Polemik Donasi Indonesia Ke Suriah, Apa Sesunggunhya Yang Dibutuhkan Umat Islam?

Opini581 Views

 

Oleh : Yusseva, Pemerhati Politik Islam

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Viralnya video Dina Sulaeman yang menjadi narasumber dalam kanal Youtube Deddy Corbuzier yang diunggah pada 29 Maret 2021 mengundang sorotan dari berbagai kalangan.

Pakar Geopolitik Timur Tengah, Dina Sulaeman, dalam podcast bersama Deddy Corbuzier menyebut bahwa donasi dari Indonesia untuk membantu korban perang di Suriah dialirkan ke pihak teroris.

Dina Sulaeman menganalisis tentang dana atau sumbangan bukan berdasarkan cocokologi. Banyak data dan rekam jejak menurutnya, memperlihatkan dengan jelas bahwa teroris di Suriah pun mendapatkan dana atau sumbangan dari Indonesia.

Terlepas apakah yang dikatakan Dina tentang aliran dana jatuh ke tangan teroris itu merupakan fakta atau asumsi,  yang dibutuhkan umat Islam bukan sekedar donasi melainkan sebuah institusi yang bersifat internasional sebagai pelindung dan perisai umat Islam.Tanpa institusi sebagai perisai,  konflik Suriah akan terus bergejolak

Realitas Konflik Suriah

Konflik yang terjadi di Suriah tidak terlepas dari fenomena Arab Spring yang mulai muncul pada tahun 2010. Arab Spring merupakan gerakan revolusioner yang muncul akibat rezim otoriter yang berkuasa di kawasan Timur Tengah.

Pada tahun 2011,  fenomena Arab Spring mulai menjalar ke Suriah. Hal ini mendorong bangkitnya gerakan revolusioner Suriah melawan pemerintahan otoriter Bashar al-Assad. Konflik Suriah berawal dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Bashar al-Assad. Bashar al-Assad adalah penerus rezim Assad sekaligus keturunan dari Hefedz al-Assad.

Rezim Assad terkenal dengan pemerintahan otoriter yang berlangsung di Suriah selama lebih dari 30 tahun. Beberapa faktor yang menjadi latar belakang konflik di Suriah adalah kesenjangan sosial di era pemerintahan Bashar al-Assad.

Dominasi partai Ba’ath yang sudah lama berkuasa di Suriah, kurangnya distribusi pangan dan tingkat pengangguran yang tinggi, aksi represif pemerintah Suriah dalam menghalau kritik dari masyarakat menjadi bagian penting faktor tersebut.

Memasuki tahun 2012, situasi politik Suriah semakin memanas. Bashar al-Assad menginstruksikan kepada polisi dan militer untuk menghalalkan segala cara dalam menghalau aksi protes masyarakat. Selain itu, terjadi pula perang saudara antara masyarakat pro-pemerintah dan golongan revolusioner di berbagai kota Suriah.

Pada tahun 2014, muncul kelompok oposisi baru yaitu ISIS dan Jabhat al-Nushra. Mereka berupaya untuk mendirikan negara Islam di Suriah dengan melakukan teror kepada masyarakat dan pemerintahan Suriah. Di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi, ISIS mampu menguasai sebagian besar wilayah Suriah pada tahun 2015-2017.

Ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dengan sengaja dan merasa tidak  bersalah mengaitkan Hizbut Tahrir dengan ISIS. Padahal antara keduanya tidak ada hubungan dan keterkaitan sama sekali.

Terkait hal ini, direktur Kantor Media Pusat (CMO) Hizbut Tahrir Osman Bakhach dalam konferensi pers International Khilafah Conference Kuala Lumpur (IKCKL) 2017 menegaskan bahwa ISIS mulai muncul ke permukaan pada bulan Juni 2014. Kemudian HT mengumumkan secara terbuka dengan berbagai pernyataan bahwa (HT) tidak menyetujui metode yang dipakai oleh ISIS.

HT juga sudah mengingatkan ISIS secara tegas. “Kepada mereka, kami telah mengutarakan pendapat kami dengan terang-terangan bahwa mereka tidak sesuai dan di sisi lain terdapat banyak gerakan Islam seperti Jabhah al-Nushrah dan hingga sekarang kami tidak membaca apakah manifesto mereka (ISIS), apakah visi mereka terhadap umat,” bebernya.

Perang di Suriah saat ini bukanlah konflik berbasis khilafah justeru sebaliknya, khilafah digunakan Barat dan agen mereka di dunia Muslim sebagai alat politik untuk mencapai tujuan kebijakan luar negerinya di negara tersebut.

Cara ini sama dengan yang digunakan dalam perang di Afghan dan Irak. Pembantaian di Suriah, Irak dan Afghanistan merupakan kejahatan kemanusiaan  di abad ke-21. Termasuk pula genocida yang terjadi di Bosnia di tahun 1980.

Pembantaian di dunia Islam telah menyebabkan krisis besar baik di Irak, Kashmir, Afghanistan, Somalia, Libya, Palestina atau sekarang di Suriah.

Umat Islam telah begitu ‘terbiasa’ dengan pemberitaan tentang kematian dan penghancuran dunia Islam. Imperialis Barat menggunakan narasi ‘konflik sektarianisme’ untuk menyelamatkan kepentingan dan agenda kolonialisasi mereka di dunia Muslim.

Adalah strategi dan cara kapitalis Barat menimbulkan ketidakstabilan dan konflik antar kaum Muslim dengan target melebarkan jalan intervensi dan kolonisasi atas bumi Islam untuk kepentingan sempit politik dan ekonomi Barat.

Sejarah negara-negara pengusung  demokrasi kapitalisme bukanlah negara yang aman, nyaman, minim konflik dan perang. Terbukti, AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi sesungguhnya pernah mengalami perang saudara berdarah-darah pada abad ke-19.

Darah dan nyawa kaum muslim tumpah dan tercerabut tanpa daya akibat tangan kolonialis yang serakah terhadap materi dan kekuasaan.

Kesengsaraan yang terjadi terhadap manusia seluruh dunia saat ini disebabkan oleh sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi dan kekuasaan semata. Amerika dengan kekuatan adidaya bersama negara-negara kapitalis lainnya terus menjajah negeri-negeri muslim dengan seenaknya.

Jika kapitalisme tidak dicabut dari akarnya, maka manusia akan terus menderita, terutama kaum muslim yang tidak memiliki induk sebagai perisai.

Mengapa Islam dan muslim menjadi korban perang Barat ini? Karena Islam sebagai ideologi yang berasal dari Allah SWT yang sesuai dengan fitrah dan memberikan solusi atas semua masalah yang dihadapi manusia sepanjang hidup menjadi handycap dari tujuan kapitalisme yang sangat barbar.

Islam sebagai sebuah ideologi pasti mampu meruntuhkan narasi politik global Barat. Sayang, para propagandis penolak Islam terus mengajak masyarakat untuk mendebat dan melemahkan Islam.

Tujuannya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah sebenarnya, yaitu penguasa dan sistem kapitalis yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat.

Kapitalisme tidak akan sanggup membawa dan memberi perubahan nyata dalam kehidupan manusia. Faktanya, sistem demokrasi yang dipasarkan Barat ‘minus’ dari harapan publik dengan visualisasi berbagai kebijakan rezim yang tidak diinginkan masyarakat.

Maka dengan penjelasan di atas, kaum muslim membutuhkan perisai yang mampu melindungi mereka dari kekejaman dan kebengisan para kapitalis penjajah.

Bukan lembaga yang membawa mereka pada meja hijau dan berujung pada diplomasi yang tetap dan terus membombardir dan meluluhlantakkan kaum muslim dengan sewenang wenang.

Banyaknya umat islam meregang nyawa hanya cukup diberitakan tanpa ada kejelasan pembelaan. PBB membela umat islam hanya dengan mengecam dan mengecam tanpa ada tindakan ril.

Satu-satunya institusi yang bisa membela dan melindungi kaum muslim dengan sepenuhnya hanya islam, bukan khilafah yang digembar-gemborkan ISIS apalagi khilafah abal-abal.Wallahu’alam bis showab.[]

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

 

Comment