Puspita Ningtiyas: Politik Penyanderaan, Tradisi Lama Dalam Demokrasi

Opini607 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Polemik yang terjadi di sebuah negeri adalah dampak logis dari sebuah kebijakan penguasa terhadap rakyatnya. Secara alami penguasa merupakan pemilik kewenangan dalam membuat kebijakan dan penguasalah yang bisa melakukan apapun atas kuasa yang dimilikinya.

Karena itulah penguasa atau pemimpin harus memenuhi kemampuan berlaku adil sehingga sebuah kebijakan yang dibuat tidak menyimpang dari tujuan untuk mengurusi rakyat dengan nilai keadilan.

Agar penguasa memiliki kemampuan berlaku adil secara totalitas, seorang penguasa atau pemimpin harus bersikap independen dalam mengambil kebijakan. Independen dalam konteks tidak dipengaruhi oleh kepentingan individu, politik dan intetvensi pihak eksternal atau asing.

Kepentingan politik dan intervensi sebuah kebijakan sangat menggangu nilai nilai keadilan yang berdampak langsung dalam pengelolaan dan pengurusan rakyat.

Bila sebuah kebijakan lebih didominasi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu dan mengabaikan keadilan untuk rakyat maka sang penguasa berikut kebijakan tersebut telah tetsandera. Pemerintah dan atau penguasa yang memiliki kewenangan kemudian tidak mampu melawan dominasi kepentingan pihak tetsebut maka kekuasaan yang dimilikinya tidak lain hanya sebagai boneka belaka.

Selama 74 tahun merdeka, ada pola yang sama dalam proses pemerintahan di Indonesia. Selain pemilu yang periodik 5 tahun sekali, dampak dari pemilu juga punya pola yang sama. Bukan hanya ada yang menang dan kalah, tapi juga muncul dominasi partai politik (pengusung presiden) yang nantinya secara mayoritas menguasai kursi pemerintahan.

Sistem politik lah yang menentukan arah kebijakan sebuah negara. Jika sistem politik Demokrasi yang digunakan, tentu kita bisa katakan arah kebijakan akan mengikuti pola demokrasi.

Ciri khas demokrasi adalah terpilihnya wakil rakyat, serta kebebasan berserikat dengan partai politik, bahkan itu menjadi sebuah keharusan.

Dalam konteks ini, isa ditebak bahwa pola yang muncul adalah kebebasan berebut kekuasaan di kalangan anggota partai politik, dan yang berjaya adalah partai pengusung presiden terpilih. Ini adalah tradisi lama, karena sejatinya begitulah wajah demokrasi.

Berbeda dengan Islam, para pemimpin terpilih karena 7 syarat melekat pada diri mereka. Di antara syarat tersebut adalah seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu. Dengan 7 syarat ini saja seseorang bisa mencalonkan diri menjadi pemimpin walaupun tidak diusung oleh partai politik.

Justru hal ini akan menjadikan pemimpin yang terpilih mampu independen karena tidak ada intervensi dari pihak yang mengusung. Pemimpin dipilih karena kelayakannya, karena kedekatannya dengan Allah dan kesiapannya membuat kebijakan yang sesuai dengan Al-quran dan Sunnah. Dengan begitu, pemimpin-pemimpin yang terpilih adalah mereka yang totalitas menjalankan amanah dari Allah yaitu tulus mengurusi urusan rakyat tanpa tendensi pihak lain.

Agama dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qal’i, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).[]

Comment