Pinjol Untuk Pendidikan, Sungguh Tega!

Opini147 Views

 

Penulis: Ummu Rasyid | Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi, Owner Kimbap Um _RL

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Seperti lingkaran setan. Karena miskin tidak bisa mengakses pendidikan hingga ke jenjang lebih tinggi. Pendidikan rendah, lulusan SD dan SMP jadi sulit untuk mencari pekerjaan di Perusahaan (Pasundan Ekspres, 20/08/2021). Buka Usaha mandiri berat, karna harus bersaing dengan para kapitalis yang mempunyai modal besar. Kerja serabutan dan hidup dalam kemiskinan. Dalam sistem kapitalisme seperti saat ini,  rakyat ibarat dilepaskan ke hutan dan dibiarkan bersaing dalam hukum rimba.

Seperti dilansir CNN Indonesia pada Rabu (03/07/2024), Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung wacana Student Loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliah.

“Pokoknya semua inisiatif baik untuk membantu kesulitan mahasiswa harus kita dukung gitu termasuk pinjol” Kata Muhadjir di komplek Parlemen Jakarta, Selasa (2/7/24).

Sungguh tega, jika negara berlepas tangan dan menyerahkan pembiayaan anak bangsa dengan Pinjaman Online yang sudah menjadi rahasia umum bahwa pinjaman itu pasti berbunga dan haram dalam Islam.

Padahal pendidikan adalah hak semua masyarakat sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945: “…Mencerdaskan kehidupan Bangsa..”

Itulah dua wajah sistem kapitalisme yang meresahkan. Di satu sisi menjanjikan pemenuhan akan pendidikan yang layak, mencerdaskan masyarakat tapi di sisi lain minim realisasi. Akses dan fasilitas tidak merata, carut marut kurikulum, dan lain-lain.

Walaupun saat ini sistem pendidikan sudah mulai mengarah ke pendidikan karakter dan menanamkan akhlak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa standar keberhasilan siswa masih mengacu pada nilai-nilai dan angka-angka semata. Proses pendidikan yang hanya sekedar mengajar dan menyampaikan materi (transfer ilmu) bukan mendidik sehingga gagal memanusiakan-manusia. Maka tak heran jika output pendidikan menjadi orang-orang yang materialistis, individualis, sekuler, korup, dan lain-lain.

Dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, pendidikan menjadi sebuah komoditi. Jika ingin mendapatkan pendidikan berkualitas dengan fasilitas yang memadai maka harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit.

Pendidikan menjadi barang yang sangat mahal bagi masyarakat, ini dibuktikan dengan adanya UU BHP yang kini telah berubah menjadi UUPT. Walaupun ada beasiswa namun hanya sepersekian persennya saja dan untuk mendapatkannya.

Itupun harus melalui tahapan seleksi dan persyaratan yang rumit. Akibat cara pikir materialistis seperti ini, maka arah pendidikan yang semula untuk mencerdaskan masyarakat berubah fungsi menjadi syarat untuk bekerja.

Dengan tidak meratanya akses, fasilitas pendidikan tadi maka secara otomatis akan menghalangi kesempatan banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan jika menggunakan asumsi ijazah sekolah adalah syarat untuk bekerja.

Hal ini berbanding terbalik ketika masyarakat diatur dalam aturan Islam. Kebangkitan dipelopori oleh Rasulullah SAW. Beliau telah membawa cahaya Islam dan merubah bangsa yang dahulunya jahiliyah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan mulia, bahkan mampu menaungi dua pertiga dunia.

Aturan Islam berpijak pada akidah, satu-satunya akidah yang benar, yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Inilah akidah yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa.

Untuk mencetak generasi-generasi pemimpin yang berkualitas, harus ada kerjasama yang apik antara keluarga, masyarakat (dalam hal ini sekolah), dan Negara.

Dalam Islam, pendidikan dijadikan sebagai sebuah kebutuhan setiap masyarakat dan harus dipenuhi oleh Negara. Sistem pendidikan dalam Islam disusun dari sekumpulan hukum-hukum syara’ dan berbagai peraturan administrasi yang berkaitan dengan pendidikan formal.

Tujuan pokok yang menjadi perhatian utamanya adalah membangun kepibadian Islam, pola pikir (aqliyah) Islam dan jiwa (Nafsiyah) Islam. Serta mempersiapkan generasi muslim agar menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan baik ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu terapan.

