Rana Nabilah Mulyonoputri*: Kesetaraan Gender,  Solusi Atau Ilusi?

Berita314 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Tanggal 8 Maret tiap tahunnya diperingati sebagai International Women’s Day. Para perempuan turun ke jalan untuk menggelar aksi. Tema yang digaungkan tentu tak jauh beda dari sebelumnya, yaitu Each for Equal, perjuangan atas nama keadilan dan kesetaraan. Tak ayal, para perempuan menyerukan suaranya lewat seruan seperti “Rebut Kemerdekaan Atas Tubuh” dan “Women’s Rising”.

Tidak hanya itu, aksi “aktualisasi diri” perempuan kali ini juga diwarnai pembelaan untuk Tara Basro atas unggahannya yang kontroversial. Sebelumnya, tokoh publik tersebut mengunggah foto “half naked” dirinya di Instagram. Kominfo menetapkan unggahan Tara tersebut telah melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1. Mereka yang mendukung Tara menganggap dalih tersebut terlalu dangkal.

Mereka berpendapat bahwa itu merupakan bentuk edukasi mengenai body positivity dan upaya melawan body shaming.

Dilansir dari Riliv.co, body shaming merupakan tindakan mengejek atau berkomentar negatif terhadap keadaan fisik atau tubuh seseorang. Tindakan ini termasuk bullying yang tentunya dapat mengakibatkan luka psikologis.

Di tengah masyarakat yang “patriarki”, body shaming acap kali ditujukan pada perempuan, parahnya ini juga sering dilakukan seseorang pada dirinya sendiri. Tentu ini tak lepas dari peran media yang membentuk body image tertentu sebagai upaya para kapitalis menggali uang melalui penjualan pakaian, skin care, dan lain sebagainya.

Karena itu, perjuangan para perempuan yang “butuh dimanusiakan, tak butuh dimuliakan” dianggap sah bagi sebagian orang. Sekilas, Tara dan para perempuan lainnya memang memperjuangkan sesuatu yang baik. Hanya saja, tuntutan untuk dimanusiakan dengan kebebasan sepenuhnya itu tidak dilandasi dengan acuan yang ajeg.

Sebagaimana yang dapat dilihat, kebebasan yang digaungkan tidak memiliki standar yang pasti. Apakah kebebasan itu sebatas kebebasan untuk aktualisasi diri di tengah masyarakat atau bebas pula mengabaikan segala norma yang berlaku di masyarakat dan agama, seperti mengumbar bagian sensitif dari tubuh atas nama seni dan kebebasan.

Standar kebebasan yang tidak jelas inilah yang memantik perdebatan. Karena kebebasan yang tidak memiliki batas ini jelas sekali bermuatan liberal.
Kebebasan ini dapat melanggengkan fenomena porno aksi di segala lini kehidupan, khususnya media sosial yang penyebaran informasinya sangat masif. Padahal, porno aksi dan body shaming itu sendiri sama bahayanya bagi masyakarat. Selain karena dapat merusak akidah dan pemikiran, ini dapat berujung pada pergaulan bebas.

Dalam skala yang lebih luas, pendekatannya yang berpusat pada perempuan untuk mengorganisir kehidupan keluarga. Pandangan berbasis gender untuk memecahkan masalah dalam masyarakat justru menyebabkan kebingungan dan perselisihan baik di dalam kehidupan pernikahan maupun tanggung jawab orang tua. Sehingga menyebabkan hak dan kesejahteraan anak-anak terabaikan, peran keibuan direndahkan, dan perempuan tidak berdaya untuk memenuhi peran vital mereka sebagai ibu dan pengurus rumah tangga (Nawaz, 2018).

Ini juga seolah memberi izin bagi pria untuk lepas tangan atas kewajiban mereka menghidupi keluarganya.
Maka, tidaklah benar jika feminisme maupun konsep kesetaraan gender dianggap sebagai angin segar dalam gerak pembebasan perempuan.

Tindakan seperti ini justru merendahkan martabat perempuan itu sendiri sebagai makhluk yang mulia dan dimuliakan dalam Islam.

Adapaun cara terbaik satu-satunya untuk menjaga dan memuliakan perempuan adalah melalui penerapan ajaran islam itu sendiri. Karena ajaran dan syariat berasal dari Sang Pencipta yang paling mengerti makhluknya. Sariat itulah sebenar-benarnya hukum.
Abdullah ibn Abbas berkata, Rasululah SAW bersabda:

مَنْ وُلِدَتْ له ابنةٌ فلم يئِدْها ولم يُهنْها، ولم يُؤثرْ ولَده عليها -يعني الذكَر- أدخلَه اللهُ بها الجنة

“Siapa pun yang memiliki seorang anak perempuan yang lahir untuknya dan dia tidak menguburkannya atau menghinanya, dan tidak memanjakan anak laki-lakinya melebihi anak perempuannya, Allah akan mengizinkan dia untuk memasuki Jannah karena anak perempuannya.” (HR. Ahmad, dikoreksi oleh Al-Hakim).

Salah satu bentuk perlindungan yaitu melarang eksploitasi seksualitas perempuan sebagai komoditas objek seksual. Perempuan perlu dilindungi dari pandangan yang menghinakan ini. Oleh karenanya, Islam mewajibkan para perempuan dengan mengenakan pakaian Syariah, serta melarang pemakaian make-up di depan pria asing.

Selain itu, diwajibkan bagi perempuan maupun pria untuk menundukkan pandangan mereka agar menjaga kesucian dan menjalin hubungan yang sehat sesuai syariat.

Sayangnya, saat ini syariat Islam belum terlaksanakan secara sempurna. Oleh karena itu, perlu kesadaran dari tiga pilar yang mencakup pembinaan individu, kontrol masyarakat, dan tak ketinggalan, negara – yang menjamin penerapan syariat secara menyeluruh.[]

*Penulis adalah mahasiswi Universitas Negeri Malang

Comment