Penulis : Ihta Tiana | Mahasiswi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pesta demokrasi di Negeri ini akan kembali Panas dan menggebu, kali ini dalam kontestasi pilkada. Sebagai salah satu negara yang ‘katanya’ paling demokratis di dunia itu akan memberikan hak berdemokrasi untuk memilih calon yang akan mengemban amanah menjadi gubernur, walikota dan bupati. Mereka mulai berbenah dan mempersipkan pesta demokrasi serentak untuk kedaulatan rakyat indonesia pada akhir 2024 nanti.
Koalisasi Partai Keadlian Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar sepakat mengsung Imam Budi Hartono dan Riri Farabi A. Rafiq sebagai bakal calon wali kota dan wakil wali kota Depok di Pilkada Depok 2024 yang akan dilaksanakan serentak pada 27 November mendatang (Tempo.co, 12/05/2024).
Demikian halnya dari Bandung, dalam rangka pemilihan calon bupati dan Wakil Bupati Bandung, sejumlah nama artis mulai muncul ke permukaan untuk posisi Wakil Bupati. Strategi berpasangan dengan artis selama ini dinilai cukup berhasil mendongkrak perolehan suara pada pilkada di Bandung dan sekitarnya. (RRI, 10/05/2024).
Begitupun di Jawa Barat (Jabar) sebut saja Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi dan Bima Arya Sugiarto yang ramai dibicarakan sebagai bakal calon gubernur (PikiranRakyat, 12/05/2024). Bahkan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asyari menuturkan, calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2024 tidak perlu mengundurkan diri bila mengikuti Pilkada serentak 2024 (tirto.id 10/05/2024). Begitu banyak yang berburu kursi panas Pilkada.
Genderang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah ditabuh, suara relawan dan simpatisan mulai bergemuruh, mesin partai sudah digenjot untuk mendulang suara pada pesta demokrasi yang ‘katanya’ milik rakyat.
Masyarakat tak ubahnya pasar yang menjadi target penjualan, lagi-lagi suara rakyat memang diburu, meski pada akhirnya mereka yang menjadi pemimpin politik atas rakyat sejatinya dipertanyakan. Padahal sejatinya kontestasi ini bukanlah untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki.
Tidak heran juga, banyak dari mereka berburu simpati dengan narasi, diksi, kepentingan rakyat selalu menjadi candu yang menggiurkan untuk menarik simpati masyarakat.
Walaupun nantinya tidak berbanding lurus dengan harapan rakyat.
Realitasnya, suara rakyat hanya dijadikan sebagai sebuah formalitas saja pada saat pemilu. Akibatnya rakyat kembali hanya panen janji janji manis saja. Inilah Demokrasi kapitalisme, berburu kedudukan sebagai penguasa.
Kekuasaan menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan.
Dalam Islam, politik artinya riayah (mengurus) rakyat bukan mengurus diri sendiri hingga menimbun harta mencapai triliyun tapi rakyat sengsara. Rasulullah SAW bersabda “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” dan “ pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”. (HR Abu Nu’aim).
Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang suami memimpin keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.
Seorang ibu memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya dan akan di tanya tentang kepemimpinannya. Seorang hamba (budak) pemimpin harta milik majikannya akan ditanya tentang kepemeliharannya. Camkan bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. (HR Bukhari).
Sangat jelas kekuasaan adalah Amanah, Allah SWT juga berfirman yang artinya “ wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui. (QS.al anfal:27).
Semua akan dimintai pertanggungjawaban.
Dalam Islam juga dijelaskan bagaimana pemilihan pemimpin itu baik dari gubernur, wali kota dan bupati yaitu dengan cara sederhana, cepat dan murah, efektif dan efesien karena kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh khalifah dengan akad tertentu dan harus ditepati.
Dengan kata lain wali atau amil adalah penguasa yang harus berilmu pun bertakwa dan memiliki kemampuan yang layak untuk memegang urusan pemerintahan terutama dalam melayani rakyat.
Saatnya kita menyadari bahwa sistem demokrasi liberal selamanya hanya akan melahirkan para pemimpin hipokrit. Mereka hanya baik dalam pencitraan, tetapi buruk dalam kenyataan, apalagi jika diukur dengan standar al-Qur,an. Wallahu a’lam bisshawab.[]
Comment