Oleh : Jumarni Dalle, SKM.,S.H, Mahasiswi Pascasarjana Syariah/Hukum Islam
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Korupsi di Indonesia sudah menjadi simptom penyakit serius. Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110.
Pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global. Menurunnya IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu.
Sedangkan menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 533 kasus.
Mirisnya, korupsi bukan hanya dilakukan oleh kalangan pejabat publik, birokrasi, pihak swasta, dan politisi saja, tetapi juga oleh kelompok akademisi di lingkungan perguruan tinggi. Bahkan telah menyeret beberapa oknum pimpinan tertinggi di kampus.
Nurul Ghufron seperti ditulis kompas (27/8/22) mengungkapkan bahwa Perguruan Tinggi ikut menyumbang 86 persen koruptor. Terbaru, sebagaimana diberitakan sindonews (5/6/2023), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menutup total 23 kampus di Indonesia karena melakukan praktik jual beli ijazah dan pembelajaran fiktif, serta melakukan penyelewengan dana KIP kuliah.
Kepentingan Saling Bersambut
Pakar sekaligus pengamat pendidikan, Darmaningtyas menyebutkan tiga alasan utama mengapa sikap korup tumbuh di lingkungan kampus.
Pertama, proses pemilihan rektor atau dekan yang sarat dengan muatan politis. Pemilihan kerap diwarnai dinamika saling menjatuhkan antarcalon dan saling lobi ke penentu suara sehingga akan berpotensi memunculkan politik balas budi sebagai ‘imbalan’.
Kedua, posisi rektor atau dekan dianggap sebagai jabatan politis yang juga membawa konsekuensi ekonomi dan sosial tinggi. Dengan gaji terbatas, mereka harus memberikan sumbangan besar di kegiatan acara tertentu demi membangun relasi sehingga secara potensial tindakan korupsi bisa terjadi untuk memenuhi kebutuhan ini.
Ketiga, program penerimaan mahasiswa baru (PMB) jalur mandiri, khususnya di PTN, yang sangat rentan dan berpotensi menjadikan kampus sebagai lahan ‘basah’ untuk praktik korupsi. Celah ini memungkinkan terbukanya praktik suap oleh orang tua mahasiswa yang mampu membayar harga tinggi demi kuliah anaknya di PTN bergengsi.
Adanya habits buruk yang terjadi di sebagian kampus bagai gayung bersambut dengan mahasiswa yang orientasinya berbasis nilai. Apalagi untuk mahasiswa yang kuliah hanya untuk mencari ijazah dan gelar sebagai modal kerja.
Pola pendidikan seperti ini akhirnya berefek buruk ke masa depan. Bagi mereka, uang bisa membeli segalanya. Alhasil, ketika mereka mendapatkan jabatan, maka dengan mudahnya pun mereka menyeleweng.
Masalah ini sejatinya menunjukkan gagalnya sistem pendidikan yang tengah diterapkan. Kurikulum pendidikan terus direvisi, diperbaiki. Namun faktanya tetap tidak mampu membendung arus kerusakan generasi. Generasi yang lahir kurang empati, tidak amanah, hingga menjadi kaum pembebek kepribadian Barat, jadi generasi materialistis dan liberal.
Terlebih lagi setelah hadirnya Kurikulum Merdeka dengan pembelajaran yang berorientasi siap kerja, tanpa pembinaan bekal yang intensif dan sungguh-sungguh. Semua ini akhirnya menjadikan output pendidikan jauh dari agama. Jikalau kondisi pendidikan rusak seperti ini, maka bagaimana dengan kondisi Pendidikan kita di masa yang akan datang?
Solusi Tuntas
Dengan realitas sistem pendidikan seperti ini, jelas korupsi di dunia pendidikan tak akan pernah berhenti, bahkan ke depan semakin menjadi-jadi. Karena itu butuh solusi tuntas dengan mengubah sistem pendidikan dan mengacu pada sistem pendidikan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, yaitu pendidikan berlandaskan akidah. Dengan iman yang kokoh akan menjadi benteng dari godaan sehingga ketika mendapat amanah, mereka takkan berani melakukan korupsi karena mereka memahami bahwa setiap amanah akan diminta pertanggung-jawaban oleh Allah swt.
Namun demikian, jika ditelisik kita akan menemukan bahwa mengubah sistem pendidikan saja tidak cukup. Perlu seperangkat aturan yang mampu mendukung pembentukan pribadi yang baik. Korupsi akan terus tumbuh tanpa penerapan hukuman sanksi tegas yang berefek jera.
Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Tentunya semua ini akan terwujud dengan dukungan sistem pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai landasan dalam mengambil kebijakan.[]
Comment