Pinjol Menggurita, Butuh Peran Negara

Opini170 Views

 

 

Penulis: Hildayanti, S.E | Staff Kearsipan

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Mengutip dari artikel katadata.co.id,  “Gagal bayar tepat waktu utang pinjol melonjak pada Februari atau menjelang Ramadan. Industri teknologi finansial pembiayaan atau fintech lending pun merugi”.

Kredit macet atau tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari yang biasa disebut TWP 90 pinjol naik dari Rp 1,78 triliun pada Januari menjadi Rp 1,8 triliun pada Februari. Persentasenya 2,95% dari total pinjaman.

Pinjaman yang masih berjalan di platform pinjol naik 21,98% secara tahunan alias year on year (yoy) menjadi Rp61,1 triliun pada Februari.

“TWP 90 tetap terjaga di 2,95%,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman dalam Konferensi Pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan & Kebijakan OJK Hasil RDK Bulanan Maret 2024 secara virtual, Selasa (2/4).

Namun industri fintech lending atau pinjol merugi Rp135,61 miliar pada Januari 2024. Padahal bisnis pinjaman online ini mencatatkan laba Rp4,43 triliun sepanjang 2023.

Melansir data Statistik P2P Lending periode Januari 2024 yang dipublikasikan OJK pada Senin (25/3/2024), total kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP 90) P2P lending mencapai Rp1,78 triliun. Jumlah ini naik 27% dari tahun lalu sebesar Rp1,40 triliun.

Beberapa platform fintech lending pun tengah diawasi OJK lantaran permasalahan kredit macet yang berujung pada kasus gagal bayar para peminjam dana atau lendernya. Berikut perkembangan terbaru pengawasan OJK terkait kasus tersebut:

Akibat permasalahan gagal bayar, beberapa platform fintech lending tengah diawasi OJK. Di antaranya Investree, Tanifund, iGrow, Modal Rakyat, Modal Rakyat, dll.

Kebutuhan Tinggi

Dilansir dari Muslimah News, Banyaknya masyarakat yang meminjam uang ke pinjol disebabkan oleh tingginya kebutuhan masyarakat, apalagi pada momen menjelang Ramadan dan Idulfitri. Tingginya kebutuhan hidup, sedangkan pendapatan tidak naik, menjadikan masyarakat memilih “jalan ninja”, yaitu meminjam uang pada pinjol.

Pinjol menjadi pilihan masyarakat karena syaratnya mudah dan prosesnya cepat. Namun, di balik itu ada bahaya yang mengintai, yaitu suku bunga yang sangat tinggi. Sebenarnya masyarakat tahu bahwa bunga pinjol sangat tinggi, tetapi mereka tetap meminjam uang ke pinjol karena desakan kebutuhan.

Tingginya kebutuhan hidup masyarakat disebabkan tidak adanya jaminan dari pemerintah terkait dengan kebutuhan pokok masyarakat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Harga pangan maupun papan (properti) terus naik sehingga menguras pendapatan masyarakat. Selain itu, kesehatan dan pendidikan juga dikomersialkan sehingga mahal.

Di sisi lain, kenaikan upah (jika ada) tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang. Bahkan sejak tahun lalu terjadi gelombang PHK secara global sehingga banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Lepas tangannya pemerintah dari memenuhi kebutuhan masyarakat menjadikan beban hidup masyarakat makin berat sehingga mereka terpaksa “lari” ke pinjol untuk mendapatkan dana segar demi memenuhi kebutuhan hidup.

Sebentar lagi Juni—Juli adalah waktunya kenaikan sekolah, kebutuhan dana akan membesar untuk membayar biaya pendaftaran sekolah baru atau daftar ulang di sekolah lama. Bisa dipastikan, permintaan terhadap pinjol akan meningkat lagi.

Solusi Hakiki

Sejatinya, pinjol bukanlah solusi hakiki atas kebutuhan dana masyarakat. Pinjol berbasis riba sehingga menjerat nasabah dengan bunga yang tinggi. Bukannya menyelesaikan permasalahan kebutuhan, pinjol justru menyedot dana peminjam untuk membayar bunga yang tinggi. Selain itu, banyak kasus antara peminjam dengan penagih utang sehingga berujung konflik, depresi, bahkan bunuh diri.

