Ratna Munjiah*:Neo Imperialisme Melalui Investasi Asing Dalam Pemindahan IKN

Berita260 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –  Presiden Joko Widodo mengundang beberapa negara  untuk menanamkan investasi di ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Tawaran ini disampaikan Presiden Jokowi ketika menjadi pembicara kunci di forum internasional bertajuk Abu Dhabi Sustainbility Week, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (13/1) lalu.

Jokowi menyatakan, investasi di ibu kota baru akan menarik karena Indonesia ingin kawasan pemerintahan itu dibangun dengan teknologi mutakhir, juga menjadi wadah perkembangan inovasi dan kreativitas, namun tetap ramah lingkungan bagi masyarakat.

Tawaran investasi di ibu kota baru itu langsung menarik minat sejumlah negara. Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo, Pemerintah Uni Emirat Arab melalui Putra Mahkota Uni Emirat Arab, Pangeran Sheikh Mohammed bin Zayed, menyatakan telah menyiapkan dana cukup besar untuk berinvestasi di ibu kota baru tersebut. Bak gayung bersambut, Presiden Jokowi pun meminta Putra Sheikh Mohammed bin Zayed untuk menjadi dewan pengarah pembangunan ibu kita negara baru.

Dikutip laman kompas, sebelum bertolak ke Abu Dhabi, presiden menerima kunjungan Presiden Softbank, Masayoshi Son, di Istana Kepresidenan, Jakarta yang menyatakan ketertarikan berinvestasi untuk pengembangan Artificial Intelligence (Al) dan pengembangan Kota Pintar di ibu kota baru. Softbank disebutkan akan berinvestasi jangka panjang senilai 100 miliar dolar Amerika Serikat selama 25 tahun.

Pemindahan ibu kota merupakan kebijakan yang sangat tidak tepat, Mencermati dan menimbang kondisi perekonomian nasional yang saat ini berada pada posisi kacau balau, ditambah semakin tingginya beban utang luar negeri yang ditanggung negara, pemindahan ibu kota menjadi sebuah kebijakan yang sangat tidak populis.

Pembangunan ibu kota baru yang disampaikan presiden sejatinya merupakan kebijakan penguasa yang ingin membangun kerjasama dengan investor asing.

Pemerintah sebagai pembuat hukum menggoalkan berbagai kepentingan pemodal atau korporasi untuk melaksanakan investasi asing  padahal tidak ada makan siang gratis, No Free Lunch.

Pembangunan dengan membuka investasi asing menjadi pembuka jalan bagi imlerialisme di bidang ekonomi yang dapat ‘menguasai’  negeri ini.

Selama sistem ini diterapkan tentu negara tidak akan mendapatkan kemajuan bahkan sebaliknya, justru cepat atau lambat – negara akan tergadai dengan sendirinya.

Indonesia sesungguhnya sedang berada dalam ancaman dan bahaya di depan mata.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sekarang ini  sangat pro asing. Kbijakan tersebut semakin memperlebar dan memperparah derita rakyat.

Neo Imperialisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state ( korporatokrasi).

Maka, ketika itu terjadi, negara akan dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha.

Konsekuensinya , keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing. Ini merupakan kebijakan yang sangat rentan bagi ketahanan dan kedaulatan negara. Sebuah kebijakan yang sangat berbahaya.

Dibukanya peluang investasi asing untuk pembangunan IKN maka rezim pun secara pasti akan merealisasikan rencana membangun IKN baru di Kaltim dengan skema pembiayaan yang bergantung pada investor asing sebagai pemodal utama.

Padahal dengan bergantung pada investor asing tentu tidak ada yang gratis. Asing tidak akan memberikan modal untuk pembangunan IKN baru bila tidak ada keuntungan yang mereka dapatkan.

Akhirnya dibuatlah kerjasama bisnis dengan keuntungan yang menggiurkan berupa pinjaman lunak dengan bunga dan angsuran di tengah utang luar negeri yang menggunung. Atau dengan berbagai perjanjian lain yang lebih menguntungkan asing.

Negara-negara asing sejatinya sangat mengincar investasi di IKN baru karena posisi strategis pulau Kalimantan yang langsung berbatasan dengan dunia internasional.

Selain itu, juga karena keberlimpahan SDA dan SDM negeri ini yang berguna bagi kepentingan penjajahan mereka.

Untuk mengatasi gejolak masuknya investasi asing dibutuhkan perubahan sistem dalam pengaturan urusan negara. Dan sistem yang mampu mengatur negara dengan baik hanyalah sistem Islam.

Sistem Islam mampu membangun negara tanpa harus mengambil pinjaman berupa investasi asing dengan sistem riba tersebut.

Islam mengatur negara dengan mengelola SDA dan SDM mandiri. Pengelolaan SDA diatur sebaik mungkin dengan tidak mengijinkan SDM dan SDA dikuasai  asing, individu, maupun swasta sehingga tidak akan terjadi peluang privatisasi dan kepemilikan SDA oleh swasta.

Islam mengatur sistem penanaman investasi asing yakni dengan tidak diperbolehkannya investor asing melakukan investasi dalam bidang yang strategis dan vital.

Sebab jika pihak asing melakukan investasi dalam bidang-bidang strategis dan vital, maka bisa dipastikan bahwa investor tersebut akan dengan seenaknya melakukan praktik bisnis yang merugikan rakyat.

Hal ini jelas haram, sebab bisa menjadi wasilah (sarana) bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim.

Allah SWT berfirman “..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.”(QS. An-Nisa:141).

Saat ini kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat bertolak dengan sistem politik Islam. Seharusnya tugas dan peran penguasa dalam Islam melakukan ri’ayah asy-sy’un al-ummah ( mengelola urusan ummat).

Negara tidak boleh menyerahkan aset-aset nasional kepada asing yang menyebabkan mereka dapat melakukan penjajahan (baca penguasaan) ekonomi sebuah negara.

Negara pun tidak akan melakukan transaksi utang-piutang ribawi yang merugikan ummat.

“Pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya,” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Prioritas dan mekanisme alokasi anggaran dan belanja dalam pemerintahan Islam sangat mampu menghindari investasi.

Secara ekonomi, sistem Islam akan membebaskan dirinya dari ekonomi berbasis riba yang menjadi jalan  bagi mereka untuk melumpuhkan baik individu maupun negara-negara dengan utang besar.

Sistem Islam akan mampu memotong garis ketergantungan pada bantuan asing dan memanfaatkan kekayaan kolosan dan sumber daya yang kaya untuk mempromosikan kemandirian negara.

Sistem keuangan dalam islam didasarkan pada prinsip-prinsip keuangan yang sehat seperti standar emas dan perdagangan aset yang nyata dari penerapan saham dan ekonomi yang spekulatif dan akan memberikan model teladan kemajuan ekonomi dan stabilitas yang sangat dibutuhkan saat ini.

Sistem Islam akan membangun negara secara mandiri tanpa harus berutang kepada asing.

Untuk itu sudah seharusnya sistem ini diperjuangkan sehingga ke depann, diiterapkan dalam pembangunan sebuah negara, bukan sekedar membangun ibu kota baru. Wallahua’lam.[]

*Pemerhati politik

Comment