Perguruan Tinggi, Tak Luput dari Kapitalisasi?

Opini521 Views

 

 

Oleh : Nurul Azimah, Guru

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kapitalisasi pendidikan begitu masif terjadi di negeri ini. Tak terkecuali di ranah perguruan tinggi. Kasus pembelajaran fiktif, praktik jual beli ijazah, penyimpangan pemberian bea siswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KPI-K) serta adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif. Inilah beberapa hal yang menyebabkan Kemendikbudristek mencabut izin 23 perguruan tinggi swasta yang tersebar di berbagai daerah.

Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek ) Kemendikbud Ristek, Lukman mengatakan, pencabutan izin operasional 23 perguruan tinggi dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kerja. Berdasarkan data tersebut diputuskan sanksi bagi perguruan tinggi yang terbagi dalam beberapa klasifikasi, mulai dari sanksi ringan, sedang, berat hingga pencabutan izin operasional.

“Dilakukan bertahap berdasarkan bukti, fakta dan data yang ditemukan dilapangan,” kata Lukman saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/5/2023).

Pencabutan izin operasional perguruan tinggi akibat praktik-praktik yang tidak memenuhi standar perguruan tinggi pada hakikatnya telah merusak tujuan pendidikan itu sendiri. Perguruan tinggi yang seharusnya membentuk lulusan-lulusan yang memiliki kompetensi dan karakter yang berkualitas tinggi, faktanya membiarkan praktik-praktik curang tersebut.

Di tengah paradigma kapitalis -sekuler yang melandasi sistem pendidikan kita saat ini, hal tersebut wajar terjadi. Sistem pendidikan berlandaskan kapitalisme hanya berorientasi pada materi. Konsep bisnis, permintaan dan penawaran, dimana perguruan tinggi mencari keuntungan, disisi lain mahasiswa mengejar ijazah untuk memudahkan mereka mendapatkan pekerjaan. Maka wajar idealisme pendidikan yang mengharuskan terwujudnya pemahaman atas ilmu menjadi hilang.

Pendidikan kapitalis-sekuler diarahkan untuk kepentingan ekonomi, bukan semata-mata untuk mendapatkan ilmu, apalagi untuk pembentukan karakter. Tak heran praktik-praktik curang menjadi fenomena yang secara tidak langsung dilegalkan oleh perguruan tinggi.

Dengan konsep ini, yang paling diuntungkan adalah para pengusaha atau pemilik modal yang menanamkan modalnya di sektor pendidikan.

Keputusan pemerintah mencabut izin perguruan tinggi yang bermasalah adalah suatu keharusan. Namun pencabutan tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan pendidikan selama masih bertahan dengan paradigma kapitalis-sekuler. Karena faktanya kebutuhan akan perguruan tinggi masih tinggi. Jika pemerintah menutup sebagian besar perguruan tinggi, maka peluang bagi generasi untuk kuliah akan semakin berkurang. Sangat disayangkan negara dalam sistem kapitalisme kehilangan jati dirinya sebagai peri’ayah atau pengurus umat.

Negara seharusnya mampu menyediakan instansi pendidikan yang memadai dan berkualitas bagi rakyatnya. Namun kenyataannya negara menyerahkan pengurusan hal tersebut kepada swasta. Bahkan negara mendorong masyarakat, termasuk koorporasi untuk berpartisipasi aktif mendirikan sekolah meski berbiaya tinggi. Negara hanya menjadi regulator atau pembuat aturan bagi kepentingan siapapun yang ingin mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan. Artinya negara memberi kemudahan dalam mendirikan sekolah maupun perguruan tinggi tanpa persyaratan yang berbelit. Hal inilah yang menjadi celah terjadinya praktik ilegal dalam sistem pendidikan kapitalis.

Pendidikan sekuler -kapitalis sangat berbeda dengan pendidikan Islam . Dalam Islam negara berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya termasuk layanan pendidikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.

Semua individu harus dapat mengakses layanan pendidikan dasar dan menengah secara cuma-cuma. Negara juga harus membuka kesempatan seluas mungkin bagi rakyat yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Negara wajib menyediakannya dengan fasilitas sebaik mungkin. Semua ini terjadi karena Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan primer masyarakat.

Dalam pandangan Islam, kebutuhan primer mencakup 2 hal yaitu kebutuhan bagi tiap individu rakyat dan kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan primer bagi tiap individu adalah sandang, pangan dan papan. Ketiganya merupakan “Basic need” bagi tiap individu. Adapun kebutuhan primer rakyat secara keseluruhan adalah sandang, pangan, keamanan, kesehatan dan pendidikan.

Islam memiliki politik ekonomi yang menjamin terpenuhinya semua kebutuhan primer setiap individu termasuk layanan pendidikan. Dengan politik ekonomi Islam, pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya dapat terealisasi secara menyeluruh. Negara akan mencegah berbagai upaya menjadikan pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.

Islam menetapkan seluruh biaya pendidikan berasal dari baitul mal yang bersumber dari pos fai dan khoroj, serta pos kepemilikan umum.

Jika sumber dari baitul maal tidak mampu menutupi biaya pendidikan, negara akan memotivasi kaum muslim untuk memberikan sumbangan secara suka rela. Jika sumbangan kaum muslimin belum mencukupi, kewajiban pendidikan beralih kepada seluruh kaum muslim yang mampu.

Begitulah Islam memberikan solusi bagi setiap permasalahan umat. Wallahu a’lam bishshowab.[]

Comment