PPKM Darurat,  Ekonomi Warga Tersumbat

Opini594 Views

 

 

Oleh : Didi Diah, S. Kom, Praktisi Pendidikan

___________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kemerintah telah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat jawa-Bali sejak 3 Juli hingga 20 Juli mendatang.

Kebijakan ini lahir berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.

Keinginan pemerintah menerapkan PPKM darurat bertujuan menghentikan wabah yang pertama kali merebak dari Wuhan, China.

Dengan kebijakan PPKM ini aktifitas yang dianggap mengundang kerumunan seperti  toko, pasar, masjid dan rumah ibadah pun ditutup. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya kembali dilaksanakan secara daring. Perkantoran pun dilaksanakan secara WFH.

Wabah yang dianggap sebagai pandemi dunia oleh WHO ini mendorong pemerintah mengambil kebijakan PPKM untuk memutus mata rantai sebaran virus asal Wuhan itu.

Melihat perkembangan kasus yang semakin meningkat sejak munculnya varian baru yang disebut delta di India,  Pemerintahpun mempertimbangkan dan berencana memperpanjang masa PPKM darurat ini.

Namun dalam praktik di lapangan, kebijakan PPKM tersebut ditemukan banyak hal yang kurang humanis oleh petugas dan menimbulkan persoalan baru. Salah satu contoh kasus adalah apa yang menimpa Praka Izroi Gajah yang berstatus sebagai paspampres Dan banyak lagi kasus kasus lain yang ditemukan di lapangan saat pelaksanaan PPKM ini.

Pemberlakuan PPKM dirasa cukup berat bagi warga terutama pedagang yang memang mengandalkan mata pencariannya dari bekerja harian.

Kebijakan PPKM selain tidak didukung pemahaman yang humanis oleh petugas di lapangan, hal ini perlu dipertimbangkan ulang antara dampak dan tujuan sebagai sebuah solusi.

Efekttifitas sebuah kebijakan sejatinya memberikan solusi menyeluruh bagi hajat hidup rakyat terutama bagi mereka yang memang harus bekerja dan mengais penghidupan di luar rumah.

Berkaca dari kebijakan  yang sebelumnya diterapkan oleh pmerintah, sulit bagi kita untuk meyakini bahwa pemerintah mampu mengatasinya.

Coba kita pikirkan, sejumlah institusi diminta work from home di beberapa tujuan wisata, lalu pembelajaran tatap muka diminta untuk aktif kembali setelah sebelumnya dirumahkan.

Terdapat inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang kemudian menimbulkan warna ketidak adilan di masyarakat. Masjid diminta ditutup dari kegiatan kegiatan ibadah rutin untuk menghindari kerumunan dan klaster virus namun mal dan tempat wisata tak masalah untuk terus dibuka.

Kebijakan berbau kapitalistik dan dirasa tidak adil dan tidak konsisten ini sangat membingungkan publik. Mampukah rakyat melewati kondisi sulit ini? Mampukah kepemimpinan kapitalis mengakhiri pandemi?

Pemberlakuan PPKM darurat untuk Pulau Jawa dan Bali juga menjadi sebuah pertanyaan yang belum mendapat jawaban secara tepat dari pemerintah. Kebijakan ini lebih tidak dipahami lagi oleh rakyat saat Pemerintah membuka akses warga asing yang berdatangan ke Indonesia.

Kedatangan warga asing dari luar Indonesia termasuk Tenaga Kerja Asing (TKA) di wilayah Timur Indonesia merupakan kebijakan yang bertabrakan dengan upaya pemerintah membatasi dan mengendalikan sebaran virus dengan strategi PSBB dan berlanjut dengan PPKM yang banyak menimbulkan masalah di lapangan.

PPKM darurat berjalan namun tidak sesuai harapan karena demi perut, masih banyak orang yang bekerja dan tetap berjualan.

Intinya, hindari kebijakan yang membuat kehidupan ekonomi rakyat kecil tersumbat.[]

Comment