Penulis: Dinda Fadilah, S. TP | Aktivis Islam
RADARINSONESIANEWS.COM, JAKARTA – Di tengah panasnya pesta demokrasi alias pemilu, muncul berita menyayat hati dari wilayah Kalimantan Timur, tepatnya di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara pada 6 Februari 2024.
Seorang siswa SMK berinisial JND (17) menjadi pelaku pembunuhan satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya. Korban pembunuhan ini adalah W (35), SW (34), RJS (15), VDS (11), dan ZAA (3) Sungguh mencengangkan bagaimana seorang remaja mampu menjadi pembunuh bengis yang menghabisi satu keluarga.
Peristiwa ini bermula saat pelaku yang pada malam itu berkumpul dengan temann lalu minum miras pada Senin (5/2/2024) dini hari. Sekitar pukul 23.30 WITA, J diantar oleh temannya, setelah itu ia pulang dan mengambil parang untuk menghabisi korban. Tidak hanya membunuh kelima korban, J juga merudapaksa ibu dan korban R lalu mencuri 3 buah HP dan uang Rp353 ribu milik korban (kompas.tv)
Berdasarkan keterangan polisi, pelaku sakit hati dan dendam kepada korban R yang merupakan mantan pacarnya. Sebelumya, pelaku yang juga tetangga korban sering cekcok. Belakangan, pelaku mengakui motif pembunuhan bukan karena dendam, tetapi membutuhkan uang untuk biaya servis HP. Polisi kini masih mendalami kasus ini dan akan melakukan tes kejiwaan pada pelaku.
Kasus ini menambah daftar panjang kerusakan generasi di bawah asuhan sistem sekulerisme. Peristiwa keji nan memilukan ini menjadi peringatan keras, terutama bagi dunia pendidikan. Bagaimana bisa seorang pemuda begitu bengis membunuh satu keluarga?
Tingginya Angka Kriminal Remaja
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana (Kompas.id)
Jika dibandingkan dengan data tiga tahun sebelumnya, jumlah anak yang terlibat dalam urusan hukum belum pernah mencapai angka 2.000. Menilik situasi pada tahun 2020 dan 2021, angka anak yang terlibat dalam kasus hukum berada di kisaran 1.700 orang.
Kemudian, terjadi peningkatan pada tahun berikutnya menjadi sekitar 1.800 anak. Trend yang mengalami peningkatan menjadi sebuah peringatan bahwa kondisi generasi Indonesia saat ini tidak baik-baik saja dan cenderung mengarah ke situasi yang problematik.
Faktor Pemicu
Maraknya tindakan kejahatan di kalangan remaja atau pelajar tentu dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Beberapa di antaranya melibatkan faktor ekonomi, seperti kemiskinan dan pengangguran, dampak negatif alkohol yang semakin merajalela, adanya hubungan asmara atau perselingkuhan, dan pengaruh media sosial yang seringkali menyajikan informasi yang bersifat negatif. Tingkat kekejaman pelaku kejahatan juga terkait dengan melemahnya penegakan hukum.
Ada beberapa faktor yang memicu kekejaman kejahatan. Pertama-tama, adalah adanya lumrahisasi terhadap kejahatan karena seringnya masyarakat menyaksikan dan mendengar tentang kejadian tersebut, yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan gadget.
Pemakaian gadget secara berlebihan membuat mereka terbiasa dengan kejadian kejahatan sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang umum atau wajar.
Kedua, hukuman saat ini tidak efektif menciptakan efek jera dan pencegahan terhadap kejahatan. Contohnya, hukuman untuk pembunuhan mungkin hanya mencapai 15 tahun dan dapat dipotong masa tahanannya, sehingga menghasilkan hukuman yang kurang efektif. Hal ini menyebabkan hukuman tidak mampu memberikan efek jera yang cukup signifikan.
Ketiga, kondisi ekonomi yang sulit dan adanya pergaulan bebas, termasuk pengaruh media sosial, dapat mendorong banyak orang untuk terlibat dalam kejahatan.
Keempat, kecenderungan untuk menggunakan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah juga menjadi faktor yang berkontribusi pada meningkatnya tingkat kekejaman dalam kejahatan.
