PMI Ilegal dan Masalah Ekonomi yang Mendasar

Opini16 Views

 

Penulis: Kholilatul Afshoh | Mahasantriwati Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Permasalahan ekonomi kerap terjadi dan tidak bisa dihindari lagi. Berbagai pekerjaan sudah banyak diusahakan masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, namun pekerjaan yang layak tidak kunjung ditemukan di negaranya sendiri.

Hingga isu PMI ilegal pun kian mencuat. Seperti berita baru-baru ini, ada 5 Juta WNI yang menjadi TKI ilegal di luar negeri.

Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding menyebutkan setidaknya ada lebih dari lima juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal yang bekerja di luar negeri.

PMI sendiri merupakan penyebutan resmi untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Istilah TKI tak lagi digunakan sejak terbitnya UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. (Sumber: Kompas.com)

Baru-baru ini juga Polres Metro Jakarta Selatan berhasil menggagalkan upaya pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) alias Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal yang akan dikirim ke Erbil/Arbil, Kurdistan, Irak. Korban ditawarkan gaji USD 300 dan akan dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga di Irak.

Sejumlah faktor pemicu adanya PMI ilegal sejalan dengan yang disampaikan oleh akademisi Politeknik Imigrasi Anindito, di antaranya adalah kebutuhan ekonomi dan kurangnya edukasi.

“Biasanya alasan PMI banyak yang melewati jalur ilegal itu dikarenakan tidak adanya kepemilikan paspor, dan dia nekat aja berangkat dengan tujuan yang terpenting mendapat pekerjaan, yang biasanya mereka ini merupakan orang-orang yang baru kali pertama berangkat, mereka ditipu dan mereka tidak tahu apa yang bakal mereka hadapi kedepannya. Mostly, sebagian besar orang-orang yang kami tangani ini tidak tahu kalau mereka ini diberangkatkan secara ilegal, jadi ini juga permasalahan edukasi ya, kurangnya informasi sehingga itu yang menyebabkan mereka itu tergoda dengan janji-janji yang diberikan, jadi ketika berangkat orang-orang ini biasanya dijadikan subjek trafficking” (Anindito, komunikasi personal, 27 Februari 2023).

Menurut Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardani mengatakan, banyak calon PMI terjebak praktik pemberangkatan ilegal dikarenakan kurangnya pemahaman tentang prosedur resmi. (sumber: rri.co.id).

Lantas siapakah yang pantas disalahkan dalam permasalahan ini? Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta orang. Juga berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 ada sekitar 22 persen dari 44 juta Gen Z di Indonesia adalah pengangguran.

Fakta lain juga datang dari IMF (International Monetary Fund), IMF melalui World Economic Outlook pada April 2024 mencatat tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 5,2%. Angka tersebut tertinggi dibandingkan enam negara lain di Asia Tenggara.

Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia berdampak pada tingkat kemiskinan rakyatnya. Dengan artian semakin banyak pula tidak terpenuhinya kebutuhan pokok individu rakyatnya.

Melihat hal tersebut, rasanya sangat wajar jika banyak warga Indonesia yang ingin mencari pekerjaan praktis namun terjamin upahnya. Tidak peduli lagi dengan prosedur resminya, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana caranya meraih keuntungan sebesar-besarnya untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya.

Minimnya ketersediaan lapangan kerja formal membuat kelas menengah di Indonesia kian rentan karena banyak terserap ke sektor informal. Ketidakmampuan pemerintah penciptaan lapangan kerja ini perlu diatasi.

Kondisi rentannya kelas menengah ini tercatat dalam laporan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas yang terbit sejak Senin (26/2/2024). Dalam laporan itu disebutkan, kelas menengah memiliki gaji ”ngepas” dengan rata-rata sisa gaji dalam satu tahun 2021 senilai Rp 435.888 per bulan, tidak banyak uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan.

Kerentanan nasib kelas menengah tak lepas dari pekerjaan mereka yang sebagian besar berada di sektor informal. Badan Pusat Statistik mencatat, hingga Agustus 2023, mayoritas tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal sebanyak 59,11 persen. Sementara sisanya, 40,89 persen, pekerja di sektor formal. (Sumber: kompas.id)

Permasalahan pengangguran karena minimnya lapangan pekerjaan merupakan faktor terbesar terjadinya PMI ilegal. Ini bukan semata-mata kesalahan individu rakyat yang nekat melakukan aksi ilegal ke luar negeri untuk bekerja, karena sejatinya rakyat mencari pekerjaan ke luar negeri hanya dengan harapan bisa hidup lebih baik.

