Oleh : Inna Indigo Hakim, S.Pd, Praktisi Pendidikan
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menanggapi pro dan kontra hukuman mati atas terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap santriwati, Herry Wirawan, HW, dr. Arum Harjanti selaku pengamat masalah perempuan, keluarga, dan generasi mengatakan bahwa pro kontra ini menunjukkan ketakadilan.
“Ketakadilan justru akan terjadi ketika hukum Allah ditinggalkan dalam penentuan sanksi kejahatan besar yang sangat mengoyak nilai kemanusiaan ini,” ungkapnya pada MNews, Sabtu, 15/12/2022.
Dr. Arum menjelaskan hal tersebut sebagai gambaran ketika penetapan hukuman diserahkan kepada akal manusia dan tidak menyandarkannya pada Zat Yang Maha Mengetahui, yaitu Allah Taala. Menurutnya, pro kontra terhadap hukuman yang dituntut oleh JPU—berupa hukuman mati dan kebiri kimia—menunjukkan bahwa penilaian manusia akan senantiasa bertentangan. Oleh karena itu, sulit mengharapkan adanya keadilan yang sesungguhnya.
“Ketika hukuman mati dan kebiri atas pelaku kejahatan kemanusiaan ini dianggap bertentangan dengan HAM, lantas bagaimana aspek HAM pada korban kejahatan seksual yang menderita dalam berbagai aspek, baik fisik maupun psikis?” tanyanya retorik.
Bahkan, ia menilai sungguh berbahaya ketika menyandarkan penetapan hukuman pada sekularisme, sistem yang melepaskan kehidupan dari asuhan agama dengan bersandar hanya kepada akal manusia.
“Sekularisme mengagungkan lemahnya akal manusia dan membuang jauh peran agama dalam pengaturan urusan manusia. Maka, perbedaan pendapat manusia yang mengantarkan perbedaan pilihan hukum berdasarkan perbedaan standar yang dihasilkan dari sekularisme tadi justru akan mengantarkan kepada ketidakadilan. Inilah bahayanya,” imbuhnya.
Dr. Arum pun menegaskan bahwa persoalan besar ini membutuhkan solusi mendasar, baik dari sisi pencegahan maupun sanksi yang menjerakan. Termasuk juga perlindungan penuh terhadap korban. Hanya aturan Allahlah, katanya, yang akan memberikan keadilan terbaik di dunia maupun di akhirat, baik terhadap pelaku maupun korban.
“Hukum yang adil ini hanya akan dapat diterapkan sempurna dalam sistem yang juga menerapkan aturan Allah secara kafah. Tidak hanya dalam perkara kejahatan seksual saja, tetapi juga dalam semua bidang kehidupan. Tegaknya Khilafah Islamiah menjadi harapan tegaknya keadilan yang sesungguhnya,” tegasnya.
Islam yang menyolusi segala tindak kemaksiatan
Aturan dalam Islam bersifat paripurna, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun permasalahan yang luput tanpa solusi. Dalam Islam, pemerkosa dijatuhi had zina (sanksi atas perzinaan). Jika pelakunya telah menikah (muhshan), ia dirajam sampai mati. Sementara, jika pelakunya belum menikah (ghayr muhshan), ia dijilid dengan seratus kali dera.
Allah Swt. berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS An-Nur: 2).
Bagi pelaku yang belum menikah, selain dijilid seratus kali, ia pun diasingkan sebagai pengamalan sunah Rasulullah. Pengasingan itu bersifat, dan bukan wajib. Hal itu diserahkan kepada keputusan imam (khalifah).
Sementara, bagi pelaku pencabulan, pelanggaran terhadap kehormatan, dan pelanggaran terhadap diri, termasuk hukuman takzir. Hukuman takzir diserahkan kepada penguasa atau hakim yang pidananya boleh sama dengan sanksi dalam hudud (sanksi-sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah Swt.) dan jinayah (penganiayaan terhadap badan) atau lebih rendah, tetapi tidak boleh melebihi dari keduanya.
Dalam Islam, kejahatan adalah perbuatan tercela, sedangkan yang tercela adalah apa saja yang dicela oleh Asy-Syari’. Saat syariat menetapkan suatu perbuatan itu tercela, sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Perbuatan itu dianggap sebagai dosa yang harus dikenai sanksi.
Jadi, substansi dosa adalah kejahatan. (al-Maliki, Abdurrahman. (1990). Nizham al-Uqubat. Beirut Lebanon: Dar al-Ummah. hlm. 5).
Sistem hukum pidana Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Firman Allah Swt., “Dalam hukum kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 179). Maksud dari ayat ini adalah terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum kisas, yaitu menjaga jiwa.
Setiap manusia yang berakal sehat akan menyadari bahwa jika ia melakukan pembunuhan, ia terancam mendapat sanksi hukuman mati. Ia pun tidak akan berani melakukan pembunuhan. Di sinilah fungsi pencegahan (zawajir), yaitu mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Setiap sanksi dalam Islam telah diatur sedemikian rupa guna mencegah manusia dari berbagai tindakan kejahatan dan menebus dosa pelakunya di hadapan Allah Swt.. Namun, setiap sanksi yang ditetapkan mengharuskan adanya seorang Khalifah dalam institusi Khilafah. Tidak bisa memberlakukan sanksi pidana Islam dalam bingkai demokrasi. Sebab, demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam.[]
Wallahu’alam bishowab
Comment