Oleh: Fran Fardariko, Pengamat Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia adalah negara konstitusi, yang pemerintahannya dijalankan berdasarkan azas konstitusional.
Pemerintahan konstitusional ditentukan oleh keberadaan sebuah konstitusi—yang mungkin merupakan instrumen hukum atau hanya seperangkat norma atau prinsip tetap yang diterima secara umum sebagai hukum dasar pemerintahan, yang secara efektif mengontrol pelaksanaan kekuasaan politik.
Hakikat konstitusionalisme adalah penguasaan kekuasaan dengan pembagian nya di antara beberapa badan atau jabatan negara sedemikian rupa sehingga masing-masing tunduk pada kendali timbal balik dan dipaksa bekerja sama dalam merumuskan kehendak negara.
Salah satu bentuk produk teknis (“jika produk tersebut dapat dikatakan teknis” )-adalah Konstitusional Demokrasi atau Demokrasi Konstitusional. Konsep ini adalah konsep konstitusi timbal balik atau lebih di kenal sistim campuran antara Demokrasi presidensial dan parlementer.
Demokrasi konstitusional adalah sistem campuran presidensial-parlementer, yang pernah dicontohkan oleh pemerintah Perancis. Dalam sistem seperti itu ada presiden yang dipilih langsung dengan kekuasaan eksekutif yang substansial dan perdana menteri yang ditunjuk oleh presiden, yang harus mempertahankan dukungan mayoritas di badan legislatif secara penuh untuk kepentingan presidensial.
Publik di Indonesia harus memahami sistim ini dengan gamblang, apa lagi melihat banyaknya polemik di ruang-ruang diskusi publik tentang kepindahan ibukota jakarta ke Penajam Paser (Ibu kota Nusantara).
Menurut hemat saya mixed system Presidensial-Parlementer ini dapat menyederhanakan polemik dan kekhwatiran tentang IKN. Sehingga terlepas nanti Ibukota negara sudah pindah, Jakarta tetap menjadi pusat diskursus parlemen sebagai bagian dari sistim demokrasi check and balance, yang notabene presiden memiliki Perdana Menteri yang di tunjuk langsung oleh Presiden, sebagai shadow puncak kepemimpinan eksekutif di senayan.
Saya yakin dengan begitu presiden dapat bekerja secara penuh untuk memutuskan kebijakan publik yang bersangkutan dengan pembangunan ekonomi dan kemaslahatan rakyat Indonesia. Sementara Perdana Menteri menjadi garda tarung dan bargaining untuk mendapatkan dukungan mayoritas legislator di parlemen.
Sehingga representasi dan debat publik tetap dapat dijalankan secara utuh. Sekalipun sistim Presidensial Threshold di nol persenkan maka tak akan menjadi polemik ke depan, dikarenakan masih ada filter Parlementary Threshold di 4 persen sebagai filter dan garda penyaring pimpinan nasional melalui mesin partai.
Jadi posisi Perdana Menteri ini adalah politisi demokrasi yang sesungguhnya dan akan bertarung di parlemen Republik Indonesia, demi meloloskan setiap kebijakan publik yang akan di ambil oleh presiden.
Dengan begini siapa pun presiden Republik Indonesia ke depan, akan dapat bekerja secara penuh untuk seluruh rakyat Indonesia dan kebijakan internasional.
Dengan menganut sistim yang saya istilahkan “Demokrasi Total” ini, Presidential Treshold nol persen, dan Perdana Menteri menjadi posisi check and balance nya demokrasi, saya yakin ke depan Indonesia akan menjadi benchmark nya demokrasi internasional. Merdeka![]
Comment