Perkawinan Anak Menjadi Soal dalam Kehidupan Liberalisme

Opini73 Views

 

Penulis: Wulandari Rahayu, S.Pd | Aktivis Dakwah dan Penggiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Perkawinan anak atau pernikahan anak usia dini selalu menjadi topik dan persoalan. Apalagi akhir-akhir ini terjadi pernikahan anak usia dini yang melibatkan seorang influencer muda yang harapannya menjadi profile dalam pencegahan perkawinan anak usia dini.

Hal ini menjadi pro-kontra di tengah mayarakat. Pernikahan anak usia dini sudah banyak disoroti dan menjadi hal yang dikritisi berbagai pihak.

Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Cecep Khairul Anwar mengatakan, pendidikan adalah kunci utama untuk mencegah perkawinan anak.

Cecep Khairul menambahkan, kesadaran publik dan pendidikan adalah kunci utama dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Kami berkomitmen meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko perkawinan anak serta memastikan akses pendidikan yang setara.

Hal ini disampaikan saat memberi edukasi tentang bahaya praktik perkawinan anak kepada ratusan pelajar madrasah dan sekolah yang berasal dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Semarang, MAN 2 Semarang, dan sejumlah SMA di Semarang, Kamis (19/9/2024) sebagaimana ditulis kemenag.go.id (20/9/24)

Ia juga mengungkapkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan lembaga pendidikan dalam sosialisasi bahaya kawin anak.

Cecep Khairul melanjutkan, semakin banyak pihak yang terlibat, semakin besar dampak positif yang dapat dirasakan. Kerja sama lintas sektor menjadi fondasi kuat dalam memerangi praktik perkawinan anak.

Sementara itu Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyoroti pentingnya peran para pihak termasuk juga anak-anak untuk meningkatkan kualitas remaja dalam upaya mencapai bonus demografi.

Lebih lanjut ia mengingatkan kepada para siswa yang hadir, agar bijak menggunakan gawai dan menghindari tayangan serta ajakan yang dapat memicu terjadinya perilaku berisiko remaja seperti hubungan seksual sebelum menikah, kehamilan remaja hingga perkawinan anak.

Lebih jauh dari itu perkawinan anak usia dini dianggap penyebab utama terjadinya stunting, misalnya disebabkan karena belum matang secara psikologis, pengetahuan tentang pola asuh dan kehamilan yang belum mumpuni dan juga perkawinan anak yang dianggap belum mampu secara finansial ini akan menentukan asupan gizi yang diperoleh.

Inilah beberapa alasan yang menjadi dasar gencarnya sosialisasi pencegahan perkawinan anak. Juga menjadi alasan bahwa perkawinan anak ini salah satu penyebab kualitas generasi yang rendah.

Namun benarkah demikian?
Kesimpulan di atas tidak sepenuhnya tepat. Karena jika dilihat lebih dalam faktor utama stunting adalah rendahnya akses terhadap makanan bergizi yang erat kaitannya dengan faktor kemiskinan. Jika berbicara faktor kemiskinan maka ini jangkauannya sangat luas.

Ditinjau dari sisi penyediaan lapangan kerja beserta gaji yang layak dan dari sisi sistem perekonomian menjadi faktor penting mendefinisikan kemiskinan. Dalam hal ini stunting bukan hanya disebabkan oleh perkawinan anak namun faktor paling dominan penyebab stunting adalah kemiskinan.

Perkawaninan anak usia dini juga dinarasikan merampas hak anak. Banyak kalangan yang mengkampanyekan mencegah perkawinan anak termasuk BPFA.

BPFA merilis, yang menjadi salah satu dari 12 titik kritis adalah perkawinan anak. BPFA ingin menghapuskan perkawinan anak untuk mencegah anak dari resiko kekerasan seksual serta mewujudkan hak kebebasan anak perempuan termasuk hak seksual dan reproduksi.

Narasi global yang diangkat oleh BPFA tentu keliru, karena sesungguhnya yang menjadi penyebab tingginya perkawinan anak adalah budaya liberalisme yang menganut paham kebebasan. Beberapa fakta di daerah seperti DIY misalnya, menunjukkan bahwa tingginya pengajuan dispensasi nikah disebabkan karena banyaknya kehamilan yang tidak diinginkan. Fenomenana ini terjadi akibat pergaulan bebas.

Data yang terungkap di DIY terdapat 700 dispensasi nikah yang dikabulkan pengadilan negeri sepanjang 2020 , dan 80% nya disebabkan kehamilan di luar nikah. Pergaulan bebas ini sudah sangat meresahkan. Akibat pergaulan bebas ini pula banyak sekali remaja melakukan aborsi sehingga data angka aborsi di Indonesia terus meningkat.

Sejatinya, akar dari berbagai persoalan remaja saat ini adalah liberalise ITU sendiri. Dalam islam, jika wanita dan laki-laki sudah baligh maka sudah diperbolehkan menikah. Namun dengan  ide liberalisme yang dianut masyarakat hari ini, perkawinan anak usia dini menjadi problem yang pelik.

Banyak anak yang menikah di usia belasan tahun akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Bukan karena memang benar-benar siap menajalani kehidupan rumah tangga. Sehingga memunculkan banyak problem, mulai dari kemiskinan, stunting, hingga rendahnya kualitas generasi.[]

Comment