Dalam sistem sekuler, pandangan masyarakat cenderung menganggap wajar perilaku yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti budaya pacaran, kecenderungan hedonistik, perilaku konsumtif, permisif, dan gaya hidup liberal.
Bahkan, sejumlah orang dalam masyarakat mengganggap hal tersebut sebagai bentuk modernisasi kehidupan. Dampaknya, generasi saat ini semakin mendekatkan diri dengan pola hidup sekuler liberal yang secara perlahan merusak nilai moral dan akhlak. Dan akhirnya kerusakan generasi semakin tampak jelas kini.
Solusi Islam
Karakter manusia terbentuk atas pola pikir dan pola sikapnya. Pola pikir dan pola sikap yang baik akan menghasilkan karakter dan kepribadian yang baik, begitupun sebaliknya.
Lahirnya generasi yang kejam nan bengis merupakan buah dari kepribadian rusak dengan asas rusak pula. Karena itu, sandaran yang paling tepat dalam memilih dasar pola pikir dan pola sikap ini adalah Islam yang berasal dari aturan Zat Maha Baik yaitu Allah Taala.
Kerusakan generasi diakibatkan oleh sistem sekuler yang wujud hari ini. Maka penyelesaiannya pula membutuhkan solusi secara sistemis pula.
Islam memberi solusi mendasar dengan 3 pilar.
Pilar pertama adalah ketakwaan individu dengan pendidikan keluarga yang merupakan sekolah pertama bagi anak. Dijadikannya akidah Islam sebagai dasar pendidikan akan terbentuk karakter iman dan ketakwaan individu dalam diri anak, yang dapat mencegahnya dari perbuatan maksiat. Sehingga terbentuk generasi yang menjadikan halal dan haram sebagai standar perbuatannya.
Pilar kedua adalah kontrol masyarakat, dengan adanya amar makruf nahi mungkar. Masyarakat akan saling menasihati, sehingga individu yang hendak berbuat kerusakan dapat dicegah.
Kesempatan untuk bermaksiat hingga melakukan hal-hal keji lainnya tidak akan ada jika masyarakat saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah kemaksiatan. Masyarakat dapat menjalankan perannya sebagai kontrol sosial.
Pilar ketiga adalah negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Negara melaksanakan aturan berbasis akidah Islam agar terbentuk pula generasi Islami yang jauh dari kerusakan.
Negara juga wajib menjamin setiap warganya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu sandang, papan dan pangan. Saat semua kebutuhan pokok warga terpenuhi, mereka tidak akan terdorong untuk melakukan berbagai tindak kejahatan.
Negara memiliki kewajiban untuk menghapus segala hal yang dapat merusak keimanan dan ketaatan umat Islam, termasuk dengan cara memblokir konten porno dan kekerasan, melarang produksi film atau tayangan pornografi, menutup industri dan distribusi minuman beralkohol, serta memberantas peredaran narkoba.
Selain itu, negara juga menjalankan sanksi hukum Islam sebagai tindakan penegakan terhadap setiap pelanggaran terhadap hukum syariah Islam.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, kelompok usia yang dianggap sebagai “anak” dalam konteks hukum adalah mereka yang berusia 12—17 tahun. Sementara itu, dalam perspektif Islam, tidak ada konsep pengelompokan semacam itu.
Menurut pandangan Islam, ketika seorang anak memasuki masa balig, ia telah terikat oleh hukum-hukum Islam. Dengan kata lain, ia menjadi mukalaf (subjek hukum) yang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya, termasuk konsekuensi sanksi hukum yang mungkin diterapkannya jika terlibat dalam tindak kriminal.
Ketiga pilar di atas hanya dapat terwujud secara optimal dengan sistem Islam pula. Sistem Islam yang pernah diterapkan telah menghasilkan generasi cemerlang di masa lalu. Tidak hanya cerdas dalam ilmu dunia tetapi juga ilmu agama. Sistem Islam mewujudkan generasi yang faqih fiddin dan jauh dari berbuat kerusakan.
Hal ini dapat terjadi karena Islam dijadikan asas dan sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[]
Comment