Pernikahan Dini, Polemik Dan Dekadensi Moral

Opini590 Views

 

 

Oleh: Tri Wahyuningsih, S.Pi, Pegiat Literasi dan Media

__________

RADARINDONESIANEWSCOM, JAKARTA — Pernikahan dini di negeri ini masih menjadi sorotan dan polemik di berbagai lembaga khususnya para aktivis anak dan perempuan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pernikahan dini di Indonesia meningkat dari tahun 2017 yang hanya 14,18 persen menjadi 15,66 persen pada 2018. Angka ini semakin meningkat di masa pandemi.

Pada Januari – Juni 2020, 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini, (di bawah 19 tahun) diajukan, 97% di antaranya dikabulkan. Artinya ada jutaan anak perempuan Indonesia yang melakukan pernikahan dini sepanjang tahun 2020.

Pernikahan dini telah menjadi permasalahan tersendiri bagi negeri ini. Berdasarkan data 2018, pernikahan dini ditemukan di seluruh bagian Indonesia. Sebanyak 1.184.000 perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah di usia 18 tahun.

Terdapat sejumlah faktor Yang melatarbelakangi pernikahan dini, apalagi di masa pandemi Covid-19 ini. Penutupan sekolah menyebabkan minimnya aktivitas, aturan beragam norma di wilayah setempat, hingga persoalan ekonomi keluarga. Himpitan ekonomi di tengah krisis mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya.

Sebagaimana yang menimpa Lia (23) dan Erna (23), warga Desa Pulau Raman, Batanghari, Jambi yang menikah pada usia 17 tahun disebabkan faktor ketidakmampuan ekonomi orang tua. Menikah muda menjadi solusi yang dipilih oleh mereka, dengan dasar keinginan diri sendiri dan juga dorongan keluarga. (narasinewsroom)

Propaganda Pencegahan Pernikahan Dini

Praktek pernikahan dini atau perkawinan anak di bawah umur kini memang dianggap sebagai problem, bahkan kejahatan yang dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat. Sebab, dalam sistem hukum Indonesia, hal ini diatur dalam UU Perlindungan Anak (UU No 23/2002) yang salah satu pasalnya melarang pernikahan anak di bawah umur sesuai definisi anak yang diadopsi oleh UU, yakni seseorang yang masih di bawah usia 18 tahun.

Dalam pasal 26 UU tersebut, orang tua diwajibkan untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak sampai usia 18 tahun. Namun, belum lama ini dinaikkan batas usia pernikahan yakni 19 tahun.

Ada beberapa alasan yang dijadikan dasar penolakan pemerintah yang didukung kalangan gender terhadap praktik pernikahan dini. Selain soal psikis dan biologis yang dianggap belum matang hingga pernikahannya bisa rentan terhadap masalah perceraian, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga tingginya angka kematian pada ibu dan anak saat proses persalinan, menjadi alasan pemerintah dan pegiat gender gencar menggalang gerakan menolak pernikahan di usia muda.

Selain rentan masalah, menurut mereka perkawinan anak juga dianggap telah mencederai hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapat perlindungan. Padahal menurut pemerintah, hak anak ini harus dijaga agar kelak dihasilkan generasi penerus bangsa yang unggul untuk Indonesia emas.

Benar, bahwa hak anak merupakan hal yang wajib dijaga dan tak bisa dinafikan. Mengingat, anak merupakan aset strategis bangsa yang kelak akan menentukan masa depan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bahkan kewajiban ini bukan hanya menjadi beban pihak pemerintah saja, tetapi menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik keluarga (orang tua), Lembaga Pendidikan maupun masyarakat secara umum.

Namun, ironisnya propaganda pencegahan pernikahan dini dan perkawinan anak atas nama perlindungan anak yang digembar-gemborkan pemerintah dengan dukungan kalangan gender dan terus diperjuangkan secara normatif ini seringkali tidak sinkron dengan pensikapan terhadap realitas maraknya dekadensi moral di kalangan generasi. Padahal persoalan dekadensi moral ini jauh lebih banyak dan dampaknya jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan jumlah kasus dan dampak pernikahan dini itu sendiri.

Bukan rahasia jika seks bebas di kalangan remaja, bahkan anak-anak di Indonesia sudah sedemikan merebak hingga taraf mengenaskan pada tindak kekerasan, seperti pemerkosaan anak oleh anak hingga yang terakhir kasus prostitusi online melibatkan anak-anak.

Demikian juga dengan dampak turunannya, seperti kehamilan di luar nikah yang sebagian berujung pernikahan dini, serta kelahiran tak diinginkan yang berujung aborsi atau penelantaran anak, hingga merebaknya penyakit seksual menular di kalangan anak yang kasusnya juga terus meningkat.

