Refleksi Hari Perempuan Internasional 2025: Perempuan Masih dalam Bayang-Bayang Kegelapan

Opini84 Views

 

Penulis: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
| Dosen dan Pemerhati Perempuan

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI) atau International Women’s Day. Tema HPI tahun ini adalah “Accelerate Action” atau “Mempercepat Aksi”. Di mana tema yang diusung di setiap tahunnya menyesuaikan kondisi perempuan secara global. Apakah perayaan HPI dari tahun ke tahun memberi secercah asa bagi perempuan? Ataukah kehidupan perempuan di hampir semua lini makin gelap?

Mari sejenak menengok kondisi perempuan di satu aspek, yakni aspek kekerasan. Berdasarkan data Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sebagaimana dikutip Kompas.com (12/3/2025), sepanjang 2024 terdapat 31.974 kasus kekerasan. Dari 31.947 kasus kekerasan, 27.658 korbannya adalah perempuan.

Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan pada 2023 yang berada di angka 29.883 kasus. Adapun pada Januari sampai 12 Maret 2025, Simfoni PPA telah mencatat ada 4.882 kasus kekerasan dengan korban perempuan sebanyak 4.196 orang.

Dunia pendidikan pun tak luput dari kasus kekerasan seksual. Seperti dikutip dari kompas.com (29/12/2024), berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang 2024 ada 42 persen kasus kekerasan seksual.

Hampir setiap saat kita disuguhi berita kekerasan seksual di semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Sungguh miris! Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat mencetak generasi unggul pelanjut estafet peradaban bangsa, ternodai oleh aktivitas seks terlarang.

Tak dimungkiri, realitas di atas terpampang di dunia nyata dan dunia maya. Ditambah arus informasi begitu cepat memotret semua kerusakan tersebut. Mulai pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga berakhir dengan pembunuhan. Hal ini terjadi di institusi formal maupun nonformal, domestik maupun publik dalam skala yang cukup mencengangkan.

Hal tersebut menunjukkan betapa rusaknya sistem yang diterapkan hari ini. Sekaligus memvalidasi bahwa perempuan masih terus dalam bayang-bayang kegelapan.

HPI Sekadar Seremonial

Jika mencermati perayaan HPI dari tahun ke tahun, seolah tidak ada perubahan signifikan. Perayaan yang digelar secara global dalam berbagai bentuk, seakan tak mampu meredam beraneka model kerusakan yang menimpa perempuan.

Bahkan tidak berlebihan jika penulis menilai bahwa kondisi perempuan makin mengkhawatirkan dan mengenaskan. Terlebih jika yang dipotret adalah kondisi perempuan di belahan bumi lain, seperti di Palestina, India, Uighur Xianjiang, Bangladesh, dll.

Realitas tidak terjaganya perempuan di berbagai negara menunjukkan bahwa ada tata aturan yang tidak mampu menjaga perempuan. Fenomena ini patut menjadi evaluasi mendalam oleh semua pihak, tersebab telah berlangsung sekian lama dalam cakupan yang luas. Kondisi ini sungguh mengerikan. Perempuan terus dalam bayang-bayang ketakutan. Rasa aman seolah sulit ditemui, walau di dalam rumah sendiri.

Rasanya perayaan demi perayaan hanya sekadar seremonial. Tidak memberi perubahan yang signifikan. Bahkan kondisi perempuan secara umum makin hari makin menyedihkan. Kondisi ini tidak bisa lagi ditutup-tutupi, sebab dunia digital memotret semua peristiwa tanpa batas dan sekat. Apa sebenarnya yang terjadi dengan sistem yang diterapkan saat ini?

Akar Masalah

Penting untuk melihat akar masalah, sehingga solusi yang diberikan pun tepat sasaran. Jika berbicara aturan apa yang digunakan, maka akan didapati bahwa aturan yang digunakan adalah produk akal manusia yang dibalut dalam sistem Kapitalisme.

Sistem ini lahir dari asas sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Plus sistem demokrasi sebagai sistem politiknya. Di mana demokrasi adalah sistem yang tegak di atas empat pilar kebebasan, yakni kebebasan beragama, berpendapat, berekspresi, dan kepemilikan.

