RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di tengah tuntutan global untuk mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, konsep ekonomi hijau muncul sebagai solusi strategis. Ekonomi hijau berfokus pada pembangunan yang ramah lingkungan, mengurangi emisi karbon, dan memperkuat daya saing melalui inovasi berkelanjutan.
Di sisi lain, pertumbuhan bisnis berbasis syariah telah menunjukkan potensinya sebagai pilar ekonomi yang adil, transparan, dan berbasis nilai-nilai moral. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi syariah global, yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi domestik tetapi juga memperkuat posisinya di pasar internasional.
Namun, seberapa besar peluang tersebut dapat kita manfaatkan? Bagaimana sinergi antara ekonomi hijau dan bisnis syariah dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional? Dan yang tak kalah penting, seperti apa peran pemerintah baru dalam menciptakan kebijakan yang mendukung dua sektor ini secara berkelanjutan?
Untuk tujuan tersebut universitas Paramadina bersama Indef menggelar seminar dengan tema “Peluang Ekonomi Hijau dan Bisnis Syariah pada Pemerintahan Baru” yang diselenggarakan secara offline dan online, Sabtu, (30/11/2024).
Hadir dalam seminar tersebut Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini memberi sebuah pengantar.
Didik mengatakan, ekonomi dan manajemen adalah dua wilayah. Ada positive economic dan normative economic, dua duanya harus ada seperti koin mata uang.
Hadir dalam seminar kerjasama Universitas Paramadina dan Indef tersebut dua pakar sebagai pembicara, Prof. Dr. Muhammad Yusuf, SE., Ak., MM., CA., Guru Besar Universitas Paramadina Dan Prof. Nur Hidayah S.Ag., SE., M.A., M.A., Ph.D. Kepala Center for Sharia Economic Development INDEF
Rektor Universitas Paramadina itu menambahkan bahwa pelaku bisnis masih kurang peduli terhadap economic normative dan lebih berorientasi pada sisi positive economic saja.
Dia mencontohkan sebuah usaha dan bisnis yang lebih berfokus pada sisi positive economic tanpa mempedulikan normative economic.
“Menjual beras untung, menjual narkoba untung tapi ada normatif. Nah normatif etika ini yang sering diabaikan.” Urai Didik.
Ekonomi lanjut Didik, memiliki sisi yang dapat merusak. Ia mencontohkan bisnis sebuah pabrik sabun.
“Misalnya Anda buat sebuah pabrik sabun. Untung selama 1 tahun Rp10 milyar tapi limbah dibuang ke sungai. Pemda mengeluarkan 20 milyar untuk mengatasi penyakit kulit dll akibat limbah tersebut. Sebenarnya itu rugi tapi di akunting perusahaan itu untung. Ini dilemma yang harus kita pecahkan bersama. Terutana yang sudah senior termasuk sarjana dan itulah maksud kita seminar.” Imbuh Didik.[]
Comment