Poros Jakarta Gelar Diskusi Terkait Pilkada dan Gerakan Coblos Semua

Politik85 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Poros Jakarta yang dinakhodai Biem Benjamin, Putra seniman Betawi, Benjamin Sueb dan Eka Jaya menggelar diskusi politik terkait Pilkada dan fenomena Gercos di Benz Zone, Graha Etnikom, Jl. Jagakarsa Raya/39, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).

Hadir dalam diskusi tersebut para pakar antara lain Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A. (Peneliti BRIN), Dr. H. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. (Pakar Hukum Tata Negara), Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si. (Pakar Ekonomi) dan H. Biem Benjamin, B.Sc, MM.

Diskusi tersebut dimoderatori oleh mantan pembawa acara Metro Realitas di Metro TV, Rahmah Sarita Al-Jufri, S.H yang kini tampil apik dengan balutan hijab.

Biem Benjamin dalam kesempatan diskusi tersebut mengatakan sekaligus mengklarifikasi bahwa Poros Jakarta bukan yang memprakarsai Gercos alias Gerakan Coblos Semua. Menurut Biem, Gercos itu murni Gerakan masyarakat namun tetap konstitusional dan demokratis.

“Yang tidak demokratis itu yang tidak memberi kesempatan orang lain berkompetisi.” Ujar Biem.

Biem menambahkan aspirasi rakyat (terkait calon di pilkada Jakarta)  sudah disampaikan ke elit partai. Suara rakyat, kata Biem adalah suara tuhan (Vox Populi Vox Dei) namun para elit tidak mau mendengar sehingga membuat masyarakat kecewa.

Reply Harun yang dikenal dengn slogan ‘Cadas’ di Chanel YouTube miliknya itu memaparkan bahwa ada suara di luar yang mengatakan bila kita Golput atau Gercos akan ada pihak yang diuntungkan.

“Saya tidak sedang melakukan kalkulasi politik. Tidak sedang berdagang. Yang saya sampaikan adalah hati nurani. Bagaimana melawan kartel politik dan oligarki.” Tegasnya berargumen.

Menurut Rahma Sarita yang didaulat sebagai moderator dalam diskusi tersebut mengomentari, Gercos merupakan reaksi masyarakat yang sudah muak dengan proses pemilihan yang tidak fair.

Ichsanuddin Noorsy yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut menambah suasana panas dengan isu yang dipaparkan.

Didukung validitas data yang kuat, dia menyoroti dan menelaah terkait sistem yang salah dan tokoh yang buruk. Sistem pemilu yang ada sekarang menurutnya salah diikuti dengan tokoh (politik) yang buruk pula. Sistem tersebut lanjutnya  harus memiliki 4B; Baik, Benar, Bertanggung jawab dan Berani menegakkan keadilan.

“Logika normatif konstitusional bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan adalah argumen desepsi, argunen yang sesungguhnya palsu. Ini menggambarkan sistem yang rusak. Ini telah berjalan satu generasi dari 2004-2024.” Tegasnya.

Dibuktikan dengan data dan angka, dia mencontohkan jumlah penduduk dan jumlah pemilih tetap (DPT) Sejak 2004-2024 tidak terjadi relasi yang signifikan. Dari data yang diperoleh dan bersumber dari Dukcapil, KPU dan BPS, Ichsanuddin Noorsy menelusuri secara rinci terkait pertambahan penduduk.

Ternyata, lanjut Ichsan Noorsy, setelah dilakukan penelusuran, pertambahan penduduk sejak 2004 diikuti dengan jumlah DPT tidak terjadi hubungan signifikan. Secara akademik, katanya, pertambahan dan penurunan DPT tidak bisa diterima.

Ichsan mencontohkan, pada 2004 ke 2009, jumlah penduduk meningkat 13.515.000. Apa yang terjadi dengan jumlah DPT? Saat itu jumlah DPT meningkat sebesar 24.54.000.

Lompat ke tahun 2024. Jumlah pertambahan penduduk 14.194.000 sedangkan jumlah pertumbuhan pemilih sebesar 4.819.352. Hal ini menurut Ichsanuddin Noorsy sebagai DPT fiktif.

Pandangan Ichsanuddin Noorsy dalam hal ini diperkuat dengan data resmi dari dua tempat, kementerian keuangan dan kemensos yang mengungkap bahwa terdapat sejumlah desa dan bansos fiktif yang oleh KPK dinyatakan merugikan negara sebesar 10-11 Triliun.

Masih terkait sistem, Ichasnuddin Noorsy juga mengkritisi perubahan UUD dari 1999 ke 2002, Pasal 6A ayat 2. Dia juga menyoroti gagalnya peran Partai Politik.

“Partai politik sejak 2004 hingga sekarang menunjukkan kegagalan peran.” Ujarnya.

Indikator kegagalan ini menurut Ichsan adalah saat partai mengusulkan calon yang bukan dari partainya. Ini pertanda rusaknya sistem pengkaderan. Lebih dahsyatnya adalah politik dinasti dan keluarga.

Sejak 2004 – sekarang yang terjadi menurut Ichsan adalah penghisapan dan pemiskinan struktural melalui sistem politik.

Ichsan mengatakan, Pemilu 99 menelan biaya perpemilih sebesar Rp12.383.41 dan pada tahun 2002 menelan biaya sebesar Rp39.336.76. Tahun 2024 biaya perpemilih Rp348.132.25 dengan kenaikan 7 kali lipat. Point penting yang digaris-bawahi dalam hal ini adalah biaya politik melampaui hitungan perpemilih.

Mengenai Gerakan coblos semua (Gercos), Ichsan mengatakan, pada hakikatnya membuktikan sedikit demi sedikit demokrasi digital mulai berpengaruh dan membuka pemahaman bahwa demokrasi yang dibawa barat itu palsu.

Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A., Peneliti BRIN yang juga sebagai narasumber dalam diskusi yang digelar Poros Jakarta mengatakan, Gercos sebagai ketidak percayaan publik kepada pengelola pemilu.

Terkait demokrasi, dia percaya tapi dengan catatan bahwa demokrasi yang membangun peradaban dan dignity. ,

“Kalau ini kesepakatannya maka Pilkada, Pilpres dan Pileg harus duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Tidak boleh ada yang dianak emaskan. Tapi celakanya, pemilu serentak 2024 memberi pembelajaran yang sangat buruk kepad kita semua.”imbuhnya.[]

Comment