RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 2-4 November 2019 lalu. Sejumlah isu dibahas Jokowi, antara lain mengenai pembangunan infrastruktur kawasan. Melalui pembahasan tersebut diharapkan memberi dampak ekonomi yang baik kepada seluruh anggota ASEAN terutama bagi mudahnya hubungan antarnegara.
Selain itu, murahnya biaya logistik dan pertumbuhan di negara ASEAN akan semakin baik karena pertukaran barang antarnegara menjadi lebih gampang.
Pada Minggu (3/11/2019) acara pembukaan KTT Ke-35 ASEAN dan beberapa pertemuan tingkat tinggi antara negara-negara anggota ASEAN dengan para mitranya, yakni KTT ASEAN-China, KTT ASEAN-India, dan KTT ASEAN-PBB.
(https://nasional.okezone.com/amp/2019/11/02/337/2124870/jokowi-bertolak-ke-bangkok-hadiri-ktt-asean)
Jokowi juga berharap stabilitas keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Jokowi menegaskan bahwa ASEAN terbuka untuk bekerja sama dengan RRT dalam kerangka ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, yang salah satunya memfokuskan kerja sama konektivitas dan infrastruktur. Oleh karena itu, kata Jokowi, sinergi Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) 2025 dan Belt and Road Initiative (BRI) menjadi sebuah keniscayaan. ( https://m.detik.com/news/berita/4770539/bicara-di-ktt-asean-rrt-jokowi-harap-stabilitas-keamanan-indo-pasifik)
Kepentingan Penjajah Lewat Kerja Sama
Sistem kapitalis neoliberal yang dianut Indonesia telah menjadi jalan penjajahan oleh asing. Kerja sama dengan berbagai negara dalam wadah sesama anggota KTT ASEAN, apalagi KTT ASEAN bermitra dengan China, India dan PBB menambah Indonesia semakin terjajah. Master Plan on ASEAN Connectivity 2025 (MPAC) dan Belt and RoadInitiative (BRI) menjadikan Indonesia siap tergadai dan disetir oleh dunia Internasional khususnya China dan Barat.
Kerja sama dalam hal konektivitas dan infrastruktur jelas akan membuat pihak asing menanamkan aset, usaha, dan keuntungan di Indonesia. Apalagi bila kerja sama berkaitan dengan SDA memungkinkan asing pun akan menguasainya tanpa harus memilikinya.
Dengan demikian Indonesia sebenarnya terjebak dalam program internasional yang digawangi PBB dikomandoi AS dan China serta sekutunya. Indonesia harus waspada dengan program yang berkaitan dengan dunia internasional karena Indonesia kaya akan SDA dan SDM pasti akan menjadi santapan negara penjajah.
KTT ASEAN ke 35 tahun 2019 ini mengungkapkan kepada kita hakikat penjajahan negara besar bilateral dan internasional. Kerja sama yang dibangun hanya menghasilkan progam-progam penjajahan ekonomi dan politik semakin kuat ditarget negara penjajah yang akhirnya merampas kedaulatan Indonesia.
Pandangan Islam Tentang Kerja Sama Asing
Sistem Islam akan menjadikan negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan mengatur kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Dalam sistem ekonomi, Islam bukan hanya memandang barang atau jasa saja tetapi pelakunya siapa. Kalau dia asing, dipahami dulu apakah dia kafir harbi fi’lan (negara asing yang berperang atau memerangi Islam), hukman (sekutu negara harbi) atau muahid (negara yang tidak bermusuhan atau berambisi memusuhi Islam)
Maka dalam hal ini, negara Barat seperti AS dan sekutunya termasuk organisasi global PBB maka haram bekerjasama. Bukan hanya itu, negara juga memastikan berjalannya politik ekonomi dengan benar. Sehingga hal tersebut akan menjamin kesejahteraan rakyat dan mampu membangun kemandirian ekonomi sehingga tidak mudah tergoda pada intervensi berupa investasi atau kerjasama.
Dalam hal kerja sama, Islam tidak anti dengan asing. Islam membolehkan untuk menjalin hubungan diplomatik atau hubungan lainnya dengan negara asing. Semisal hubungan perdagangan, kerjasama ilmu dan teknologi, hubungan komunikasi dan transportasi, dan semacamnya.
Hubungan tersebut boleh dijalin asalkan memenuhi tiga kondisi negara lain.
Pertama, negara-negara tersebut tidak termasuk negara kafir muharibah fi’lan yaitu negara kafir yang tengah berperang atau memerangi kaum muslimin. Kedua, tidak tergolong negara kafir yang membantu negara kafir lainnya (bersekutu) dalam memerangi kaum muslimin. Ketiga, negara-negara tersebut tidak sedang bermusuhan dan tidak memiliki ambisi untuk mencaplok negeri-negeri Islam.
Dengan pengaturan yang jelas seperti ini tentu akan menjadikan negara memiliki posisi mandiri yang tidak bergantung pada kerja sama asing.
Islam mengatur sistem kerja sama dengan tidak diperbolehkannya investor asing melakukan investasi dalam bidaang strategis. Sebab jika pihak asing melakukan investasi terhadap bidang-bidang yang strategis dan vital, maka bisa dipastikan bahwa investor tersebut akan dengan seenaknya melakukan praktik bisnis yang merugikan rakyat.
Hal ini jelas haram, sebab bisa menjadi wasilah (sarana) bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim.
Allah SWT berfirman”..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.”(QS.An-Nisa:141).
Kaidah syariat juga menyatakan: Al washilatu ilal haram, muharramah (segala perantara yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya juga haram).
Ada kaidah syariah al ashlu fil madhaarut tahriim (segala sesuatu yang membahayakan, hukumnya haram). Oleh karena itu, berinvestasi dalam bisnis yang membahayakan jelas haram.
Kita ketahui bersama bahwa kebijakan yang diterapkan pemerintah saat ini sangat bertolak belakang dengan sistem politik Islam. Dimana seharusnya tugas dan peran penguasa dalam Islam adalah melakukan ri’ayah asy-sy’un al-ummah (mengelola urusan umat).
Negara tidak boleh menyerahkan aset-aset kepada asing yang menyebabkan mereka menjajah umat. Negara pun tidak boleh melakukan transaksi utang-piutang ribawi yang merugikan umat.
“Pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya,” (HR al- Bukhari dan Muslim).
Penerapan sistem ekonomi Islam dalam mengelola kekayaan dan perekonomian negara mampu menyediakan sumber dana yang dibutuhkan untuk pembangunan, termaksud pembangunan infrastruktur. Dengan itu semua dampak buruk akibat kerja sama asing bisa dihilangkan.
Kemandirian dalam negeri pun bisa diwujudkan sebab liberalisasi yang menyebabkan ketergantungan tidak akan terjadi. Wallahua’lam.[]
Comment