Penulis: Kholilatul Afshoh | Mahasantri Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) seperti ditulis katadata.co.id, pada tahun 2023 Indonesia memiliki volume cadangan emas 2.600 metrik ton. Porsinya mencapai 4,4% dari cadangan emas global yang totalnya 59.000 metrik ton. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pemilik cadangan emas terbesar ke-6 di dunia.
Siapa yang tidak tergiur dengan fakta tersebut. Perusahaan-perusahaan pertambangan pun kian banyak bermunculan di Indonesia, baik yang legal maupun ilegal. Kini Indonesia semakin sering berhadapan dengan permasalahan pertambangan ilegal. Pertambangan ilegal sudah tidak terbendung lagi keberadaannya karena sekarang sudah tersebar luas di berbagai daerah yang berlimpah cadangan barang tambangnya.
Berita yang masih hangat di tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Korwas PPNS) Bareskrim Polri berhasil mengungkap aktivitas penambangan emas ilegal di Ketapang, Kalimantan Barat.
Penambangan ini sebagaimana dikatakan cnbcindonesia.com, dilakukan oleh sekelompok Warga Negara Asing (WNA) asal China, yang telah menggali lubang sepanjang 1.648,3 meter di bawah tanah. WNA asal China dengan inisial YH telah ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus ini.
Mengutip detik.com, perbuatan YH membuat negara rugi hingga triliunan rupiah. Dalam persidangan terungkap emas yang berhasil dicuri YH melalui aktivitas penambangan ilegal yang dilakukannya adalah 774,27 kg.
Berita lainnya di bulan ini, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB menyebut tambang ilegal di wilayah Sekotong Lombok Barat tersebar di 25 titik atau lokasi penambangan. Luas kawasan yang digunakan yaitu 98,19 hektare yang tersebar di tiga desa.
Dikutip dari Kompas.com, aktivitas tambang ilegal yang berlokasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) ini diduga telah dimulai sejak 2021 dan diperkirakan menghasilkan omzet hingga Rp90 miliar per bulan, atau sekitar Rp 1,08 triliun per tahun.
Di samping kerugian ekonomi, pertambangan ilegal ini menurut neliti.com justru mendatangkan kerugian yang besar terhadap lingkungan masyarakat. Secara umum dampak pertambangan terhadap lingkungan yaitu penurunan produktivitas lahan, kepadatan tanah bertambah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, kesehatan masyarakat serta berdampak terhadap perubahan iklim mikro.
Dampak-dampak tersebut muncul jika perusahaan tambang tidak bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukannya.
Seperti yang terjadi pada kasus penambangan ilegal di Lombok, proses pemurnian batuan emasnya dilakukan dengan pencampuran zat kimia yang berdampak buruk bagi lingkungan yaitu Jin Chan sejenis bahan kimia yang memiliki fungsi yang sama dengan mercuri dan sianida. Daerah tersebut biasanya dijadikan tempat pariwisata, namun sekarang keindahannya bahkan mematikan.
Tidak hanya itu, kerusakan dari kegiatan penambangan ilegal juga terjadi di Provinsi Gorontalo di bulan Juli lalu. Dilansir dari kompas.com bahwa telah terjadi longsor di tambang emas ilegal di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Peristiwa tersebut menewaskan puluhan warga.
Baru-baru ini juga terjadi peristiwa yang serupa di Sumatera Barat, BPBD Kabupaten Solok mengatakan telah terjadi longsor di kawasan tambang ilegal di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, akibat hujan lebat pada Kamis 26 September 2024.
Semua itu hanya sekilas info tentang dampak pertambangan ilegal di Indonesia, karena pada hakikatnya pertambangan ilegal semacam itu tidak sedikit di Indonesia. Pertambangan ilegal banyak menimbulkan masalah pada lingkungan hidup, karena wajar saja, pelaku melihat peluang sumber kekayaan yang besar namun minim modal dan ilmu pengetahuan.
Sehingga tidak sama sekali memikirkan dampak negatif, karena yang penting mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan tidak mau bertanggung jawab terhadap kerusakan yang merugikannya.
Permasalahan tersebut terus menjadi pembicaraan masyarakat, terlebih lagi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan pertambangan yang secara langsung merasakan dampaknya.
