Radikalisme Atau Islamophobia?

Opini614 Views

 

Oleh: Kartiara Rizkina Murni S. Sosiologi, Aktivis Muslimah Aceh dan Pengamatan Sosial

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Belakangan ini kita dipertontonkan pertunjukkan dan lakon yang sangat lucu. Korupsi di negeri ini merajalela, bahkan  sempat viral – Nur Afifah mendapat predikat sebagai koruptor termuda, dan deretan para koruptor yang mendapatkan diskon masa hukuman. Belum lagi Kisruh pro dan kontra pengesahan IKN yang dinilai berujung inkonstitusional seperti UU Omnibus Law karena seolah untuk memuluskan kepentingan segelintir pemilik modal.

Ditambah lagi lonjakan kasus Omicron, membuat rakyat makin tak jelas arah situasi, di tengah problem kesejahteraan masyarakat yang tidak selesai.

Sungguh aneh, Saat sederet lakon korupsi dan segudang persoalan yang begitu jelas di depan mata  tidak terselesaikan dengan bijak, justru isu radikalisme kembali digaungkan sebagai ancaman negara. Tampaknya penguasa kita merasa lebih terancam oleh isu radikalisme, daripada mengguritanya kasus korupsi, atau eksistensi negaranya yang hampir seluruhnya di kuasai asing. Sebagian kalangan menilai jualan gorengan radikal-radikul ini dipakai sebagai pengalihan isu penting lain atau sebagai upaya menutupi lemahnya sistem manajemen negara.

Meski telah meminta maaf, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan masih menemukan adanya pondok pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris. Jumlahnya mencapai ratusan pondok pesantren di berbagai wilayah. (Tempo.co 25/1/2022)

Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi mengaku bakal melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. (HarianAceh.co.id 26/1/2022)

Satu hal penting yang menjadi pertanyaan, apakah banyaknya koruptor berasal dari pondok pesantren? Apakah tingginya harga bahan pokok, yang mencekik rakyat, sehingga kemiskinan tinggi berasal dari mesjid?

Lalu mengapa mesjid dan pesantren dianggap biang radikalisme bahkan terorisme? Sebuah hal yang sangat kontra produktif di lapangan dan sangat aneh.

Lebih aneh dan lucu adalah bagaimana pemerintah bersikap terhadap teroris KKB. Teroris KKB yang telah membunuh puluhan anggota TNI dan warga sipil ini tidak disebut sebagai biang radikalisme dan terorisme.

Adanya pemetaan masjid dan pesantren untuk mensinyalir paham radikalisme adalah sesuatu yang sangat tidak konstruktif dan bijaksana. Bahkan definisi radikalisme yang dimaksud pemerintah masih simpang siur.

Melihat bagaimana sikap penguasa terhadap umat Islam, dengan menyebut pesantren dan mesjid sebagai biang radikalisme, sepertinya akan melahirkan persepsi di  masyarakat bahwa pemerintah seolah anti-Islam atau mengidap islamofobia. Umat Islam lah yang menjadi korban dari isu radikalisme yang dimotori Amerika

Henry Kissinger, asisten presiden AS untuk urusan keamanan nasional 1969-1975 dalam wawancara tahun 2004 pernah berkata, “What we call terrorism in the united states, buth which is really the unprising if radical islam against the Democratic word, on behalf of re-estabilising a sort of chaliphate”

Tampaknya ada skenario reka adegan untuk melakukan provokasi dengan memupuk stigma negatif terhadap Islam. Skenario ini disutradarai oleh penjajah barat, penguasa zolim, dan pengusung ide kapitalisme sekularisme. Para pemainnya, yaitu para antek penjajah yang menjadi para pemimpin di negeri kaum muslim.

Gencarnya propaganda-propaganda tersebut akan berkembang menjadi ketakutan yang teramat sangat terhadap Islam bahkan menjadi anti-Islam, atas nama perang melawan radikalisme, sebagian ajaran Islam dikriminalisasi, baik itu pada wujud ajarannya maupun orang-orang yang menjalankan dan menyebarkannya.

Sebut saja bagaimana Jihad dan Khilafah dianggap berbahaya oleh mereka, padahal itu merupakan ajaran Islam bukan ajaran kelompok teroris. Kemudian bagaimana ulama-ulama kita yang getol mengkritisi penguasa dan kroninya menjadi sasaran radikalisme ini, seperti ustad Abdul Somad, Ustad Felix Siauw, Habib Bahar bin Smith, Habib Rizieq Syihab dan para pengemban dakwahnya.

Begitulah sikap penguasa dalam sistem kapitalisme sekuler, eksistensinya sebagai penguasa dianggap lebih penting walaupun harus mengorbankan rakyatnya. Sehingga apa dan siapapun yang berbeda pandangan dengan pemerintah dianggap berbahaya. Ini terjadi dalam pemerintahan otoriter.

Kemiskinan, kelaparan, korupsi, kesehatan yang kolaps, kriminalitas tinggi, pornografi, pornoaksi, bencana alam tidaklah lebih prioritas untuk ditangani daripada isu radikalisme.

Allah Swt. berfirman,
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sementara Allah enggan kecuali menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS At-Taubah: 32)[]

Comment