Rafida Aulya Rahmi [kiri] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menjelang pilpres, Indonesia tiba-tiba menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia. Sepanjang tahun 2017/2018 Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula ini tertinggi dibanding Cina (4,2 juta ton), Amerika Serikat (3,11 juta ton), Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton).
Volume gula yang diimpor Indonesia itu juga melampaui negara seperti Malaysia (2,02 juta), Nigeria (1,87 juta ton), Korea Selatan (1,73 juta ton), dan Arab Saudi (1,4 juta ton).
Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik besarnya impor gula yang dilakukan dua tahun belakangan ini. “Menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di Dunia. Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan,” ujar FaisalBasri seperti dikutip dari cuitan di Twitter-nya @FaisalBasri , Selasa, 8 Januari 2019.[tempo]
Tidak hanya itu pada maret mendatang di kutip dari tirto.id – Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, pada Februari mendatang.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, kebijakan itu diputuskan setelah rapat koordinasi terbatas yang dilakukan tahun lalu saat pemerintah membuka keran impor jagung sebanyak 100 ribu ton.
Padahal jika kita melihat di tahun sebelumnya, pada tahun 2018 kemarin produksi pangan mencapai nilai yg cukup tinggi. Pengamat Pertanian Siswono Yudo Husodo mengapresiasi capaian Kementan dalam meningkatkan produksi dan menjaga inflasi pangan. Mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) itu mengamini bahwa perluasan areal tanam merupakan faktor utama untuk terus menjaga produksi tanaman pangan agar bisa mencukupi kebutuhan penduduk yang pasti terus bertambah.
“Ekspor beras di atas 3.000 ton merupakan prestasi besar dalam kebijakan pemerintah. Ke depan, luasan lahan milik petani masih perlu ditingkatkan dengan upaya strategis. Upaya program perluasan areal tanam baru seperti lahan rawa dan lahan kering merupakan terobosan yang sangat baik, dan perlu disambut oleh gubernur dan bupati,” ucapnya.
Ketergantungan pemerintah kepada kebijakan Impor membuat para petani sulit untuk mencapai hasil produksi. Padahal di tahun sebelumnya hasil produksi cukup tinggi. Seharusnya itu menjadi apresiasi ketika nilai ekspor bisa mengalahkan nilai impor. Alih-alih kebijakan impor, para petani lokal lah yang kena imbasnya di samping mereka harus bersaing kuat dengan harga pasar dunia. Bisa di pastikan produk ekspor menjadi langka dan lebih mahal di banding harga impor.
Pemerintah Neoliberal memang tidak punya visi kedaulatan pangan karena masih terus menggantungkan pangan pada impor.
Untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis serta sistem ekonomi yang adil bukan ekonomi yang pro kapitalis. Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing.
Sistem yang memiliki ketiga hal ini hanyalah sistem Islam yang menjalankan syariah Islam dan dibawah naungan Khilafah.
Karena ketergantungan pemerintah pada asing itu hanya membuat para petani lokal gulung tikar dan semakin sulit mereka untuk memproduksi pangan. Maka ketika pemerintah masih bergantung kepada sistem neoliberalisme ketimpanganlah yang terjadi. pemerintah tugasnya hanya satu, mengurusi rakyat bukan pebisnis dan memastikan bahwa produk pribumi layak di pasarkan. Wallahu A’lam.[]
Penulis adalah Mahasiswi UIN Banten, fak. Ushuluddin dan Adab semester 4
Comment