Pidana Sara, Sebar Hoax Dan Makar Jadi Pasal Karet Di Era Rezim Jokowi

Berita579 Views
Ahmad Khozinudin, Ketua LBH Pelita Umat.[Foto/is]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Beberapa tokoh nasional, pasca Pemilu 2019 diproses hukum dan akhirnya ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan. Leuis Sungkarisma, Mustofa Nahrawardaya, Eggi Sudjana, hingga Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen dan Mayjen TNI (Purn) Sunarko adalah deretan nama tokoh yang menjadi tersangka.
Banyak kalangan menilai ada aroma kriminalisasi pada proses hukum terhadap tokoh-tokoh tersebut. Bahkan, Ahmad Khozinudin, SH, advokat yang juga ketua LBH PELITA UMAT mensinyalir ada perluasan ‘pasal karet’ yang digunakan untuk menjerat secara hukum terhadap sejumlah tokoh. Bagaimana sesungguhnya proses hukum yang benar ? Apakah dugaan kriminalisasi hukum itu tudingan sepihak atau fakta otentik yang bisa dinalar oleh publik ? Berikut petikan wawancara redaksi Radarindonesianews.com, bersama ketua LBH PELITA UMAT.
Banyak tokoh nasional ditangkap pasca Pemilu 2019, tanggapan Anda ?
Ya, benar. Penangkapan dan Proses hukum terhadap sejumlah tokoh nasional pasca Pemilu ini memperkuat praduga publik atas adanya indikasi penggunaan Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam bentukan Wiranto untuk melegitimasi sejumlah proses hukum terhadap tokoh. Ini merupakan konfirmasi adanya dugaan intervensi politik terhadap proses hukum di negeri ini.
Maksud Anda ?
Iya, tim hukum Kemenkopolhukam itu salah satu tugasnya melakukan kajian terhadap ucapan dan tindakan untuk diambil kesimpulan apakah dapat atau tidaknya diambil tindakan hukum. Nah, tokoh ini ditangkapi dan diproses setelah pemilu 2019 dan pasca dibentuknya tim Asistensi hukum bentukan Wiranto. Jadi publik bisa simpulkan sendiri.
Soal penangkapan sejumlah tokoh nasional, apa analisis Anda ?
Saya menilai ada revolusi dan proses mutan ‘pasal karet’.  Dahulu, pasal karet ini sering dinisbatkan pada pasal-pasal delik aduan, berupa fitnah dan pencemaran nama baik yang merujuk pada pasal 310 dan 311 KUHP. Sekarang pasal karet ini meluas dan menyasar kepada pasal-pasal terkait pidana SARA, Pasal Hoax dan pasal Makar.
Kenapa Anda mengklasifikasi pasal pidana SARA, Pasal Hoax dan pasal Makar sebagai ‘pasal karet’ ?
Pasal karet itu terminologi praktis yang sering digunakan untuk mendefinisikan pasal pidana dalam KUHP yang digunakan secara subjektif oleh penegak hukum atau pihak-pihak yang berkepentingan sesuai seleranya. Sesuai dengan namanya, pasal karet merujuk pada sifat karet yang lentur, bisa ditarik bisa diulur, batasan dan definisi sangat elastis bisa menjangkau apapun yang diinginkan penyidik atau pihak yang berkepentingan, dan yang jelas pasal ini bisa digunakan untuk ‘menjepret’ lawan politik atau pihak-pihak yang tak sejalan dengan rezim penguasa.
Secara sederhana, pasal karet didefinisikan sebagai pasal yang subjektif, dimana batasan unsur pidananya sangat luas ditetapkan berdasarkan selera penyidik atau pihak yang berkepentingan. Pasal karet, adalah pasal pesanan untuk mengkriminalisasi seseorang karena perbedaan pandangan khususnya perbedaan pandangan politik dan ideologi.
Dahulu, pasal karet ini sering dinisbatkan pada pasal-pasal delik aduan, berupa fitnah dan pencemaran nama baik yang merujuk pada pasal 310 dan 311 KUHP. Meskipun pasal ini karet, namun dahulu pasal ini tidak terlalu horor karena ancaman pidananya dibawah 5 (lima) tahun. Ancaman pidana atas delik fitnah dan pencemaran nama baik hanya 4 (empat) tahun penjara, sehingga penyidik tidak dapat menahan seseorang dengan status Tersangka berdasarkan pasal 310 dan 311 KUHP (tinjau pasal 21 ayat (1) dan 21 ayat (4) KUHAP).
Sejak era UU ITE generasi pertama, yakni UU No. 11 tahun 2008, Pasal karet yang bersandar pada genus delict pasal 310 dan 311 KUHP ini, bermutan menjadi pasal karet yang sangar, karena pidana delik fitnah dan pencemaran nama baik melalui sarana ITE ancaman pidananya 6 (enam) tahun penjara. Sehingga, seseorang yang berstatus tersangka bisa langsung ditahan berdasarkan kekuatan pasal 27 ayat (3) UU ITE lama.
Seiring perkembangan zaman, diktatorisme para tiran melakukan revolusi yang ‘cukup’ gemilang dalan menggunakan alat kekuasaan dan negara untuk mempertahankan kekuasaannya. Jika dahulu, pada zaman orde baru diktatorisme rezim Soeharto menggunakan sarana militer untuk menjaga kekuasaan, era now penguasa lebih memilih hukum sebagai sarana untuk menjaga kekuasaan.
