Penulis: Ummu Qodhi | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Banyak pernyataan yang muncul di masyarakat mengenai agama dan politik menjelang pilpres 2024 ini.
Pernyataan tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Apa salahnya jika agama ikut dalam kancah politik? Bukankah Islam juga mengatur perkara politik?
Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut “politisasi agama” adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi.
Para elit politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah atau kerudung (yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat Jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim dsb. Namun, setelah menang Pemilu, semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai dalih.
Inilah yang dimaksud politisasi agama yang sebenarnya. Agama hanya dijadikan cara untuk meraih hati rakyat padahal sejatinya agama ini sedang dijauhkan dari kehidupan rakyat.
Ide pemisahan agama dari politik ini jelas merupakan ide sekulerisme yang busuk. Ide sekuler ini telah menjelma dalam sistem saat ini. Penyataan yang beredar di masyarakat ini tidak benar sebab makna politik itu sendiri adalah mengatur tatanan kehidupan masyarakat.
Politik Islam tak bisa dipisahkan dari agama, karena agama harus menjadi landasan untuk menentukan arah politik negara. Politik dalam bahasa Arab, berpadanan dengan kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an]; artinya mengurusi, memelihara.
Samih ‘Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menulis bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan.
Karena itu, dalam Islam, politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan.
Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual.
Syariah Islam juga mengatur mu’amalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam.
Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).
Apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Rekam jejak sisi perjuangan politik Rasulullah saw. sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang, Rasul saw. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah sudah sangat jelas dalam sirahnya.
Politik yang dimaksudkan dalam Islam dengan politik pemilu dalam Demokrasi itu berbeda. Dalam sistem islam untuk memilih khalifah atau imam boleh saja dilakukan dengan pemilu seperti sekarang ini akan tetapi khalifah yang terpilih akan menerapkan seluruh hukum-hukum islam bukan yang lain.
Oleh karena itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishad fi al- I’tiqad, menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah. Wallahu a’lam bi ash- shawaab.[]
Comment