Rempang dan Ironi Kedaulatan Rakyat

Opini76 Views

 

 

Penulis: Fitriani, S.Hi | Guru dan Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) urung dilaksanakan. Ratusan aparat kepolisian yang sebelumnya didatangkan untuk mengamankan dan mengosongkan kampung-kampung di Rempang, Kepulauan Riau, disebut sudah dipulangkan. Seperti pernyataan yang diungkapkan Kabid Humas Polda Kepri Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad di Batam Kepulauan Riau seperti ditulis epublika.id (29/09/2023).

Karena belum ada kebijakan membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua tersebut,  masyarakat masih merasakan kekhawatiran dan cemas.

Mereka mengungkapkan harusnya relokasi atau lebih tepatnya disebut penggusuran itu tidak terjadi dan harus dihentikan. Seperti yang diungkapkan ibu Samah, warga Kampung Pasir Panjang. Ia mengatakan bahwa hidup mereka sangat tidak tenang, mau ngapa-ngapain jadi susah dan khawatir karena ini hanya penundaan bukan pembatalan. Sewaktu-waktu mungkin saja kampung mereka tetap digusur.

Sungguh, konflik Rempang ini bukanlah satu-satunya konflik yang terjadi di negeri ini terkait dengan masalah perebutan lahan. Kita tentunya masih ingat bagaimana dulu kasus Wadas di Jawa tengah. Bahkan konflik agraria di Deli Serdang karena pembangunan kota bertajuk Deli Megapolitan yang juga banyak menggusur lahan warga setempat. Peristiwa Rempang menambah daftar panjang kasus agraria di negeri ini.

Komisi Ombudsman menyebutkan laporan masyarakat tentang agraria mencapai 1.612 laporan sepanjang 2021. Pada tahun 2022, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu membeberkan jumlah tanah sengketa yang terdaftar sudah hampir 90 juta bidang tanah, sementara yang berkonflik mencapai 8.000 kasus. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendata sepanjang delapan tahun kepemimpinan Jokowi terjadi 2.710 konflik agraria di seluruh Indonesia dan belum terselesaikan dengan solusi yang signifikan.

Dalam kasus Rempang, pemerintah berdalih warga tidak mempunyai hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Karena itu Pemerintah mengklaim kebijakan di Rempang adalah pengosongan, bukan penggusuran. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto menyebutkan warga Rempang tidak punya sertifikat lahan. Dengan alasan itulah, sejak tahun 2001 Pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.

Maka kasus-kasus seperti ini menunjukkan betapa ironinya kedaulatan rakyat di negeri ini. Bisa dikatakan bahwa kasus ini merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi bangsa ini, siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah atau kasus agraria.

Pemerintah selalu menggembar gemborkan NKRI harga mati nyatanya hanya sebuah ilusi. Ketika beririsan kepentingan rakyat dengan para korporasi atas nama investasi, pemerintah lebih mendahulukan  kepentingan para korporasi bukan kepentingan rakyat yang menjadi prioritas utama. Mereka sanggup mengambil alih lahan sah milik rakyat  dengan jalan mengosongkan dan atau menggusur sekalipun.

Perampasan lahan tanpa alasan syari adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah SWT telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa, agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.
(TQS al-Baqarah [2]: 188).

Ayat di atas secara tegas mengancam siapa saja yang ingin menguasai harta orang lain, termasuk lahan orang lain, dengan cara menyuap penguasa.  Tidak jarang orang-orang kaya, termasuk pengusaha, menyuap pejabat agar dapat menguasai lahan milik rakyat.

Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

Artinya: “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya”. (HR Muttafaq ‘alayh).

Dalam Islam kedaulatan adalah milik Syara`. Artinya Allah sebagai sang Pencipta adalah pemilik kedaulatan sepenuhnya sedangkan rakyat adalah pemilik kekuasaan. Pemimpin yang dipilih oleh rakyat seharusnya bekerja untuk mengurus rakyatnya bukan untuk para pemilik modal (koorporat).

Tapi wajar memang ketika pejabat negeri ini memilih untuk memenangkan para koorporat karena mereka menjabat berdasarkan modal dari mereka. Dalam sistem kapitalis pemimpin yang terpilih adalah yang punya modal dan hampir secara keseluruhan modal itu datang dari para koorporat tersebut. Sehingga ketika pejabat itu terpilih mereka akan bekerja sesuai kepentingan dari para pemilik modalnya.

Berbeda dengan kapitalis, Islam memandang bahwa seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Mereka dipilih untuk mewujudkan kemasalahatan rakyat. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak nya.

Kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam tegak di atas asas akidah Islam untuk menjalankan aturan-aturannya yang lurus dan benar karena datang dari Zat yang Maha Benar.

Kekuasaan dan kepemimpinan ini dipandang sebagai amanah yang harus siap dipertanggung-jawabkan di sisi Allah Swt.

Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, Setiap kalian adalah pemimpin (rain) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung-jawaban atas rakyatnya. (HR Bukhari).

Rasul saw. juga bersabda, sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, tapi jika ia memerintahkan selainnya, maka ia harus bertanggung jawab atasnya. (HR Muslim).

Oleh karenanya, penguasa dalam Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Pemimpin dalam islam memastikan setiap kebijakan yang diambilnya memberi kebaikan bagi rakyat. Wallahu`alam bisshawab.[]

Comment