Penulis: Azizah Nur Fikriyyah | Mahasantriwati Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Merujuk laporan statistik Indonesia per Mei 2023, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus. Angka ini meningkat 15% dari tahun sebelumnya yang mencapai 447.743 kasus.
Mayoritas kasus perceraian pada 2022 merupakan cerai gugat sebanyak 338.358 kasus atau 75,21% dari total kasus perceraian. Sisanya (127.986 kasus atau 24,79% kasus) merupakan cerai talak. Kasus perceraian menjadi angka perceraian tertinggi yang terjadi dalam enam tahun terakhir.
Menurut sumber yang lain, kasus perceraian di Indonesia terbilang tinggi karena setidaknya ada 516.000 pasangan yang bercerai setiap tahun. Sementara angka pernikahan semakin menurun – dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun.
Hal itu disampaikan oleh Dirjen Kementerian Agama Prof. Dr. Kamarudin Amin dalam agenda rakornas Badan Amil Zakat Nasional atau BAZNAS 2023 di Jakarta, Kamis(21/09/2023).
Dikatakan pula bahwa penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah percekcokan, meski perceraian akibat KDRT hanya 6 ribuan angkanya semakin meningkat dari tahun ke tahun.(Republika.co.id)
Banyaknya kasus perceraian adalah bukti nyata kegagalan kehidupan sekulerisme kapitalistik mengatur masyarakat. Kehidupan yang jauh dari agama menciptakan masyarakat hanya mencari kesenangan kenyamanan dan kebebasan.
Pernikahan pun dipandang sebagai sarana untuk melampiaskan hasrat fisik semata. Kehidupan sekulerisme kapitalistik juga tidak menjadikan generasi sadar mempersiapkan pernikahan dengan ilmu. Mereka justru hanya menilai dari segi tampang, kemapanan dan rasa cinta atau bahkan didasari oleh perintah orang tua atau hanya sekedar dorongan kecukupan umur.
Semua terjadi tak lepas dari pada sistem kehidupan yang saat ini menguasai dunia yakni kapitalisme sekuler yang tidak mengindahkan agama sebagai landasan kehidupan. Maka, ini menjadi hal yang wajar terjadi di Indonesia dan berbagai negeri muslim lainnya.
Data global menunjukkan bahwa Amerika Serikat sendiri pun termasuk negara yang banyak kasus perceraian. Pada 2021, total kasus 689.308 perceraian terjadi dalam setahun. Dan yang tertinggi adalah Jepang. Menurut data, lebih dari 90% perceraian di jepang diselesaikan melalui kesepakatan.
Selama pasangan menyetujui perceraian serta pembagian harta benda, hak asuh anak dan lainnya, maka perceraian bisa dilakukan tidak harus melalui pengadilan atau melibatkan pengacara.
Dikutip dari Global Divorce Statistics, bahwasannya orang dewasa di Amerika Serikat 52% menganggap perceraian itu dapat diterima dan 15% percaya bahwa perceraian itu mungkin terjadi tanpa adanya alasan yang serius.(advokatsmart.no)
Pernikahan seolah-olah menjadi momok bagi sebagain generasi muda, bagi mereka yang tidak siap berkomitmen, atau bahkan bagi mereka yang menganggap ikatan keluarga mengekang kebebasan. Maka tidak sedikit yang pada akhirnya memutuskan untuk melajang (waithood).
Jika melajang namun tetap berada dalam ketaatan kepada Allah sambil terus menerus menimba ilmu dalam rangka mempersiapkan diri untuk membina rumah tangga, tentu qda baiknya dan memang begitulah seharusnya. Namun yang menjadi masalah adalah bagi mereka yang tetap melajang tapi menjalin interaksi yag tidak seharusnya dengan lawan jenis, seperti berzina atau bahkan kohabitasi (kumpul kebo).
Konsep kapitalisme menganggap sesuatu itu harus ada manfaat secara materi. Sehingga ketika pernikahan itu dirasa sudah tidak ada manfaat, mereka mudah memutuskan untuk bercerai.
Ketika terjadi perselingkuhan mudah sekali melakukan kekerasan. Inilah penyebab keroposnya bangunan pernikahan saat ini. Oleh karena itu perceraian bukan hanya masalah individu yang bisa diselesaikan dengan penyuluhan pranikah di KUA saja namun sudah menjadi masalah sistemik. Sehingga penyelesaiannya pun harus sistemik.
Satu-satunya konsep yang mampu mencetak pasangan suami istri yang akan memuliakan peradaban hanyalah dengan diterapkannya aturan Islam.
Meski perceraian itu dibolehkan dalam syariat Islam, akan tetapi perceraian itu sangat dibenci Allah ﷻ dan rasul-Nya. Sebab perceraian bukan saja memutus hubungan pernikahan suami istri melainkan berisiko besar menyebabkan konflik dan renggangnya hubungan antardua keluarga yakni dari pihak suami dan pihak perempuan. Bahkan perceraian berdampak besar bagi anak-anak. Sebab mereka tidak akan bisa lagi mendapati kehangatan keluarga yang utuh dalam satu atap.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Perkara halal yang sangat dibenci ﷻ ialah talak (cerai).” (Kasyful Ghummah, halaman. 78, jilid 2).
Maka ketika lelaki dan perempuan menikah berkomitmenlah untuk menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi tanpa berujung talak (pihak suami yang mencerai istri) atau pun khulu’ (pihak istri yang meminta gugat cerai pada suami).
ُ
Rasulullah ﷺ bersabda: “Kawinlah kalian dan janganlah kalian bercerai, karena sesungguhnya perceraian itu menggetarkan Arasy.” (Kasyful Ghummah, halaman. 79, jilid 2).
Islam memiliki pandangan khas mengenai sebuah pernikahan. Pernikahan dalam Islam disebut sebagai ‘perjanjian agung’ dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 21. Artinya, pernikahan bukanlah perjanjian yang bisa dipermainkan dan bisa diambil dengan sembarangan tanpa ada persiapan.
Tidak hanya itu, dalam Islam pernikahan juga memiliki tujuan yang jelas lagi mulia yaitu sebagai sarana agar kehidupan masyarakat tetap dalam kesucian dan kemuliaan mewujudkan jalinan cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati atau Sakinah.
Allah swt. berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21)
Membentuk rumah tangga sesungguhnya merupakan bagian dari syariat. Untuk itu, Allah menggariskan sejumlah hukum agar dalam menjalankan biduk rumah tangga senantiasa dalam petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah membebankan kewajiban kepada laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) dan kaum perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt. Kewajiban ini merujuk pada syariat yang Allah tetapkan.
Allah swt. berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS An-Nisâ: 34).
Lalu hadiys dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan diminta pertanggung-jawaban, seorang imam adalah pemimpin dan ia nanti akan dimintai pertanggungjawaban, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia nanti akan diminta pertanggungjawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia nanti akan diminta pertanggungjawabannya.”
Hanya saja yang perlu dipahami konsep-konsep ini tidak akan bisa serta merta dijalankan individu dengan sempurna tanpa ada peran negara. Maka Islam memerintahkan agar negara juga turut mengambil peran untuk menciptakan generasi berkualitas.
Untuk merealisasikannya, negara menerapkan konsep pendidikan Islam. Hasil dari pendidikan Islam adalah generasi yang memiliki kepribadian Islam. Mereka memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan tuntunan syariat.
Tak hanya itu, pendidikan Islam juga membekali generasi dengan ilmu alat kehidupan. Sehingga mereka mampu memenuhi dan menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia. Wallahu a’lam bishshawab. []
Comment