Perempuan Antara Keamanan dan Kemandirian Finansial

Opini167 Views

 

Penulis: Devy Rikasari, S.Pd | Anggota Komunitas Pena Dakwah Karawang

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Beberapa dekade terakhir ini, ramai dibicarakan tentang narasi kemandirian finansial bagi perempuan. Perempuan harus mandiri secara finansial (dengan bekerja atau berwirausaha) agar kehidupannya lebih sejahtera, tidak bergantung kepada suami dan bisa berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal di kemudian hari.

Sebagai contoh ketika seorang kepala keluarga tiba-tiba meninggal dunia sementara anak-anak masih kecil dan masih membutuhkan biaya besar untuk melanjutkan hidup, untuk pendidikan dan lain-lain. Maka narasi kemandirian finansial ini sering dilontarkan. Coba kalau istri punya penghasilan sendiri, maka bisa berjaga-jaga saat kondisi tersebut terjadi.

Narasi ini merupakan bagian dari kesetaraan gender yang menjadi salah satu program rencana pembangunan, dalam SDGs (Suistainable Development Goverments).

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, perempuan yang mandiri secara finansial akan mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu, seperti ditulis antaranews.com (22/3/2022) pihaknya menjelaskan prioritas pertama Kementerian PPPA pada masa Jokowi 2020-2024 adalah memberdayakan perempuan dalam usaha yang responsif gender.

Kita juga dapat menyaksikan secara langsung bagaimana kehidupan para perempuan yang bercerai dengan suaminya lantas harus banting tulang menafkahi diri dan anak-anaknya. Fakta-fakta ini seolah mengamini narasi kemandirian finansial bagi perempuan.

Salah satu fakta yang cukup miris terjadi pada Maret lalu di mana seorang ibu bekerja hingga meninggal dunia demi menghidupi anaknya. Sementara sang ayah sebagaimana ditulis tribunnews.com (5/3/2024), pergi dan memilih menikah lagi.

Lantas benarkah jika perempuan mandiri secara finansial maka pasti sejahtera dan lebih baik kehidupannya?

Narasi kemandirian finansial ini sebenarnya bukti kegagalan sistem kapitalisme-sekuler dalam menyejahterakan manusia, termasuk di dalamnya perempuan.

Sistem ini gagal melakukan distribusi kekayaan yang merata kepada seluruh rakyatnya sehingga yang menikmati kekayaan tersebut hanya segelintir orang yang terkait dengan kekuasaan dan para pemilik modal. Sementara itu rakyat secara keseluruhan berebut sisa kekayaan seperti berebut remahan roti.

Belum lagi gagalnya sistem ini menghadirkan jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang murah bahkan gratis, sehingga penghasilan yang hanya remahan itu pun harus dialokasikan lagi untuk biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi.

Keadaan itu semakin diperparah dengan pajak yang tinggi dan tingginya harga-harga sembako, listrik, serta kebutuhan lainnya. Rakyat bagaikan peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga”.

Kondisi ini semakin diperparah dengan pola pikir sekulerisme yang menjangkiti para lelaki. Banyak di antara kaum adam yang minim rasa tanggung jawabnya dalam menafkahi anak-anaknya setelah bercerai dari istrinya.

Walhasil, kita temukan fakta seorang ibu sibuk mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya sementara sang mantan suami malah menikah lagi dan seolah lupa kepada tanggung jawabnya.

Narasi kemandirian finansial ini ibarat oase di tengah gurun pasir. Padahal senyatanya ia adalah racun yang menghancurkan kaum perempuan itu sendiri. Islam tidak pernah memberi tanggung jawab nafkah kepada perempuan.

Jangankan untuk menafkahi orang lain, menafkahi dirinya sendiri pun tak wajib. Seorang perempuan selamanya dijamin keamanan finansialnya melalui mekanisme nafkah.

Dalam Islam, seorang wanita wajib dinafkahi oleh walinya (ayahnya atau kerabat lelakinya) jika dia belum menikah. Setelah menikah, kewajiban nafkah ini beralih kepada suami. Jika di kemudian hari sang suami meninggal, maka nafkah dirinya kembali kepada walinya.

Sementara anak-anak sepeninggal suaminya menjadi tanggungan kerabat suaminya. Namun jika terjadi perceraian, nafkah anak tetap ditanggung sang ayah. Demikian sehingga seorang wanita tidak pernah dibebankan untuk bekerja sampai-sampai menjadi tulang punggung keluarga.

Negara dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat). Rasulullah saw bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Dalam menjalankan perannya, negara bahkan dapat memaksa pihak wali atau suami untuk menafkahi si perempuan dan anak-anaknya jika mereka enggan. Namun jika suami atau wali atau kerabat lelakinya tidak mampu menafkahi si perempuan, maka kewajiban ini diambil alih oleh negara. Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa (mati) meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya, dan barangsiapa (mati) meninggalkan tanggungan, maka kami yang menjaminnya. [HR. al-Bukhari)

Mekanisme ini berjalan sejak Rasulullah menerapkan sistem Islam di Madinah dan dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya. Sistem pemerintahan Islam menjamin kesejahteraan seluruh individu rakyatnya, bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki dan anak-anak, muslim dan juga nonmuslim.

Adapun kewajiban nafkah tidak menjadikan seorang suami dapat bersikap superior kepada istrinya, lantas bertindak semena-mena. Justru kedudukan istimewa dimiliki seorang perempuan, di mana keamanan finansialnya dijamin dengan mekanisme nafkah ini.

Pernah suatu ketika istri Abu Sufyan mengadukan sikap suaminya yang pelit, maka Rasulullah mengijinkannya untuk mengambil nafkah yang cukup dari suaminya secara diam-diam.

Demikianlah Islam mengatur soal penafkahan sehingga sejatinya narasi kemandirian finansial tidak pernah dan tidak perlu ada jika islam kaffah  diimplementasikan dalam semua lini kehidupan.

Sungguh kita semua tentu merindukan sistem yang memanusiakan manusia ini, karena sejatinya perempuan adalah tulang rusuk bukan tulang punggung. Seharusnyalah ia dilindungi, diayomi dan dinafkahi, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment