Penulis: dr Airah Amir | Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Sosial
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Indonesia termasuk negara yang partisipasi politik perempuan dalam parlemen masih sangat rendah menurut data dari World Bank. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan merespon hal ini melalui deputi bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda dengan mengatakan bahwa penting keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia dengan meningkatkan partisipasi perempuan agar pengambilan keputusan politik lebih akomodatif dan substansial termasuk dalam memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik.
Sedangkan Ahli Peneliti Utama Pusat Riset Politik BRIN Siti Zuhro menilai perempuan harus meningkatkan usaha dan melakukan gerakan untuk memajukan perempuan dalam politik kebangsaan. Caranya dengan memperjuangkan kuota keterwakilan mulai dari tahapan rekrutmen calon legislatif hingga penetapan hasil pemilihan.
Artinya, seperti ditukis antaranews.com, kaum perempuan tidak boleh pasif, baik perempuan yang ada di desa maupun di kota, mereka harus bekerjasama memperjuangkan kemajuan untuk kaum perempuan.
Apakah pernyataan ini akan menjamin kesejahteraan perempuan dan anak di masyarakat jika peran perempuan di parlemen ditingkatkan? Faktanya yang kita lihat dari semua negara di dunia saat ini yang melakukan gerakan yang sama yaitu mendorong peningkatan partisipasi perempuan di dalam parlemen, fakta yang terlihat adalah penindasan, kemiskinan dan penyalahgunaan hak perempuan di masyarakat masih saja terjadi bahkan dalam kondisi yang menyedihkan.
Bagi sebagian kalangan, asumsi bahwa meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dan jabatan publik lainnya dianggap mampu meningkatkan status perempuan, meningkatkan pengaruh politik dan juga mencukup terpenuhinya hak-hak ekonomi perempuan menjadi lebih baik.
Namun pada faktanya tidak ada korelasi positif antara meningkatnya keterwakilan perempuan di parlemen dengan pemenuhan hak perempuan di luar parlemen, sebab kemiskinan, eksploitasi dan kehidupan perempuan tak banyak berubah jika tak ingin dikatakan tetap saja dalam kondisi terpuruk.
Keterwakilan perempuan di kursi parlemen hanya membantu kelas elite perempuan bukan menyokong kondisi perempuan secara keseluruhan. Kelas elite inilah yang memiliki ambisi politik pribadi yang tidak ada hubungannya dengan kondisi perempuan di masyarakat luas dan faktanya tidak memberi perubahan kualitas hidup perempuan di masyarakat luas.
Fakta ini semakin menguatkan bahwa makna keterlibatan perempuan dalam politik saat ini hanya dibatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi untuk mendapatkan kekuasaan dan kemudahan ekonomi.
Perempuan dianggap tidak berperan dalam politik jika ia tidak terlibat dalam jabatan pemerintahan ataupun legislasi.
Perdebatan seputar kesetaraan perempuan dalam hal keterwakilan di perlemen perlu dikritisi secara mendalam termasuk menyoroti argumen yang sering terjadi pada level pragmatis tentang tuntutan kuota perempuan dalam parlemen yang terus menggaung.
Kontras dengan realitas tantangan kesejahteraan yang dihadapi banyak perempuan baik dalam ranah ekonomi maupun domestik, serta tingginya biaya hidup yang memaksa perempuan bekerja untuk kesejahteraan, meskipun kuota perempuan di parlemen telah terwakili namun masalah ini masihlah terjadi.
Sehingga perlu memahami akar masalah perempuan yang tidak hanya cukup dengan langkah pragmatis seperti keterwakilan perempuan di parlemen.
Jika demikian, dimanakah peran politik perempuan sesungguhmya?
Salah satu peran politik perempuan adalah beramar makruf nahi mungkar. Allah Taala berfirman dalam QS Ali Imran: 104, “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan, memerintahkan pada yang makruf, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Terjunnya kaum perempuan untuk melibatkan diri dalam ranah publik haruslah berlandaskan wahyu sebagai rujukan dalam memilih perbuatan dan bukan yang lain. Ia juga harus terlebih dahulu memastikan status hukum perbuatan yang akan ia lakukan, diperbolehkan ataukah tidak.
Tak kalah penting adalah menekankan urgensi pemahaman terhadap peran perempuan di ranah domestik. Hal yang mulai banyak ditinggalkan kaum perempuan saat ini karena tergerus oleh pemahaman pemberdayaan perempuan yang mengaitkan fungsi perempuan yang disebut berdaya jika bernilai ekonomi.
Di tengah keriuhan kontestasi Pemilu 2024 ini, sudah seharusnya kita berpikir bahwa problem utamanya adalah di aspek sistem atau hukum yang berasal dari hukum buatan manusia yang memusatkan kekayaan pada tangan segelintir orang sehingga nasib perempuan maupun laki-laki dalam kondisi saat ini tetaplah sulit.
Kebutuhan akan layanan dasar seperti ketersediaan pangan, pendidikan, Kesehatan, keamanan dan jaminan bekerja sudah seharusnya terpenuhi bagi masyarakat luas.
Demikianlah reaktualisasi peran politik perempuan dalam segala aspek. Diperlukan solusi sistematis dan komprehensif agar menghasilkan solusi menyeluruh. Wallahu a’lam.[]
Comment