Pesta Demokrasi Antara Biaya Tinggi Dan Tragedi

Opini626 Views

 

 

Oleh: Khusniahummi, Sarjana Hukum Syariah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Masa jabatan presiden Joko Widodo yang berlangsung selama dua periode akan segera berakhir dua tahun lagi. Pada tahun 2024 pesta demokrasi puncak berupa Pemilu Legislatif dan Presiden akan kembali dilakukan diikuti dengan Pilkada serentak nasional.

Peran rakyat sebagai penentu sekaligus penyelenggara kembali digaungkan sebagai lambang dan ciri khas dalam sistem demokrasi yaitu kekuasaan berada di tangan rakyat. Eksistensi rakyat sebagai pilar negara kembali disuarakan agar tidak ada yang luput dalam merayakan demokrasi sebagai sistem yang dianggap manusiawi.

Banyak agenda yang diadakan, banyak panggung yang akan digelar, tentu juga banyak dana yang digelontorkan.

Dilansir merdeka.com, anggaran dana penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 diusulkan mencapai 86 triliun secara multiyears, mulai 2021 sampai 2025, jumlah ini termasuk alokasi anggaran tambahan dari pagu KPU yang sudah diterima pada 2021.

Anggaran tersebut juga dirancang penyelenggaraan pemilu masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Kebutuhan anggaran pada tahun 2021 sebesar Rp8,43 triliun merupakan alokasi anggaran tambahan dari pagu alokasi KPU yang sudah diterima pada tahun 2021.

Pelaksanaan Pemilu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Kita lihat saja anggaran dana pada pelaksanaan Pemilu tahun 2014 totalnya kurang lebih Rp16,186 triliun. Kemudian Pemilu 2019 berjumlah Rp27,479 triliun.

Sedangkan serentak tahun 2024, penyelenggara Pemilu mengajukan anggaran mencapai Rp86 triliun. Sungguh nilai yang fantastis tentunya hanya untuk mengadakan pesta dalam sehari saja.

Ironisnya, bukan dana saja yang banyak dikorbankan, bahkan pesta demokrasi yang digelar pada periode Pemilu sebelumnya juga menelan banyak korban jiwa. Pada tragedi Pemilu tahun 2019 jumlah KPPS yang wafat tercatat sebanyak 409 orang. Kemudian KPPS yang sakit mencapai 3.658 orang. Sehingga totalnya ada 4.067 orang KPPS tertimpa musibah saat melaksanakan tugas penyelenggaraan Pemilu (Republika.co.id). Sungguh miris. Jatuh korban dalam jumlah besar sebagai martir demokrasi.

Dugaan sementara saat itu karena kelelahan melakukan pengawalan proses persiapan, pemungutan, dan penghitungan suara yang panjang dan berjenjang. Hal ini harusnya cukup membuat pemerintah dan masyarakat berpikir untuk mengevaluasi kesalahan yang terjadi sehingga kerugian berupa dana dan juga tragedi kematian petugas pemilu tidak terjadi lagi.

Namun sayangnya memang seperti itulah pengadaan pesta dalam sistem demokrasi yang diselenggarakan di mana pun dan kapan pun. Tidak dapat diubah, layaknya titah nenek moyang yang sudah mendarah daging. Jika kita mengubahnya maka hal itu akan menciderai makna sakral demokrasi itu sendiri.

Kita bandingkan dengan Pemilu dalam Islam. Mekanisme pemilihan pemimpin yang tidak membutuhkan anggaran fantastis. Kita bisa melihatnya dari beberapa contoh pemilihan pemimpin pada masa Khulafaur Rasyidin yaitu:
Pertama, pemilihan Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat segera berkumpul untuk menentukan Khalifah sebagai pengganti Rasulullah untuk memimpin negara.

Terdapat empat calon yang diajukan oleh kaum muslimin yaitu Saad bin Ubadah, Abu Ubaidah, Umar bin Khatab dan Abu Bakar. Setelah diskusi tersebut, di baiatlah Abu Bakar dengan baiat in’iqad. Keesokan harinya, seluruh kaum muslimin membaiat Abu Bakar dengan baiat taat.

Kedua, pemilihan Khalifah Umar bin Khatab. Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkan pada kematian, beliau meminta pendapat kaum muslimin mengenai pengganti beliau sebagai khalifah.

Proses pengumpulan pendapat berlangsung tiga bulan hingga akhirnya beliau mencalonkan Umar bin Khatab. Seteah wafatnya Abu Bakar, kaum muslimin datang ke masjid untuk membaiat Umar bin Khatab.

Artinya, dengan baiat inilah Umar bin Khatab sah menjadi khalifah kaum muslimin, bukan dengan proses pengumpulan pendapat ataupun pencalonan Abu Bakar.

Ketiga, pemilihan Khalifah Utsman bin Affan. Setelah Umar bin Khatab wafat akibat tikaman bertubi tubi oleh Abu Lu’luah, kaum muslimin memintanya menunjuk pengganti. Hingga tersebutlah enam nama.

Umar bin Khatab menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah beliau calonkan hingga terpilih seorang khalifah dalam jangka waktu tiga hari.

Keempat, pemilihan Ali bin Abi Thalib. Ketika Utsman terbunuh, mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Ali pun sah menjadi khalifah dengan baiat tersebut.
Proses ini merupakan proses yang jurdil karena calon penguasa merupakan sosok yang memang diinginkan rakyat, bukan para pengejar kekuasaan.

Selain itu, ketundukan pada syariat menyebabkan proses integrasi berlangsung secara alami. Kaum muslimin tidak akan berani menyelisihi pendapat mayoritas umat karena itu berarti pembangkangan. Segala hal ini melahirkan suatu proses pemilihan pemimpin yang aman dan penuh keikhlasan.[]

Comment