Perpanjangan Izin Freeport dan Penderitaan Rakyat

Opini246 Views

 

 

Penulis:  Hamsina Halik | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– PT Freeport Indonesia (PTFI) mendapat angin segar dari pemerintah.Perusahaan emas dan tembaga yang beroperasi di Tembagapura, Mimika, Papua itu mendapatkan lampu hijau perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid ini ditetapkan di Jakarta dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024. (cnbcindonesia.com, 31/5/2024)

Bukan Solusi Tepat

Meskipun saham kepemilikan Indonesia di PT. Freeport naik menjadi 10% dari yang sebelumnya 51%, namun ini bukan solusi tepat untuk menyejahterakan rakyat. Sebab, meski terjadi kenaikan saham, hal ini tetap merugikan rakyat Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam, terutama rakyat Papua. Hal ini anya akan memperpanjang penderitaan mereka.

Sumber daya alam termasuk di dalamnya mineral, emas, perak dan lain-lain, sejatinya adalah milik rakyat. Oleh karena itu, jika pengelolaannya diberikan kepada korporasi hanya akan merugikan rakyat. Sebab, korporasi hanya berorientasi pada keuntungan segelintir orang.

Hal ini nampak bagaimana kondisi rakyat Papua masih berada dalam garis kemiskinan hingga saat ini. Padahal, di tanah mereka begitu berlimpahnya sumber daya mineral dan emas.  Secara logika jika suatu negara memiliki sumber daya alam melimpah tentu penduduk yang tinggal di dalamnya akan sejahtera.

Pengelolaan tambang saat ini juga membawa dampak buruk bagi lingkungan. Seperti hilangnya vegetasi hutan, polusi tanah dan udara, maupun air. Hal yang paling merasakan imbasnya adalah masyarakat yang berada di lingkungan sekitar tambang, kehidupan mereka semakin sengsara.

Apatah lagi, keberadaan PT. Freeport di Papua yang saat ini selain menjadi salah satu perusahaan tambang besar di dunia, juga merupakan wujud nyata penjajahan Amerika Serikat atas Indonesia.

Alhasil, dengan adanya perpanjangan kontrak PT. Freeport, itu berarti menandakan perpanjangan hegemoni (penjajahan) asing terhadap negeri Ini. Dengan izin ini, dominasi ekonomi Amerika Serikat terhadap negeri ini semakin kuat. Sehingga tak ada lagi kemandirian negara dalam mengelola sumber daya alam.

Liberalisasi Ekonomi Kapitalis

Sumber daya alam adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Sudah selayaknya masyarakat merasakan manfaatnya. Namun, karena sistem di negeri ini bersandar pada kapitalisme sekuler, liberalisasi ekonomi menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, segala jenis kekayaan alam ini boleh dikuasai oleh siapapun baik individu, kelompok, swasta ataupun asing. Kapitalisme tidak mengakui keberadaan kepemilikan umum atau publik.

Inilah yang kemudian menjadikan para pemilik modal dengan mudahnya menindas rakyat kecil. Sementara, negara hanya berperan sebagai regulator yang melegalkan privatisasi sumber daya alam bagi pihak manapun yang memiliki modal. Meskipun kerusakan dan penderitaan yang dirasakan rakyat Papua terpampang nyata, namun negara tampak tak berdaya di hadapan PT. Freeport.

Alhasil, tak ada kebaikan dari hasil tambang tersebut. Karena, pengelolaan harta tersebut diatur menggunakan prinsip kebebasan kepemilikan. Kekayaan alam yang seharusnya bisa dinikmati rakyat bersama malah dikuasai dan hanya bisa dirasakan hasilnya oleh segelintir orang.

Tambang dalam Islam

Tambang dalam Islam diposisikan sebagai harta kepemilikan umum. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah saw., yaitu:

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Hadits tersebut dengan tegas menyampaikan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Swasta tidak boleh diberikan kebebasan dalam pengelolaannya. Pengelolaan ini sepenuhnya harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan publik seperti pendidikan gratis dan kesehatan yang mumpuni, bebas biaya terhadap infrastruktur yang digunakan oleh masyarakat, bahkan penyediaan rumah bagi warganya.

Terkait barang tambang, telah dijelaskan dalam HR. Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Saat itu, Abyad meminta kepada Rasulullah saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul pun membolehkannya. Namun, tidak lama kemudian, beliau diingatkan oleh sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir (ma’u al-‘idda).” Berkata (perawi), “Kemudian beliau saw. menarik kembali tambang tersebut.”

Pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan syariat Islam memberi jaminan kesejahteraan pada masyarakat. Tentu saja dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Pengelolaan seperti ini hanya mampu dilaksanakan oleh penguasa independen, tidak bergantung kepada asing dan melaksanakan seluruh aturan bernegara sesuai dengan aturan-aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Wallahu a’lam []

Comment