Penulis: Atika Nasution, S.E |
Alumni Mahasiswi UISU Medan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemerintah didesak oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS untuk memitigasi dampak dari perubahan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perubahan istilah ini disebut bisa berdampak bagi keamanan masyarakat sipil di Papua.
Dimas Bagus Arya Saputra, selaku Koordinator KontraS mengatakan, perubahan nama itu harus diikuti dengan jaminan perlindungan dari negara bagi masyarakat yang ada di Papua. Agus menuding OPM telah melakukan aksi teror, pembunuhan, bahkan pemerkosaan. Aksi itu dilakukan terhadap guru, tenaga kesehatan, masyarakat dan personel TNI/Polri. kelompok separatis berdiri di tanah Papua sejak 1965.
Menamakan diri OPM, kelompok itu ingin melepaskan daerah yang dulu bernama Irian Jaya itu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seiring berjalan waktu, pemerintah mengganti istilah OPM menjadi KKB. Pemerintah sebagaimana ditulis tempo.co (3/5/2024) menetapkan kelompok tersebut sebagai teroris.
Sudah lama menjadi bagian provinsi di negeri ini, namun nasib Papua tidak sama jika dibandingkan provinsi lain- apalagi jika disandingkan dengan pulau Jawa, sungguh jauh berbeda. Meskipun di negeri yang sama, embangunan tidak merata bahkan kemiskinan merajalela, padahal kita mengenal Papua provinsi yang kaya dengan SDA.
Namun sayang, pembangunan dan perhatian pemerintah yang kurang telah menimbulkan perbedaan kemajuan. Semua kekayaan alam itu seakan tidak ada gunanya. Rakyat papua tetap dengan kemiskinanya.
Banyak negara asing melirik Papua karena ingin mengeruk sumber daya alamnya – bahkan mereka mengkondisikan Papua agar tidak kondusif dengan dalih kemerdekaan. Negara-negara itu akhirnya mendukung upaya OPM untuk merdeka dari Indonesia.
Inggris, AS, Australia, dan sebagainya diduga menjadi pemasok senjata dan pendukung pendanaan untuk organisasi separatis di Papua. Dukungan asing ini membuat OPM makin berani untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. OPM ini juga menebar teror dan tidak segan melukai warga sipil, bahkan para nakes dan guru di sana. Alhasil, perlu ada langkah konkret dari pemerintah untuk menyelesaikannya.
Sayangnya, jika tindakan dilakukan, disinyalir akan menjadi buah simalakama bagi Indonesia. Pasalnya, jika pemerintah berdalih perlunya menggerakkan tentara untuk menumpas pemberontakan, yang ada malah dituduh sebagai pelanggar HAM. Akan tetapi, jika tidak dilakukan, justru membahayakan masyarakat di sana. Indonesia sebagai negara independen, sudah seharusnya memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Papua.
Akar masalah pemberontakan ini adalah ketidakpuasaan masyarakat Papua terhadap pengurusan pemerintah Indonesia dan tarik menarik kepentingan asing. Alhasil, negara perlu mengatasi masalah ini secara tuntas dan serius.
Jika kita bertumpu pada sistem kapitalisme, masalah tidak akan pernah bisa selesai. Kapitalismelah penyebab munculnya gerakan ini. Penerapan ekonomi kapitalistis membuat pembangunan hanya bertumpu pada daerah yang perputaran ekonominya bagus. Hal ini menjadikan Papua menjadi wilayah timur yang terasing. Kalaupun ada pembangunan, nyatanya tidak mampu memberikan kesejahteraan.
Kapitalisme adalah ideologi individualistis sekaligus materialistis. Ini sebabnya negara-negara kapitalis seperti AS dan Inggris harus ‘memelihara’ kepentingan mereka di sana. Mereka akan terus menanamkan masalah di Papua agar mereka dapat mengeruk kekayaan alamnya. Jadi, sangat tidak mungkin mengandalkan kapitalisme untuk menyelesaikan masalah ini.
Berbeda dengan Islam. Dalam sisi ekonomi islam memberikan kesejahteraan bagi siapa saja. Dalam hal pembangunan, Islam melakukannya secara merata. Islam mewajibkan negara memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, keamanan, hingga infrastruktur yang sama dan memadai. Alhasil, seluruh masyarakat tanpa kecuali bisa mendapatkan haknya, seperti sandang, pangan, dan papan.
Islam memiliki Baitul Maal yang menjadi kekuatan keuangan negara mengurus rakyat yang bersumber dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, hingga pengelolaan SDA. Khusus SDA, negara tidak akan membolehkan swasta atau asing mengelola dan mengeruknya. Islam mewajibkan negara mengelola secara mandiri dan memanfaatkan hasilnya untuk keperluan rakyat.
Jadi, negara tidak akan membiarkan AS dan Inggris mendirikan perusahaan tambang sebagaimana di Papua. Negara wajib mengambil alih dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Islam juga tidak membedakan masyarakat muslim dan nonmuslim. Meskipun daerah tersebut mayoritas nonmuslim, negara akan tetap hadir menjalankan perannya sebagai pengurus rakyatnya. Negara tetap akan menjamin semua kebutuhan dan melindungi mereka dari situasi apa pun.
Terkait gerakan separatisme yang menimbulkan teror, Islam memandangnya sebagai bagian dari bugat (pemberontak). Hukum bugat dalam Islam adalah haram. Oleh karena itu, Islam mewajibkan negara melakukan tindakan semisal terhadap gerakan separatisme yang sudah membahayakan.
Islam juga melarang negara untuk berkompromi dengan negara yang jelas-jelas memusuhi Islam. Islam mewajibkan negara mempunyai idealisme sendiri dan tidak terpengaruh dengan asing, apalagi tergiur dengan iming-iming mereka.
Inilah yang akan membuat negara independen sehingga dapat berdikari. Dengan penerapan Islam inilah, organisasi seperti OPM tidak akan muncul dan masyarakat tidak punya alasan untuk menjadi bugat.
Oleh karenanya, hanya Islam yang akan menjadi jawaban untuk penyelesaian konflik di Papua. Ketahuilah bahwa sekadar perubahan istilah tidak akan menyelesaikan masalah. Wallahu’lam Bisshawab.[]
Comment