Seiring dinamika politik dan hukum yang berkembang, pasal karet yang digunakan untuk melindungi kekuasaan telah bermutan dalam berbagai bentuk. Jika dahulu, pasal karet hanya dinisbatkan pada pasal 310 dan 311 KUHP, saat ini realitas pasal karet itu telah menjangkau pasal hoax, pasal makar dan delik pidana menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 107 KUHP dan pasal 28 ayat (2) UU ITE. 
Bahkan, di internal kajian LBH PELITA UMAT, pasal 28 ayat (2) UU ITE ini diistilahkan dengan sebutan ‘pasal pukat harimau’. Pasal pukat harimau, merujuk penggunaan jaring besar pukat harimau yang ditarik dua kapal untuk menjaring ikan, dimana semua jenis ikan bisa ditangkap dalam satu pelayaran.
Demikian pula, hakekat pasal 28 ayat (2) UU ITE, dimana Ancaman pidananya 6 (enam) tahun (tinjau pasal 45 ayat (2) UU ITE). Pasal berdalih menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA ini pada praktiknya menjadi semacam ‘pukat harimau’ untuk menjaring dan menangkapi sejumlah aktivis dan tokoh yang berseberangan dengan rezim, yang dapat digunakan secara massif. 
Bahkan, pasal hoax (pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946) dan pasal makar (pasal 107 KUHP), saat ini marak digunakan untuk menjerat aktivis dan tokoh nasional. Padahal, pasal ini sudah lama ada sejak KUHP dibentuk dan sejak UU No. 1 tahun 1946 diundangkan.
Namun, penggunaan pasal hoax dan pasal makar ini hanya masif di era rezim Jokowi. Tercatat, Leuis Sungkarisma, Egi Sudjana dan Mustofa Nahrawardaya dijerat pasal hoax. Sementara Egi Sudjana, Kivlan Zein dan Sunarko dijerat dengan pasal makar.
Penggunaan istilah hoax dan makar ini tidak objektif, sangat subjektif tergantung pada selera penguasa, tidak ada kejelasan unsur pidananya sehingga dapat diperlakukan seperti pasal karet. 
Dalam kasus hoax misalnya, pasal ini tidak berlaku bagi Jokowi yang terbukti menyebar hoax data kebakaran hutan, hoax data Import dan hoax data sengketa lahan, saat debat Pilpres. Faktanya, meskipun menyebar hoax sampai saat ini Jokowi tidak pernah diproses hukum.
Sementara tokoh dan pengkritik Jokowi, jika keliru sedikit terkait statement atau aktivitas sosmednya, langsung diproses hukum dengan kasus sebar hoax, sebagaimana yang dialami oleh Mustofa Nahrawardaya yang dijerat dengan pasal 14 dan/atau pasal 15 UU No. 1/1946 tentang peraturan pidana. Karena ancaman pidananya 10 tahun penjara, Mustofa Nahrawardaya yang lebih dikenal dengan akun tofalemon ini langsung ditahan dan dijebloskan ke jeruji besi. 
Kasus makar juga demikian, tidak ada batasan unsur yang jelas sehingga sangat bergantung pada selera penguasa. Pada kasus makar 411, sejumlah tokoh nasional (Sribintang Pamungkas, Rahmawati, Hatta Taliwang, Termasuk Kivlan Zen) ditangkapi rezim karena tudingan makar. Tanpa proses hukum yang jelas, akhirnya para tokoh nasional ini dilepaskan (bukan karena status SP3).  
Kini berdalih pasal makar juga, Kivlan Zen dan Sunarko juga dijebloskan di sel tahanan. Boleh jadi, jika tujuan politik rezim telah terealisir, kedua tokoh purnawirawan jenderal TNI ini juga akan kembali dilepaskan, tanpa status dan tanpa proses hukum yang jelas.
Sementara itu, pada kasus yang benar-benar makar, kasus OPM di Papua hingga saat ini tak ada satupun tokoh OPM yang ditahan dan mendapat status Tersangkan Makar. Pemerintah, berulangkali berdalih akan menggunakan pendekatan persuasif, padahal telah banyak korban sipil, militer dan polisi yang tewas akibat serangan OPM.
Berbeda dengan kasus OPM, Kivlan Zen dan Sunarko langsung diproses dan ditahan dengan status tersangka makar. Padahal, jangankan menyebabkan kematian, bahkan hingga saat ini belum ada satupun warga negara Indonesia, baik militer, polisi atau sipil yang tergores senjata akibat ulah Kivlan Zen dan Sunarko.
Demikianlah, pasal-pasal karet itu telah bermutan dan berevolusi ke banyak pasal. Tujuannya cuma satu, membungkam kritisme publik sekaligus untuk mengokohkan kekuasaan rezim. 
Terakhir, apa saran Anda agar proses hukum di negeri ini tidak dipahami sebagai kriminalisasi ?
Aparat penegak hukum wajib taat asas, taat prosedur, pruden dalam menangani kasus, tidak asal dalam menangkap atau menproses hukum warga negara. Selain itu, hukum juga wajib diterapkan secara equal, tidak tebang pilih atau pilih tebang.[]

Comment