

Pengurus Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PC SPTSK SPSI) Kabupaten Bandung Uben Yunara, mengungkapkan dirinya tetap berkomitmen untuk memperjuangkan nasib buruh untuk mendapatkan hak normatif.

Ada 13.000 buruh yang menjadi korban PHK dari tempat kerjanya. Mereka umumnya korban PHK atau dirumahkan dari pabrik tekstil. Di antara yang diperjuangkan, yakni uang pesangon setelah mereka di PHK. Kalau pun status mereka dirumahkan, tetap harus mendapatkan haknya karena masih ada hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan (zonapriangan.pikiran-rakyat.com, 04/08/2020).

Dilansir dari news.detik.com, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menyebut ada 3,5 juta pekerja terkena dampak akibat pandemi COVID-19. Jumlah pekerja terkena PHK paling tinggi ada di Jawa Barat. Dari data yang ada, per tanggal 31 Juli 2020 ada 342 ribu pekerja yang mengalami PHK dan dirumahkan. Jumlah penduduk yang besar di Jawa Barat menjadi penyebab tingginya jumlah pekerja yang mengalami PHK dan dirumahkan (news.detik.com, 9/8/2020).

Nasib Buruh di Ujung Tanduk?

Pandemi virus 19 ini ternyata tidak hanya menyebabkan ekonomi indonesia kian terperosok, berkurangnya pemasukan negara, yang disebabkan rendahnya daya beli masyarakat, tetapi juga menyebabkan para pekerja semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena menjadi korban PHK dan dirumahkan tanpa menerima hak-haknya sebagai pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) Said Iqbal mengatakan, terdapat empat faktor yang menyebabkan kaum buruh terancam kena PHK di tengah pandemi ini.

Pertama, Ketersediaan bahan baku industri manufaktur yang mulai menipis dari negara-negara lain yang juga terpapar virus corona. Karena bahan baku berkurang, maka produksi akan menurun. Sebaliknya, ketika produksi menurun, maka berpotensi terjadi pengurangan karyawan dengan melakukan PHK.

Kedua, Melemahnya Rupiah Terhadap Dollar. Perusahaan membeli bahan baku dengan dollar dan menjual dengan rupiah yang terus melemah. Ditambah dengan daya beli masyarakat yang menurun tajam, perusahaan akan kesulitan menaikkan harga jual. Ini akan membuat perusahaan rugi yang mengancam kelangsungan pekerjaan.

Ketiga, Menurunnya Kunjungan Wisatawan ke Indonesia. Said mengatakan, sejak awal, industri pariwisata sudah terpukul. Seperti pengunjung hotel, restoran, tempat-tempat wisata, bandara, pelabuhan, sudah menurun drastis akibat corona

Keempat, Anjloknya Harga Minyak dan Indeks Saham Gabungan. Menurut Said, akibat minyak dunia yang anjlok, pendapatan Indonesia dari ekspor minyak mentah juga akan turun. Dengan begitu, situasi ini menyebabkan APBN tidak terealiasi. Maka bantuan sosial akan kurang karena pendapatan negara bekurang. (nasional.kompas.com, (04/06/2020)

Dalam paradigma kapitalis, hubungan antara rakyat dengan pemerintah didasarkan pada asas untung rugi. Layaknya hitung-hitungan ekonomi, di mana rakyat hanya menjadi beban negara jika tidak bisa menyokong perekonomian negara apalagi sampai menyulitkan perusahaaan meraup keuntungan. Ironis, di tengah pandemi rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya, tanpa diimbangi dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai.

Imbasnya, pengangguran semakin meningkat, tanpa memikirkan hak-hak buruh saat PHK terjadi, akibatnya permasalahan sosial semakin menganga, kejahatan merajalela seperti pencurian, perampokan, juga masalah keluarga seperti perceraian karena peran sang suami sebagai tulang punggung keluarga digantikan oleh sang istri. Serta masalah-masalah pelik lainnya akibat tak terpenuhinya kebutuhan primer rakyat.

Pandangan Islam Terhadap Buruh

Pandangan Islam terhadap kaum buruh atau pekerja seperti halnya antara majikan dan kaum buruh dengan tujuan yang selaras. Kedua belah pihak ingin meraih kemaslahatan dalam hidup di dunia dan akhirat. Buruh bagi seorang pemilik perusahaan semestinya dipandang sebagai rekan menggapai kesejahteraan dan ketentraman hidup.

Setidaknya ada empat prinsip dalam islam untuk memuliakan hak-hak pekerja, diantaranya :

Pertama, Kemerdekaan manusia. Ajaran Islam yang direpresentasikan oleh Rasulullah SAW dengan tegas mendeklarasikan sikap antiperbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan.

Penghormatan atas independensi manusia, baik sebagai pekerja maupun berpredikat apapun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja.

Kedua, Prinsip Kemuliaan derajat manusia. Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadis yang populer untuk menegaskan hal ini adalah “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, Keadilan dan anti-diskriminasi. Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja. Bahkan, Rasulullah SAW pernah memiliki budak dan pembantu. Rasulullah memperlakukan para budak dan pembantunya dengan adil dan penuh penghormatan.

Keempat,  Kelayakan Upah Pekerja. Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh pihak yang mempekerjakan. Prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi. Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”.

Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.

Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan, antara majikan dengan pekerja.

Jika adil dimaknai sebagai kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang serta papan.

Jika Kapitalisme telah terbukti tidak bisa menyejahterakan kehidupan para pekerja, mengapa tidak beralih kepada Islam? Wallahu A’lam Bii Showwab.[]

*Aktivis Muslimah Bandung

Comment