Pemerintah sudah berupaya menekan terjadinya permasalahan tersebut, terlihat dari sudah adanya UU yang menegaskan sanksi pertambangan ilegal, yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 dengan ancaman hukuman kurungan selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda maksimal 100 milyar rupiah bagi siapa saja yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin.
Meskipun begitu pertambangan ilegal tetap marak terjadi, bahkan kegiatan pertambangan tanpa izin cenderung dibiarkan tanpa penindakan yang tegas karena banyak melibatkan tangan-tangan kotor oknum pejabat negara.
Kekayaan alam yang berlimpah di muka bumi ini adalah ciptaan sang pencipta Allah ta’ala yang wajib dijaga dan dilestarikan. Bukan malah sebaliknya yang justru membahayakan kehidupan.
Permasalahan alam yang terjadi saat ini adalah ulah tangan manusia, sebagaimana yang telah Allah firmankan didalam surah Al- Rum ayat 41 yang artinya:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Kehidupan saat ini sangat jauh dari kehidupan Islam yang hakiki. Kehidupan kapitalistik yang diterapkan saat inilah yang menyebabkan segudang masalah duniawi yang tidak ada ujungnya ini.
Permasalahan pertambangan ilegal jika diteliti lebih dalam lagi, bisa didapati bahwa ada faktor yang mengakar dari permasalahan tersebut.
Dalam kehidupan kapitalis sekuler saat ini menjadikan seseorang jauh dari aturan sang pencipta. Hasil dari kehidupan kapitalis sekuler adalah sikap materialistik yang kerap melanda manusia saat ini.
Semua orang berlomba-lomba mendapatkan materi dengan keuntungan sebesar-besarnya hanya untuk kepentingan pribadi tanpa memiliki nurani.
Seharusnya kekayaan alam yang sangat besar tidak mampu hanya diurusi oleh individu atau sekelompok orang semata. Namun, harus dikelola oleh negara yang memiliki kedaulatan. Negara seharusnya memiliki aturan yang mampu mengelola kekayaan alam dengan bijak.
Bukan malah menyerahkan kepemilikan kekayaan alam yang besar kepada invidu atau swasta, yang pada akhirnya hasil tambang yang besar dinikmati sendiri dan tidak bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan aturan negara yang komprehensif yang mampu mengatur segala bentuk urusan kehidupan manusia termasuk pertambangan. Aturan yang komprehensif itu hanya ditemukan di dalam Islam. Secara sistemik, Islam sudah datang dengan segudang solusi dalam menanggapi permasalahan ini.
Dalam pandangan Islam, barang tambang dalam jumlah besar hakikatnya adalah bagian dari milik umum atau rakyat (al-milkiyyah ‘âmmah). Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Para ulama juga sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, serta padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang.
Tertulis dalam hadits, Rasulullah saw. bersabda, “Dari Abyadh bin Hammal, ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya.
Beliau lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh bin Hammal ra. telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh Anda telah memberi ia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mâ’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi).
Hadits tersebut merupakan dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 54–56).
Terlihat jelas di sana bahwa Rasulullah saw. sebagai kepala Negara di Madinah saat itu—menarik kembali tambang garam yang sempat beliau berikan kepada Abyadh bin Hammal ra.
Hal itu beliau lakukan setelah beliau tahu bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah. Dengan demikian, Rasulullah saw. ingin menegaskan bahwa tambang garam yang depositnya melimpah tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.
Dapat disimpulkan bahwa ketentuan ini berlaku bukan hanya untuk tambang garam saja seperti dalam hadis di atas, namun berlaku pula untuk seluruh barang tambang.
Kesimpulannya, semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll. termasuk milik umum dan haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, swasta, apalagi asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas.
Semua tambang tersebut wajib dikelola oleh negara, yang seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat secara merata. Kebijakan negara yang melenceng dari syariat dalam pengelolaan tambang tersebut terbukti hanya memperkaya oligarki dan asing.
Akibatnya, di tengah kekayaan barang tambang yang amat berlimpah di negeri ini, rakyat kebanyakan tetap saja miskin. Kesadaran negara atas potensi kekayaan alam mengharuskan pengaturannya sesuai degan ketentuan Allah.
Hanya pengelolaan yang berlandaskan syari’at yang mampu secara optimal menyejahterakan rakyat. Wallahua’lam bishowab.[]
Comment