Namun, semua ini adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan negara tidak berhasil memperbaiki nasib rakyatnya. Di satu sisi ada oknum pejabat pemerintah yang memperkaya diri dengan mengambil hak rakyatnya dengan melakukan korupsi. Di sisi lain, dengan regulasi yang sudah ada ternyata belum bisa menjamin keselamatan dan melindungi Rakyat dari eksploitasi dan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Serta adanya individu rakyat yang lemah iman dan rakus, membuat terjadinya kejahatan terhadap sesama manusia termasuk memberangkatkan pekerja migran secara ilegal.

Di tengah gempuran permasalahan pengangguran, pemerintah menitikberatkan pembangunan pada investasi. Alasan pemerintah tidak bisa menaikkan UMR lebih dari 5% pada 2025 adalah terkait dengan stabilitas perusahaan yang bisa berimplikasi pada menurunnya investasi.

Sebabnya, upah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi masuknya investasi ke negeri ini. Jika upah ditekan, hal itu dianggap mampu meningkatkan investasi. Hanya saja, saat investasi terus dikejar dengan alasan dapat menciptakan lapangan pekerjaan, pada kenyataannya tidak signifikan menciptakan lapangan kerja. Bahkan kerusakan alam akibat pembangunan infrastruktur demi mengejar investasi jauh lebih besar daripada terbukanya peluang lapangan kerja. (sumber: muslimahnews.net)

Disadari atau tidak sistem kapitalismelah yang menjadi sumber persoalan ekonomi di negeri ini. Rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri tanpa ada jaminan dari negara, seperti penyediaan lapangan pekerjaan yang luas, pemberian pendidikan terbaik, pemberian pelatihan kemampuan bekerja, dan lain-lain secara gratis.

Maka tidak heran, rakyat menempuh cara ilegal untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun ia sendiri belum tahu akan berakhir bagaimana. Upaya yang ia lakukan dorong oleh harapan agar hidup lebih layak.

Sistem ini telah menjadikan negara hanya bertindak sebagai regulator yang menjadikan hampir seluruh aspek kehidupan dikuasai para korporat (pemilik modal). Alhasil, para pemilik modal dapat mengembangkan kekayaannya dengan melakukan usaha yang dinilai mendatangkan untung besar.

Padahal sistem ekonomi Islam memiliki aturan kepemilikan secara jelas. Adanya kepemilikan umum menjadikan negara dapat membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar dan beragam.

Dalam ekonomi Islam ada beberapa langkah yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mengatasi permasalahan ekonomi, khususnya dalam kaitan pemenuhan lapangan kerja untuk rakyatnya.

Langkah pertama yaitu dalam bidang pendidikan. Pendidikan di negara dengan konsep syariat islam dengan mudah didapatkan bahkan gratis. Tidak hanya itu, rakyat dibebaskan untuk memilih sesuai dengan potensinya, termasuk memberikan keahlian atau keterampilan kepada rakyat terutama bagi laki-laki yang memiliki kewajiban bekerja. Kemampuan yang sudah diasah sejak dini, sangat membantu dalam menentukan pekerjaan.

Kedua, menyiapkan sarana dan prasarana bagi semua rakyat terutama laki-laki agar dapat bekerja. Negara juga memastikan semua laki-laki baligh mendapatkan pekerjaan yang halal. Jika dibutuhkan negara bisa memberikan modal dengan cuma-cuma. Sehingga tidak ada alasan bagi laki-laki baligh untuk tidak bekerja.

Adapun laki-laki yang tidak mampu untuk bekerja seperti sakit atau punya keterbatasan, maka negara tidak ragu-ragu mengeluarkan bantuan dari baitul mal untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Ketiga, kewajiban bekerja hanya untuk laki-laki saja, ini semua demi menghilangkan persaingan antara tenaga perempuan dan laki-laki. Perempuan dibolehkan bekerja, namun gaji perempuan akan menjadi milik pribadinya dan jika ia memberikannya kepada suaminya maka dianggap sedekah.

Keempat, sektor industri dalam Islam lebih banyak menyerap tenaga dalam negeri dan dikelola oleh negara langsung. Dengan adanya kepemilikan umum, negara dapat membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar dan beragam.

Dengan begitu rakyat menjadi mudah mendapatkan pekerjaan dan tidak ada yang menganggur. Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang memadai sebagai salah satu mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan umat sehingga rakyat tidak perlu mencari kerja ke negeri orang apalagi mengambil risiko kematian sebagai TKI ilegal. (sumber: matabanua.co.id).

Semoga di masa yang akan datang kondisi masyarakat bisa menjadi lebih baik lagi, dengan penerapan konsep Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Wallahua’lam bishowab.[]

Comment