PPN Meningkat, Ekonomi Indonesia Darurat

Opini41 Views

 

Penulis: Rahmi Ekawati, S.H |Digital Creator

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yakni makan bergizi gratis merupakan salah satu alasan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen resmi berlaku mulai 1 Januari 2025.

Airlangga menyampaikan, kenaikan tarif PPN sebesar satu persen dari 11 menjadi 12 persen tersebut dinilai dapat meningkatkan pendapatan negara sehingga dapat mendukung program prioritas pemerintahan Prabowo pada bidang pangan dan energi.

Di samping itu juga untuk berbagai program infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial dan juga program terkait dengan makan bergizi.

Akhirnya muncul petisi menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang ditandatangani lebih dari 113.000 orang sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu dilakukan pada aksi damai di depan Istana Negara.

Pro dan kontra terus mencuat terkait rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku mulai Januari 2025. Kebijakan ini memicu beragam pendapat di tengah masyarakat dan pelaku usaha mengenai dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebagai upaya mengurangi beban masyarakat, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah langkah kompensasi melalui berbagai paket stimulus ekonomi. Langkah tersebut mencakup pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu.

Namun, kebijakan stimulus ekonomi untuk mengurangi dampak kenaikan PPN 12% hanya berlaku dalam jangka pendek, semisal diskon listrik yang berlaku 2 bulan pertama saja. Begitu pula dengan bansos yang mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Setelahnya, semua kembali ke tatanan semula. Rakyat menanggung beban ekonomi yang berat akibat kenaikan PPN 12%.

Pajak dalam sistem kapitalisme

Pajak dalam sistem kapitalisme menjadi tulang punggung pendapatan negara sehingga penguasa terus memburu rakyat dengan berbagai pungutan. Selama mendatangkan pemasukan, kenaikan pajak dan aneka tarif akan menjadi kebijakan langganan bagi penguasa kapitalistik.

Ada banyak jenis pajak di Indonesia, di antaranya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Salah satu bukti bahwa pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara ialah peningkatan pemasukan pajak yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. BPS melaporkan bahwa penerimaan pajak mencapai 82,4% dari total penerimaan. Pada 2023, pendapatan negara sebesar Rp2.634 triliun. Tahun 2024 menjadi tahun dengan penerimaan negara paling tinggi sepanjang sejarah karena diperkirakan mencapai Rp2.802,3 triliun.

Mengutip laman Kemenkeu (9-11-2024), hingga 31 Oktober 2024 pendapatan negara tercatat Rp2.247,5 triliun atau 80,2% dari target APBN. Bisa terbayang nilai pendapatan negara tatkala kebijakan PPN 12% benar-benar terealisasi. Jelas akan meningkat tajam.

Pajak dalam Islam

Dalam konsep ekonomi, islam memiliki sumber pemasukan yang berasal dari baitul mal. Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishady fi Al-Islam yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa sumber pemasukan tetap baitulmal adalah fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat.

Hanya saja, harta zakat diletakkan di bagian khusus baitul mal serta tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (golongan) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara maupun urusan umat.

Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum, juga diletakkan di bagian khusus baitul mal dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslim yang diberikan oleh khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslim yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum syariah.

Pajak bisa diambil hanya ketika kas negara (baitul mal) benar-benar kosong dan digunakan untuk pengeluaran wajib dari baitul mal. Penarikan pajak (dharibah) dalam Islam bersifat temporal, bukan menjadi agenda rutin seperti halnya pajak dalam sistem kapitalisme.

Demikianlah, Islam memberi gambaran kepemimpinan yang amanah adalah mengurus dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, meringankan beban dan membantu mereka jika mengalami kesulitan ekonomi.[]

Comment