Oleh: Yuli Ummu Raihan, Member AMK dan Aktivis Muslimah Tangerang
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Belakangan muncul beberapa istilah seperti reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi (membangkitkan kembali), dan kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks kehidupan sosial budaya). Beragam istilah ini sejatinya bertujuan sama yaitu mengubah sudut pandang terhadap Islam.
Pada Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 di Surakarta, Jawa Tengah (25/10/2021) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, menyatakan bahwa model pengamalan Islam harus dikonstektualisasikan dengan realitas aktual agar tidak membawa akibat yang bertentangan dengan substansi Islam itu sendiri yaitu: tauhid, kejujuran, keadilan dan rahmah. Yaqut juga mengatakan harmoni masyarakat secara keseluruhan harus diperhatikan dalam mendakwahkan Islam. Capaian dakwah tertinggi adalah saat pengadopsian nilai-nilai substantial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat. (kemenag. go.id, 27/10/2021).
Wacana ini sangatlah berbahaya dan wajib kita tolak. Sejatinya ia muncul sebagai upaya untuk mengubah dan mencocokkan pengamalan Islam dengan fakta yang ada. Konsep ijtihad dianggap tidak lagi mampu menjawab kebuntuan metodologis untuk menundukkan Islam pada realitas. Padahal selama ribuan tahun para ulama tidak pernah melakukan ini, terpikir pun mungkin tidak.
Reaktualisasi fikih ini sangat berbahaya karena hakikatnya adalah mengubah hukum syariah. Nantinya hukum-hukum fikih yang sudah ditetapkan dari dalil-dalil yang rinci dan qath’i seperti potong tangan, rajam, qishash dan lainnya tidak lagi dipakai karena dinilai tidak layak lagi diterapkan.
Akhirnya, hukum ini dihapus dan digantikan dengan hukum buatan manusia seperti denda dan penjara. Begitu pula terkait aturan kerudung, jilbab, dan aktivitas kaum perempuan bisa berubah sesuai fakta atau realita saat ini. Dengan dalih tidak lagi sesuai zaman, melanggar HAM, hukum jihad, khilafah, istilah kafir, dan lainnya dihilangkan.
Hukum dalam Islam yang datang dari Sang Pencipta dan Pengatur sudah paling sempurna. Tidak perlu ada lagi peninjauan, apalagi perubahan.
Dalam Islam ada istilah fikih yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariah yang digali dari dalil-dalil yang rinci yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, ijma’ sahabat dan qiyas. Bukan berdasarkan fakta. Sedangkan syariah itu sendiri adalah perintah Asy- Syari’ (Sang Pembuat Hukum) yang berkaitan dengan perbuatan hamba.
Fikih ditetapkan berdasarkan dalil syarak dari Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas. Fikih ada untuk menghukumi fakta, bukan dibuat atau ditentukan berdasarkan fakta.
Fikih bersifat tetap tidak akan berubah karena adanya perubahan zaman atau tempat. Ketika ada perubahan fakta maka, dibuka pintu untuk berijtihad. Terkadang seorang mujtahid merevisi hasil ijtihadnya ketika melihat ada kesalahan atau ada dalil yang lebih kuat.
Adanya propaganda dari mereka yang berusaha mereaktualisasikan fikih harus kita tolak. Apalagi ada tuduhan penerapan syariah adalah sumber bencana. Padahal sumber dari segala kerusakan di muka bumi ini justru karena telah dicampakkannya hukum syariah. Sumber bencana itu sejatinya karena penerapan sistem kapitalisme-sekularisme.
Penerapan syariah secara kafah adalah satu-satunya solusi untuk berbagai permasalahan manusia. Bahkan hukum syariah adalah rahmat untuk sekalian alam.
Penerapan syariah secara kafah hanya bisa terwujud jika ada institusinya yaitu Khilafah. Antara Islam dan kekuasaan (negara) itu harus sejalan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena agama adalah pondasi, sedangkan negara adalah penjaganya. Negara tanpa agama akan runtuh, sedangkan agama tanpa penjagaan akan lenyap. Maka, tuduhan khilafah atau syariah Islam sebagai sumber bencana adalah tuduhan yang keji, dan bisa terkategori kemungkaran yang nyata.
Adanya propaganda reaktualisasi fikih ini terjadi salah satunya karena masyarakat hari ini mulai jumud. Semua ini karena tidak ada lagi aktifitas ijtihad untuk permasalahan yang baru muncul. Padahal syariah Islam telah sangat sempurna dan bisa menjawab semua kebutuhan manusia.
Umat hari ini tidak butuh reaktualisasi fikih. Umat butuh ijtihad dari para ulama. Umat seharusnya mengamalkan fikih secara benar agar menjadi umat yang terdepan dan bahagia.
Saatnya kita pahami agama dengan benar. Bangga terhadap ajaran agama kita dan tidak perlu mengadakan sesuatu di luar ajaran Islam. Wallahu a’lam bishashawab.[]
Comment