Penulis: Alfaqir Nuuihya | Ibu Pemerhati Masyarakat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Akhir-akhir ini marak berita tentang perempuan yang sedang bekerja sebagai disc jockey (DJ) sambil menggendong anak, seperti dimuat dalam (detik.com, 05/09/23).
Bahkan begitu banyak perempuan di Gresik yang berstatus janda, mereka berprofesi sebagai ojol. Hal ini mengingatkan penulis akan pengalaman pribadi. Sebagai seorang single parent harus berjuang sekuat tenaga mencari nafkah agar kebutuhan pribadi dan anak terpenuhi.
Telah banyak fakta ketika pendapatan suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan maka istri akan turun tangan membantu suami dalam mencari nafkah. Dengan berbekal pendidikan yang minim sering kali mereka dieksploitasi untuk sebuah pekerjaan yang menguras tenaga dan fisik. Bahkan dalam kondisi ini, mereka sering menjadi obyek kekerasan dan pelecehan.
Di sisi lain mereka akhirnya mengesampingkan kewajibannya sebagai pendidik utama dalam keluarga. Inilah dilema hidup di dalam sistem kapitalisme, para ibu terutama janda harus bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk mereka sendiri. Sebab mereka tidak memiliki jaminan dari negara dalam bentuk pemenuhan kebutuhan primer.
Dalam keadaan ini, mau tidak mau para kepala keluarga muslim harus mencari cara sendiri dalam pemenuhannya.
Tak dapat dimungkiri, dalam sistem kapitalisme, potret keluarga muslim yang ideal akan semakin meredup, bahkan setiap anggota keluarga tidak dapat merealisasikan peran dan tanggung jawabnya.
Sama halnya yang dialami oleh penulis, sangat merasakan bagaimana seorang kepala keluarga menafikan peran dan tanggung jawabnya.
Di dalam kapitalisme, pelan tetapi pasti kita akan dijauhkan dari agama, bahkan perempuan dipandang tak ubahnya mesin pencetak uang bagi para pemilik modal.
Di dalam Islam telah jelas bahwa kewajiban suami sebagai pemimpin, bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan keluarga. Berbanding terbalik dengan istri, tugasnya adalah menyiapkan anak-anak agar menjadi generasi islam terbaik.
Jika ternyata suami istri ini bercerai, maka perempuan ini akan dikembalikan kepada walinya, entah bapak atau saudara laki-lakinya, bahkan pemenuhan kebutuhannya adalah kewajiban walinya.
Sebagaimana firman Allah, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, lebih dari kesanggupannya.” (TQS. Al-Baqarah: 233)
Namun, sering kali permasalahannya adalah wali perempuan pun merupakan pihak yang kekurangan secara materi. Maka, mau tidak mau para janda ini harus mencari nafkah sendiri. Walaupun mereka malah mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Ada pula malah para wali dan mantan suami tidak memahami kewajiban mereka dalam pemenuhan nafkah.
Di dalam Islam, wanita itu begitu dimuliakan. Hak-haknya wajib dijaga, eksistensinya ditinggikan, bahkan mereka mendapat perhatian khusus. Ketika walinya tidak melakukan kewajiban, maka islam akan mengingatkan. Namun, ketika wali memang tidak memiliki kemampuan dalam pemenuhannya, maka negara akan mengambil alih peran ini.
Dalam Islam, biaya pendidikan gratis, kesehatan gratis, bahkan pemenuhan kebutuhan primer lainnya menjadi tanggung jawab negara. Dengan perlakuan khusus dan penjagaan kehormatan ini, niscaya stigma negatif terhadap janda di kalangan masyarakat akan hilang.
Islam pun menghukumi mubah bagi perempuan yang bekerja. Dengan syarat harus tetap memenuhi syariat Islam. Seperti tetap menutup aurat secara sempurna, tidak bercampur baur dengan lelaki yang bukan mahramnya, dan harus bisa menutup semua celah yang berpotensi menimbulkan fitnah.
Perempuan pun harus memahami literasi Islam tentang muamalah, agar mereka terhindar dari ekploitasi. Bahkan jika niat perempuan bekerja adalah untuk membangun peradaban Islam maka hal ini sangat dianjurkan.
Islam memang membolehkan perempuan bekerja, tetapi harus tetap memprioritaskan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Mereka tidak akan begitu saja mengabaikan kewajibannya terhadap keluarga. Mereka tidak akan terbuai oleh karier dan materi. Kalaupun mereka bekerja maka itu haruslah murni kerelaannya sendiri dan bersifat profesional. Bukan atas desakan kemiskinan, atau terpaksa, bahkan tindasan pihak lain.
Dalam hadits pun, Nabi Saw. menjelaskan kebolehan perempuan dalam bekerja. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Rifa’ah. Ia berkata, Nabi Saw. telah melarang kami dari pekerjaan seorang wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda, “Begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti membuat roti, menenun, mengurai wol.” (HR. Ahmad, dan Alhakim menetapkan kesahihannya)
Kesimpulannya, bekerja bagi perempuan adalah mubah dalam islam. Dengan syarat tidak melanggar syariat dan pekerjaan tersebut tidak mengeksploitasi perempuan serta tidak boleh menafikan kewajibannya sebagai pendidik dalam keluarga.
Namun tetap, meskipun perempuan mubah bekerja, pemenuhan kebutuhannya adalah kewajiban negara, dan tentunya hanya negara yang berlandaskan syariat Islamlah yang bisa menerapkan aturan ini secara sempurna. Wallahualam bissawab.[]
Comment