Ratih Wulan Puspita, S.Si: Islamophobia Dan Deislamisasi Historis

Opini648 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejarah memiliki posisi penting di dalam Islam. Di dalam al-Qur’an, sejarah dapat dipadankan dengan kisah. Banyak sekali kisah Nabi-nabi dan umat terdahulu yang disampaikan oleh al-Quran untuk dapat diambil ibroh (pelajaran) nya. Begitu pula dengan sejarah.

Posisi sejarah dalam pandangan Islam adalah untuk dijadikan sebagai ibroh sehingga manusia dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, baik itu masa keterpurukan maupun kegemilangan. Hanya saja, ibroh yang benar baru akan didapatkan dari sejarah yang valid. Bangsa ini akan memiliki ‘rasa yang berbeda’ manakala mengetahui bahwa sejarah masa lalunya adalah pernah menjadi bagian dari peradaban besar yang menyinari dunia dengan rahmat. Begitupula dengan penerimaan terhadap Islam kaffah dan khilafah.

Fakta bahwa adanya jejak khilafah di Nusantara sangat nyata. Bahkan, memberikan pengaruh besar dalam perjalanan bangsa ini sampai dengan kemerdekaannya. Adapun pemahaman sejarah yang disajikan saat ini secara umum, yang jauh dari gambaran adanya peran Islam dan khilafah, adalah suatu hal yang wajar.

Hal ini disebabkan ideologi yang berkuasa saat ini tidak menginginkan umat Islam sebagai mayoritas penduduk di negeri ini menemukan ruh kebangkitannya kembali. Oleh karena itu, dilakukan upaya deislamisasi historis dengan penguburan dan pengaburan fakta sejarah.

Sebagai contoh penguburan sejarah adalah peristiwa dibalik penetapan Hari Pahlawan, 10 November. Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Fatwa dan Resolusi Jihad, pada waktu tersebut Bung Tomo, dkk. di Surabaya secara heroik melawan tentara Inggris dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tapi tidak pernah diungkap apa yang melatarbelakangi Bung Tomo, dkk. begitu semangat untuk melawan penjajah.

Ternyata K.H. Hasyim Asy’ari yang menginspirasi (mendorong) Bung Tomo dan para pemuda saat itu dengan mengeluarkan fatwa jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Dan anehnya justru tanggal ini malah ditetapkan sebagai Hari Santri.1

Begitu pula dengan upaya pengaburan sejarah terlihat pada penetapan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional, berkat pendirian Taman Siswa pada tahun 1922.

Padahal, sekolah pertama adalah sekolah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1911 di Kauman, Yogyakarta, tempat Ki Hajar Dewantara belajar. Pendidikan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan ini tidak hanya mengajarkan rasa kebangsaan dan nasionalisme Indonesia, tetapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan secara luas serta menggerakkan rasa kemanusiaan.2

Pengaburan sejarah juga terjadi pada penetapan Hari Kebangkitan Nasional, yang ditonggaki oleh berdirinya Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.

Organisasi ini hanya terbatas pada elit tertentu saja, yakni: priyayi, dokter, Jawi. Padahal ada organisasi yang halir lebih dahulu (1905) dan lebih berpengaruh pada bangsa ini dalam melawan penjajah, yakni Syarikat Islam (SI). Organisasi ini didirikan oleh H. Samanhudi dan dibesarkan oleh H.O.S. Cokroaminoto yang dijuluki Raja Tanpa Mahkota oleh Belanda.

Kepesertaan organisasi ini mencakup seluruh kalangan dari berbagai wilayah di Indonesia dan tidak hanya bagi elit tertentu saja. Bahkan, terlihat lebih menonjol perlawanannya terhadap Belanda. Kongres SI pertama tahun 1906 di Solo diikuti oleh 50.000 peserta.3

Mengapa semua ini dilakukan? Tujuannya tidak lain adalah mengeliminir peran Islam pada sejarah perjalanan bangsa ini. Dengannya, bangsa Indonesia tidak akan menemukan bahwa hakikat jati diri mereka adalah Islam, bukan yang lain.