Metode pengajarannya adalah dengan cara penyampaian (Khithab) dan penerimaan (talaqqiy) pemikiran dari pengajar ke pelajar. Proses pembelajaran dengan cara talqian fikriyan (melalui proses berfikir, mengamati bukan hanya sekedar transfer ilmu).

Pengelompokan jenjang pendidikan harus memperhatikan fakta anak didik di setiap tingkatan, apakah dia seorang anak kecil atau seseorang yang sudah dewasa (baligh).

Selain itu harus merujuk pada dalil-dalil syar’i dan hukum-hukum yang terkait dengan urusan anak kecil ataupun anak yang sudah baligh dari sisi perlakuan yang harus diberikan oleh pemerintah, pengajar atau pendidik.

Jenjang sekolah terdiri dari 36 periode sekolah yang berlangsung secara berurutan. Masing-masing lamanya 83 hari. Setiap periode dibatasi dengan sekumpulan satuan pelajaran.

Seorang siswa akan memulai jenjang sekolahnya dengan pendidikan pada periode pertama. Jika berhasil pada satu periode maka akan dinaikan ke periode berikutnya, sampai berakhirnya jenjang sekolah yaitu dengan menyelesaikan periode yang ke 36 dengan berhasil.

Landasan materi pengajarannya adalah aqidah Islam. Dengan materi pengajaran berupa ilmu pengetahuan ilmiyah, ilmu pengetahuan tentang hukum syara’, bahasa Arab, tsaqofah Islam (aqidah, Al-Qur’an, sunnah Nabi, fiqih, siroh Nabi), Ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Agar hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan pendidikan dan pembinaan dari sisi perlakuan terhadap anak didik sesuai dengan usia mereka terlaksana, maka pembinaan sekolah-sekolah negeri dilandasi atas  dasar rata-rata usia anak didik dan  bukan berdasarkan periode-periode sekolah.

Tenaga pendidik atau guru juga sangat diperhatikan, untuk menghasilkan generasi pemimpin yang cemerlang, guru harus memenuhi kualifikasi seperti amanah yaitu bertanggung jawab atas keberhasilan proses pendidikan. Ia betul-betul memiliki komitmen tinggi untuk membentuk kepribadian peserta didiknya. Memiliki Skill (Keahlian) di bidangnya, memahami dengan seksama aspek paradigma pendidikan yang menjadi landasan visi, misi, dan tujuan pendidikan  sesuai jenjangnya. Memiliki etos kerja yang baik, disiplin, bertanggung jawab, kreatif, inofatif dan taat kepada akad serta berkepribadian Islam.

Dalam perkembangannya, stiap kolifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi misalnya dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan.

Pada setiap sekolah dilengkapi dengan auditorium, asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, selain itu juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, dan rung makan, bahkan juga ataman rekreasi.

Berdasarkan sirah NAbi SAW dan tarikh Daulah Khilafah, sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi (1996) dalam buku system pendidikan di masa Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luanya bagi seluruh warga untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin. Arah pandang bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban dan kebutuhan, bukan untuk memperoleh pekerjaan semata. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul Negara serta diambil dari kas baitul maal.

Umar bin Khattab memberikan gaji kepada 3 orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gr emas).Negara akan mengedukasi masyarakat terkait Nafkah adalah tanggung jawab bagi laki-laki. Mendorong mereka untuk bekerja, dan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Penentuan gaji di sesuaikan dengan skill, keahlian dan kemampuan masing-masing individu yang di akadkan, bukan berdasarkan tingginya ijazah.

Model pendidikan yang baik haruslah dilaksanakan dan disediakan oleh Negara karena negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu seperti sistem pendidikan Islam yang diterapkan sebagaimana dahulu di contohkan Rosulullah SAW.

Para sahabat dan kholifah setelahnya terbukti mampu mencetak generasi pemimpin dan mensejahterakan masyarakat.

Pejabat negara adalah pemimpin dan teladan ummat yang harus berhati-hati menyatakan dan menetapkan sesuatu karena apa yang mereka nyatakan dan tetapkan akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak. Pemimpin ummat haruslah senantiasa ta’at syari’at dan menjadikan pemanfaatan teknologi sesuai dengan tuntunan syari’at. Wallahu ’alam bishawwab.[]

Comment