Dari sini terlihat jelas cacatnya sistem ini dalam mengatur kehidupan. Sangat wajar jika berbagai regulasi dan perayaan-perayaan yang dilakukan, tidak akan mampu menyolusi kerusakan yang diakibatkan oleh penerapan sistem ini. Asasnya rusak karena menyalahi fitrah sebagai manusia, yakni menegasikan peran agama. Diperparah oleh gaung kebebasan yang terus diagung-agungkan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Sempurnalah kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme yang dominan diadopsi dunia global hari ini.

Oleh karena itu, jika sistem saat ini tidak mampu menjadi solusi, lalu dengan sistem apa perempuan bisa keluar dari kegelapan yang terus mendera? Yakinlah bahwa pasti ada aturan atau sistem yang mampu membuat kehidupan perempuan menjadi tenteram. Tidak dibayangi lagi rasa takut oleh kompleksnya kerusakan akibat penerapan sistem eror. Itulah sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia, Zat yang paling tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya.

Sistem yang Mampu Menjaga Perempuan

Penulis mencoba menganalisis dalam perspektif yang unik. Di mana keunikan itu lahir dari fitrah sebagai manusia, yakni berpikir rasional dan menenteramkan jiwa yang berakar dari akidah Islam. Hal tersebut telah dicontohkan oleh manusia mulia sepanjang peradaban dunia, yakni Rasulullah Muhammad saw.

Meneladani kepemimpinan Beliau saw. dan aturan yang digunakan, akan membawa perempuan dan manusia secara keseluruhan pada kesejahteraan tanpa batas. Hal ini telah terbukti dalam sejarah peradaban Islam sekitar 1300 tahun lamanya diterapkan di 2/3 belahan dunia. Kala itu perempuan hidup dalam keamanan dan kenyamanan karena penerapan sistem Islam secara total (kaffah) yang diadopsi oleh negara.

Negara dalam sistem Islam menjadi pelaksana seluruh hukum syariat melalui seorang imam/pemimpin (khalifah). Keunikan penerapan sistem Islam adalah negara memastikan seluruh kebutuhan pokok individu dan kebutuhan pokok publik terpenuhi secara layak individu per individu. Syariat Islam memandang hal ini sebagai sebuah kewajiban. Artinya, negara tidak boleh abai, karena akan jatuh pada perkara dosa.

Adapun instrumen Islam dalam pemenuhan keamanan terhadap perempuan dilakukan secara komprehensif, tidak parsial. Dimulai dari peran individu atau keluarga; ayah sebagai qowwam (pemimpin) dan ibu sebagai ummun wa robbatul bait (ibu sekaligus pengatur rumah tangga) menjalankan amanahnya berdasar syariat.

Ayah menafkahi keluarganya dengan harta yang halal dan mendidik anak dan istri sesuai rambu-rambu syariat. Karena beban nafkah di pundak ayah, maka ibu bisa fokus mendidik anak-anaknya dan mengatur urusan rumah tangga dengan maksimal.

Selanjutnya masyarakat berperan sebagai fungsi kontrol. Pendidikan yang sudah ditanamkan di rumah-rumah setiap keluarga, yakni pendidikan terkait akidah, syariat, dan dakwah harus terus dijaga. Hal ini membutuhkan peran semua individu yang melebur dalam masyarakat. Inilah pentingnya saling menasihati sesama, agar tercipta lingkungan yang baik dan benar.

Paling urgen adalah peran negara. Di mana negara adalah pihak yang memproduksi aturan yang akan berlaku di masyarakat. Misal, negara akan memberlakukan sistem sanksi bagi pelaku kemaksiatan. Sanksi tersebut berfungsi sebagai penebus dosa dan sebagai efek jera, sehingga kemaksiatan tersebut tidak akan berulang.

Di sinilah pentingnya menerapkan aturan yang berasal dari Sang Pencipta, karena pasti sesuai dengan fitrah manusia dan menenteramkan akal.

Kolaborasi antara pemimpin dan rakyat dalam rangka ketaatan kepada Sang Khalik, akan menciptakan suasana yang nyaman dan pasti dipenuhi keberkahan. Dengan aturan seperti inilah kehidupan perempuan akan terjaga dari segala macam tipu daya dan kerusakan. Kehidupan yang dipenuhi cahaya dan berdampak pada lahirnya generasi-generasi cemerlang. Wallahua’lam bis showab.[]

Comment