Oleh karena itu penting adanya rewriting dan retelling terhadap sejarah bangsa ini supaya masyarakat mengetahui sejarah yang valid dan dapat mengambil ibroh yang benar.

Jika mau disingkap semuanya, maka dibalik berdirinya bangsa ini tak lepas dari peran Islam.

Termasuk juga dengan sanggahan dari ahli dan pengamat sejarah terhadap film Jejak Khilafah di Nusantara yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan Kekhilafahan dengan Nusantara.

Padahal jejak-jejaknya begitu nyata. Yang harus dipahami adalah penarikan simpulan sejarah memungkinkan terjadi perbedaan karena dipengaruhi oleh cara pandang dan maksud penulis. Wajar jika terjadi perbedaan penarikan simpulan antara sejarahwan Islam dengan sejarahwan sekuler.

Simpulan bahwa Kesultanan-kesultanan Nusantara adalah bagian Kekhilafahan seharusnya mudah diterima oleh kaum muslim dengan pemahaman tentang kewajiban persatuan umat Islam di seluruh dunia dan adanya kewajiban menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Terlebih lagi ketika secara fakta hari ini, Indonesia adalah Negara muslim terbesar di dunia. Bagaimana mungkin kondisi ini dapat terwujud, jika aktivitas penyebaran Islam hanya sebatas sambilan berdagang yang tidak terkoordinir dan tersupport oleh Negara besar.

Adapun persoalan tentang perdebatan Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah sebagai Kehilafahan Islam atau bukan, dapat dikembalikan pada definisi khilafah oleh para ulama.

Salah satunya adalah menurut Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah mengatakan bahwa Khilafah adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariat dalam berbagai kemaslahatan mereka, baik ukhrawi maupun duniawi, yang kembali pada kemaslahatan ukhrawi.

Sementara Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah masih memenuhi definisi tersebut walaupun terjadi penyimpangan-penyimpangan. Akan tetapi penyimpangan yang terjadi tidak sampai mengeluarkan masa tersebut dari definisi Khilafah.

Adapun adanya suatu penyimpangan pada masa kekhilafahan adalah suatu hal yang wajar. Oleh karena Khilafah adalah Negara Basyariyah (yang dijalankan oleh manusia), bukan Teokrasi. Sehingga memungkinkn adanya kesalahan dalam penerapannya.

Walaupun demikian, Islam memiliki mekanisme akuntabilitas yang kokoh, seperti keberadaan Majelis Ummat dan Mahkamah Madzalim. Jika pada suatu masa mekanisme ini tidak berjalan, berarti sedang terjadi ketidaknormalan pada masa tersebut.

Akan tetapi, seburuk-buruknya penguasa dalam sistem Islam, masih jauh lebih buruk kehidupan pada sistem bukan islam. Hal ini disebabkan masih adanya penerapan hukum-hukum Allah.

Walhasil, bicara tentang khilafah tetap harus merujuk kepada bahasan Fiqh Siyasah, bukan sejarah. Sejarah hanya memperkuat konsep karena memaparkan bukti penerapan konsep tersebut di masa lalu.

Umat Islam kembali kepada khilafah karena kewajiban dari Allah SWT dan sistem ini pernah diterapkan selama hampir 14 abad. Khilafah memiliki dua bagian yang tak terpisahkan, yakni ajaran (normatif) dan sejarah (historis).

Referensi:
1. “Fatwa Jihad K.H. Hasyim Asyari dan Peristiwa 10 Novenber”, diakses dari https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/10/oz6vut396-fatwa-jihad-kh-hasyim-asyari-dan-peristiwa-10-november-1945.

2. Hidayatulloh, “Peran K.H. Ahmad Dahlan dalam Pendidikan”, diakses dari https://umsida.ac.id/%EF%BB%BFperan-k-h-ahmad-dahlan-dalam-pendidikan.

3. “Syarikat Islam Gugat Sejarah Kebangkitan Nasional”, diakses dari https://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/10/10/mug0by-syarikat-islam-gugat-sejarah-kebangkitan-nasional.[]

 

Comment