Anehnya, atas semua realitas memprihatinkan ini, tak tampak upaya pencegahan dan penolakan pihak pemerintah dan kalangan gender yang lebih massif dibanding upaya pencegahan dan penolakan mereka atas praktek pernikahan dini dan perkawinan anak.

Mereka tidak berteriak lantang untuk membela hak anak, perempuan dan masyarakat ketika ada hal yang mengganggu tumbuh kembang anak dan ketenangan masyarakat.

Free sex di kalangan anak-anak dan remaja, trafficking anak, games online yang menyita waktu belajar anak, film, majalah, games yang menstimulasi anak untuk melakukan pornoaksi dan kekerasan, dan sebagainya.

Tidakkah ini yang sebenarnya telah merampas hak tumbuh kembang anak dan hak-hak dasar mereka ?

Sistem Sekuler Akar Dekadensi Moral Generasi

Sistem perundang-undangan yang diterapkan di negeri ini adalah sistem sekuler, tidak menggunakan pandangan dan hukum agama. Hasilnya adalah sebagaimana yang terjadi hari ini, persoalan yang dominan adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia termasuk di dalamnya anak-anak.

Mayoritas masyarakat berada dalam kemiskinan Yang sangat parah, derajat kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan dan keterampilan yang terus merosot dibanding negara lain, kriminalitas yang merendahkan martabat manusia dan mengguncang ketenangan hidup bermasyarakat, dan berbagai permasalahan lainnya.

Parahnya lagi, sistem hukum yang diterapkan pun sama sekali tak berorientasi pencegahan apalagi berdampak penjeraan bagi para pelaku kejahatan. Terlebih definisi kejahatan dalam sistem hukum sekuler ini tak mencakup di dalamnya laku seks bebas dan maksiat.

Bahkan yang ironis, dalam system hukum sekuler ini, definisi kejahatan tak jelas tolak ukurnya, hingga seringkali bertentangan dengan aturan-aturan agama (baca : Islam).

Potret generasi penerus hari ini nampak sangat buram. Hanya sedikit yang terselamatkan dari berbagai fitnah zaman yang kian terjauhkan dari problem terkait generasi terus bermunculan. Membuat orang-orang yang berkesadaran ketar-ketir jika mengingat masa depan.

Ironisnya, para pengusung sekuler hari ini nampaknya tak peduli dengan wajah umat ini ke depan. Jikapun ada sedikit perhatian, maka solusi pragmatis yang ditawarkan tak jarang malah mengukuhkan kerusakan dan tetap membuat beban berat kian tertumpu pada orangtua yang sudah kelimpungan dengan berbagai permasalahan hidup yang dihadapi.

Inilah yang terjadi pada proyek mainstreaming ide keadilan, kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender yang berparadigma sekuler. Menafikan kemampuan Islam menyelesaikan seluruh problem kehidupan generasi termasuk dekadensi moral generasi.

Padahal dalam Islam, terdapat banyak sekali aturan yang jika diterapkan akan memberi perlindungan dan pemenuhan hak secara maksimal pada generasi. Mulai hak hidup, hak beroleh pengasuhan dan pendidikan terbaik, hak nafkah, hak keamanan dan lainnya.

Islam sebagai solusi

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah lengkap mengatur segala persoalan kehidupan manusia, termasuk dalam masalah kehidupan generasi. Aturan-aturan tersebut melekat pada aturan-aturan yang menyangkut keluarga sebagai pilar pertama penjagaan generasi.

Berikutnya aturan yang menyangkut muamalah di tengah masyarakat termasuk yang mewujud dalam sistem sosial atau pergaulan, sistem ekonomi, sistem persanksian, serta sistem kontrol (amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah) di antara anggota-anggotanya, serta pada aturan-aturan yang melekat pada negara yang secara syar’i berkewajiban menegakkan semua aturan tadi dengan kekuatan politis yang dimilikinya.

Penguasa atau negara menjadi pilar ke tiga penegakkan hukum berupa kewajiban mengimplementasikan seluruh hukum Islam tadi di tengah umat secara tegas dan konsisten.

Tegaknya tiga (3) pilar ini dipastikan akan menjadi jaminan bagi lahirnya generasi terbaik. Hal ini bisa dibuktikan dengan menengok sejarah peradaban Islam, di mana sepanjang belasan abad, umat Islam mampu tampil sebagai umat terbaik, menjadi pionir peradaban dunia dengan lahirnya generasi cemerlang yang berkualitas unggul.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada Islam dengan standar aturan yang jelas tentang benar salah, agar generasi segera terselamatkan dari kehancuran. Wallahu’alam.[]

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment