Penulis: Siti Nurhalizah, S.Pd., M.Pd., Gr | Dosen
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Awal tahun baru merupakan momen membuat resolusi bagi siapa pun, setelah mengalami berbagai situasi tahun lalu yang penuh dengan ketidakpastian. Berharap tahun ini menjadi tahun dengan kondisi yang lebih baik melalui perencanaan yang lebih realistis.
Namun masyarakat kembali dikagetkan dengan pemberitaan yang jauh panggang dari api. Mulai dari kasus korupsi nikel hingga kenaikan PPN 12%. Alih-alih memberikan harapan finansial lebih baik, masyarakat justru ikut dibebankan atas kelalaian negara menjaga asetnya lalu menormalisasi kasus-kasus yang menyebabkan kebocoran anggaran Negara.
Beban masyarakat semakin terasa seiring kenaikan PPN 12% yang memberikan dampak kepada kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan biaya transaksi, dan berbagai wujud ketidakstabilan ekonomi lainnya.
PPN hanya naik 1% untuk barang dan jasa mewah, benarkah tidak berdampak pada kelesuhan ekonomi rakyat?
Kenaikan pajak PPN menjadi 12% bagi sebagian kalangan berpendapat bahwa hal ini tidak menurunkan kesejahteraan masyarakat kecil, karena kenaikannya hanya 1%, apalagi hanya diberlakukan untuk barang mewah (detikfinance, 10/12/24).
Kenaikan pajak pada barang mewah dan premium tidak berarti nihilnya beban masyarakat kecil. Karena kebijakan fiskal sifatnya sistemik, jika tidak terdampak secara langsung maka secara tidak langsung.
Fakta di awal tahun 2025 justru harga kebutuhan sehari-hari mengalami kenaikan yang signifikan, mulai dari harga minyak goreng, beras, BBM, PAM, dan kebutuhan yang lain (ekonomi.bisnis.com, 07/01/25).
Belum lagi ramainya laporan kenaikan PPN pada sektor-sektor tidak mewah (nasional.kontan.co.id, 02/01/25), meski kemudian direvisi setelah berita tersebut viral.
Kenaikan pajak apapun bentuknya, apakah untuk barang mewah atau tidak tetap akan berdampak secara umum. Logika mudahnya: menarik pajak berarti mengambil kembali uang yang sudah diedarkan ke masyarakat, artinya akan terjadi berkurangnya peredaran uang di masyarakat melalui keharusan masyarakat membayar lebih untuk mendapatkan suatu barang atau jasa tertentu.
Hal ini selain menyebabkan masyarakat yang terdampak secara langsung semakin lesu secara ekonomi, titik klimaksnya menyebabkan terjadinya penurunan harga uang atau kita sebut inflasi karena misalnya yang biasanya harus membayar 10.000 untuk mendapatkan satu barang,
Adanya PPN 12% mengharuskan membayar 11.200 untuk memperoleh barang yang sama. BPS mencatat di laporan tahunan angka inflasi desember ini 1,12%, yang diprediksi oleh survey BI akan naik di februari mendatang (id.investing.com, 11/01/25).
Selain efek inflasi, kenaikan harga tersebut dirasakan masyarakat akibat berlakunya rantai perekonomian. Ilustrasi mudahnya, mengapa beras non-premium tetap naik?
Karena untuk menghasilkan beras non-premium perlu melalui rantai perekonomian. Misal rantai pertama yaitu petani, petani memerlukan pupuk dan berbagai peralatan yang diproses oleh alat produksi atau alat berat yang juga terdampak pajak, dalam hal ini terkait dengan kebijakan baru tingkat daerah adanya pajak barang berat 0,2% (industri.kontan.co.id, 13/12/24).
Kelesuhan lebih rentan dirasakan bagi bahan produksi yang terkategori mewah menurut pemerintah, misal bahan mentah tertentu dari hasil impor. Selain fakta rantai perekonomian, kenaikan PPN 12% memiliki sensitivitas tinggi yang memberikan sinyal bagi pelaku usaha untuk menaikkan harga barang dan jasa. Mengingat adanya potensi perekonomian yang lebih sulit, sehingga mereka menambah pemasukan melalui menaikkan harga-harga. Inilah mekanisme pasar yang tidak akan mampu dikendalikan oleh pemilik kebijakan.
Meluruskan analisis asimetris mengenai kebijakan pajak
Lantas siapakah yang mesti bertanggung jawab atas kenaikan pajak? Perlukah mengaitkan dengan politik praktis yang sifatnya periodical seperti pemilu, sehingga ada pendukung yang merasa benar dan pendukung lainnya yang tertuduh atau membandingkan secara asimetris kebijakan pajak di Indonesia dan luar negeri Eropa misalnya, kemudian menyimpulkan bahwa pajak di luar negeri lebih baik daripada di Indonesia?
Atau lebih jauh dari itu, dengan menyalahkan penerapan pajak di sistem perekonomian kapitalistik yang sifatnya membebani rakyat lalu membenarkan pajak di sistem sosialis yang sifatnya untuk kemerataan ekonomi?
Tentu premis-premis semacam itu perlu kita kaji lebih lanjut.
Namun perlu terlebih dahulu mendudukkan bahwa jika bicara pajak, mesti mengaitkan dengan paradigma sistem perekonomian yang sedang berlaku. Hampir semua negara di dunia menerapkan sIstem perekonomian yang dibangun oleh paradigma kapitalisme. Kapital bermakna pemilik modal, isme bermakna paham.
Artinya saat ini mayoritas dunia menerapkan perekonomian yang asas utamanya berupa paham yang mengutamakan para pemilik modal. Sehingga pemilik modal sangat berpengaruh dalam perekonomian Negara. Negara yang menerapkan ekonomi kapitalistik ini memberikan kebebasan bagi para pemilik modal untuk mengelola asset negara menjadi lahan bisnis bagi mereka.
Dalam konteks Indonesia, aset negara didominasi berupa sumber daya alam serta sebagian besar dikelola oleh pemilik modal baik berupa PT dalam negeri maupun asing. Sehingga wajar jika kita dapati adanya 20 terkaya dengan total aset setara dengan APBN Negara (economy.okezone.com, 01/11/24).
Artinya, negara didikte oleh para kapital (pemilik modal) ini. Wajar jika sikap pemilik kebijakan lebih longgar pada kalangan ini misalnya melalui kebijakan tax holiday (bebas pajak) yang diperpanjang hingga akhir 2025 (www.pajak.com).
Sehingga premis-premis asimetris diatas dengan sendirinya dapat terjawab. Bahwa siapapun pemimpinnya, jika sistem yang diadopsi masih sama maka tidak akan memberikan perubahan sistemik yang signifikan bagi APBN negara.
Kemudian tidak pantas menormalisasi kebijakan pajak melalui memalak rakyat di Negara manapun selagi Negara masih memiliki pos pemasukan lainnya. Apalagi untuk Indonesia yang notabene memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah.
Ekonomi Kapitalistik Liberal Menyengsarakan Rakyat, Saatnya kembali ke ajaran agama?
Menerapkan ekonomi kapitalistik liberal tidak memberikan manfaat bagi masyarakat bahkan Negara, justru sebaliknya negara mengalami kerugian amat besar. Sistem kapitalisme merupakan perkembangan sekulerisme di Eropa barat. Eropa dulunya menerapkan negara teokrasi dengan basis nasrani. Sebab nasrani tidak memiliki konsep mengatur sistem ekonomi dan politik, maka masuklah aturan-aturan siluman yang berasal dari para raja zalim. Sehingga memicu konflik antara kaum cendikiawan dan gereja, sejak saat itu diperoleh solusi kompromi berupa sekulerisme, yaitu agama boleh tetap ada namun tidak boleh mengatur Negara. Artinya dipisahkan antara urusan agama dan politik.
Namun kemudian islam datang dengan konsep yang sempurna, tidak hanya sebagai agama ritual namun sebagai din atau ideologi yang mengandung pandangan utuh tentang sistem kehidupan. Namun sangat disayangkan ini hari sekulerisme juga ikut diemban oleh muslimin sendiri yang sejatinya tidaklah tepat. Karena islam tidak seperti agama sebelumnya.
Sekulerisme ala barat diterapkan secara struktural yang dibalut dalam bentuk perjanjian internasional dan program-program pembangunan berkelanjutan. Namun sedikit yang menyadari bahwa hal tersebut justru memperkokoh hagemoni barat ke negeri-negeri kaum muslimin dan merupakan upaya melazimkan sekulerisme global.
Sudah saatnya menoleh kembali kepada sistem politik ekonomi yang memberikan kepastian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Banyak “Negara maju”, tapi ironisnya masyarakat tidak sejahtera, menjadi korban pemalakan Negara, bahkan mengalami kemerosotan pendidikan dan moral.
Begitu kiranya jika nekat menggunakan sistem politik ekonomi yang nisbi, disisi lain menanggalkan konsep agama. Secara politik, ajaran agama islam memerintahkan agar setiap pemangku kebijakan memiliki sifat amanah dan memiliki kapasitas mengurusi urusan masyarakat. Termasuk dalam hal pengelolaan aset Negara.
Terdapat sekitar 18 pos pemasukan utama dalam ekonomi islam, sedangkan pajak merupakan pos terakhir yang akan diterapkan jika Negara tidak memiliki kas untuk memenuhi kebutuhan.
Demikian terkait pengeluaran, Negara wajib menentukan prioritas pengeluaran, haram hukumnya mendahulukan pengeluaran yang sifatnya bermegah-megahan berupa kebijakan infrastruktur, disisi lain masyarakat masih terlantarkan.
Konsep distribusi dalam islam merupakan hal yang sangat prinsipal dan berbeda dengan hari ini. Ini hari untuk mendistribusikan kekayaan milik umum, masyarakat harus memberikan kompensasi berupa sejumlah uang. Sedangkan dalam konsep islam, kekayaan yang sifatnya milik umum semisal air, listrik, minyak, dan barang lainnya yang masuk kategori milik umum diberikan secara gratis kepada masyarakat. Karena negara hanya sebagai pengelola, bukan pebisnis.
Adapun ada biaya pengelolaan, maka tidak akan besar sebagaimana harga beli hari ini karena sifatnya bukan jual beli namun pelayanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput dan api. Dan harganya adalah haram.”.
Demikian gambaran umum ekonomi politik yang diatur oleh agama, sudah saatnya agama tidak sekedar menjadi sistem ritual, akan tetapi sistem kehidupan yang mesti dipahami dan diterapkan secara ril dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun Negara. Wallahu a’lam bi showab.[]
Comment