Miris, keberadaan pinjol yang berdampak buruk ini justru mendapatkan restu dari penguasa. Hanya pinjol ilegal yang dilarang oleh penguasa. Sedangkan pinjol legal dibiarkan merajalela. Hal ini menunjukkan jauhnya pemerintah dari fungsi riayah/pengurus. Alih-alih melindungi rakyat dari bahaya pinjol, penguasa malah memfasilitasi rakyat untuk mengambil pinjol yang jelas-jelas ribawi.

Riba Haram

Terlepas dari jenis lembaga keuangannya, baik bank, fintech, maupun lainnya, semuanya berbasis riba yang diharamkan dalam Islam. Saat ini, riba merajalela karena sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia menjadikan riba sebagai pilarnya. Mayoritas transaksi di dalam kapitalisme mengandung riba. Akibatnya, terjadi kerusakan yang luar biasa, baik yang menimpa individu maupun masyarakat.

Oleh karenanya, masyarakat maupun pelaku UMKM hendaknya menjauhi praktik riba tersebut. Harta yang diperoleh dari jalan riba tidak akan berkah karena riba digambarkan sebagai menyatakan perang terhadap Allah Taala.

Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kalian beriman. Apabila kalian tidak melakukannya maka yakinlah dengan peperangan dari Allah dan Rasul-Nya. Apabila kalian bertobat, kalian berhak mendapatkan pokok harta kalian. Kalian tidak menzalimi dan juga tidak dizalimi.” (QS Al-Baqarah [2]: 279).

Bagaimana harta kita bisa berkah jika masih terlibat riba? Oleh karenanya, kita butuh solusi untuk menyelesaikan masalah ini.

Pinjol adalah solusi palsu dari ideologi kapitalisme yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi menambah masalah sehingga kehidupan yang sudah susah menjadi makin ambyar. Itulah sebabnya, solusi ini tidak layak kita ambil, bahkan harus kita tinggalkan.

Allah Swt. telah menegaskan keharaman riba sehingga jika dilanggar akan menghasilkan kerusakan di muka bumi. Keharaman riba telah tersurat sejak belasan abad yang lalu pada firman Allah Swt., “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275).

Adapun solusi yang sebenarnya atas permasalahan beban hidup masyarakat adalah adanya riayah (pengurusan) dari negara. Sayangnya, negara di dalam kapitalisme tidak memosisikan dirinya sebagai pe-riayah urusan rakyat, tetapi justru menjadi pelayan bagi para pengusaha kapitalis oligarki. Keduanya bersimbiosis untuk memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadinya.

Islam memberikan solusi bagi masyarakat dengan mewujudkan perekonomian yang menyejahterakan. Level “menyejahterakan” tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi tiap-tiap orang, serta terwujudnya kemampuan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.

Selain itu, masyarakat di dalam Islam, mendapatkan edukasi melalui sistem pendidikan dan dakwah yang diselenggarakan oleh negara sehingga bergaya hidup zuhud, tidak berlebih-lebihan. Momen Ramadan disambut dengan memperbanyak amal saleh, bukan justru konsumtif sehingga pengeluaran rumah tangga meningkat.

Sungguh berbeda dengan penguasa dalam Islam yang melakukan riayah terhadap rakyatnya. Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Untuk kebutuhan dasar pribadi, yaitu sandang, pangan, dan papan, negara memenuhinya secara tidak langsung, yaitu dengan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat yang wajib bekerja, yaitu laki-laki dewasa. Negara merevitalisasi pertanian, perdagangan, dan industri sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Sedangkan kebutuhan dasar kolektif, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan, negara memenuhinya secara langsung yaitu dengan menyediakan ketiganya secara gratis dan berkualitas tinggi. Negara mengambil alih kekayaan alam yang terkategori milik publik seperti tambang sehingga dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.

Pemerintah dalam konsep islam  membiayai semua kebutuhan rakyat dari baitul mal – yang bersumber dari 15 pos pemasukan negara meliputi fai, kharaj, jizyah, kepemilikan umum, zakat, dan lainnya. Dengan demikian, ada dana yang cukup untuk menyejahterakan rakyat.

Adapun bagi rakyat lemah secara fisik dan tidak memiliki kerabat yang menafkahinya, pemerintah memberikan padanya santunan rutin sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasar secara layak. Inilah solusi hakiki atas tingginya beban hidup masyarakat, bukan pinjol. Wallahu ‘alam.[]

Comment