Perangkap Pembenaran

Opini234 Views

 

Penulis: Ibnu Rusdi | Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Barangkali kita sering terlibat dalam cangkrukan ringan bersama kerabat, sahabat, atau kolega di lingkungan kerja. Di antara beragam topik yang hangat-hangat kuku, boleh jadi terhalau pada pernyataan-pernyataan riskan. Masuk sensitivitas perkara hukum agama yang membutuhkan sikap cukup berhati-hati.

Misalnya beberapa fragmen sebagaimana berikut ini:

Ilustrasi Satu: Saat menyepakati simpulan betapa hasil pembangunan di lingkungan kita berkualitas buruk. Sementara kita tahu plafon dananya cukup tebal. Ada yang lantas mengungkapkan pernyataan: “Ambil untung ya ambil untung. Asal jangan keterlaluan. Mana ada sih zaman sekarang orang yang benar-benar bersih ….”

Iluatrasi Dua: Membandingkan dua orang profil perempuan. Yang satu berjilbab tapi cerewetnya suka torehkan luka di hati lawan bicara. Satunya lagi senang busana ketat tapi pembawaannya santun. Salah seorang yang terlibat ‘diskusi’ lalu berkomentar: “Tampilan luar memang tidak penting. Yang penting bagaimana hatinya.”

Ilustrasi Tiga: Berbincang tentang kebiasaan suap-menyuap yang semakin mengakar. Jika urusan mau lancar, selain pintar diplomasi, perlu dana pelumas untuk meja-meja pemegang kunci. Di penghujung percakapan, ada yang buat kesimpulan, “Memang sudah zaman uang. Tokoh-tokoh agama saja ada yang hanyut. Timbang posisi-posisi strategis dipegang kalangan nonMuslim, mending kita ikuti permainan.”

Pernyataan senada dengan di atas sering kita dengar. Dalam banyak peristiwa, dengan berbagai variasi pengungkapannya. Sebuah ekspresi “penyerahan” atas kemana angin berhembus kencang. Baik yang mengungkapkan pernyataan maupun para pendengarnya, sepenuhnya sama-sama menyadari itu semua sekedar jurus pembenaran. Bukan klausul kebenaran.

Alhasil, sejatinya respon yang dibimbingkan Islam terhadap ragam kasus di atas, dan peristiwa-peristiwa semisalnya sudah sangat transparan. Tidak lagi menyisakan keraguan yang menimbulkan rasa setengah hati untuk mengambil sikap.

Pelajaran untuk peristiwa pertama (Ilustrasi Satu) misalnya. Pernyatan tersebut mengandung dua kesalahan:

Pertama, boleh berlaku curang asal tidak keterlaluan (“Ambil untung ya ambil untung. Asal jangan keterlaluan”). Padahal Syariat Islam melarang kita ghasab, semisal meminjam sandal sekalipun untuk ambil wudlu tanpa lebih dulu meminta izin pada pemiliknya. Logikanya, jika meminjam sesuatu tanpa permisi sudah terlarang, lebih-lebih berlaku curang walau amat sedikit, apatah lagi khianat yang banyak dan berulang.

Kekeliruan kedua, kesimpulan bahwa zaman sekarang tidak ada orang yang full jujur, dalam pengertian “semua” orang pasti pernah melarutkan dirinya dalam mengambil hak orang banyak (“Mana ada sih zaman sekarang orang yang benar-benar bersih”). Secara teori Rasulullah saw menggambarkan tentang masa fitnah akhir zaman. Kutipan mafhum dari beliau: “… (pada masa itu) orang berkhianat diberi kepercayaan, sementara orang yang dapat dipercaya justru ditinggalkan.” Hal ini mengisyaratkan, di zaman penuh muslihat dan pengkhianatan, meski jumlahnya amat sedikit, tetapi keberadaan orang-orang jujur pada “kategori A” dipastikan ada (Mudah-mudahan kita dalam bagiannya).

Pertanyaan kita sebagai respon bertumpuknya syubhat adalah, mengapa ini hari masyarakat mudah sekali berbuat keliru, lalu pada akhirnya menjadi terbiasa dan kehilangan kepekaan bahwa itu perbuatan salah? Jika parameternya menggunakan teori agama, jawabannya menjadi amat terang. Sumber pemicu adalah diberlakukannya sistem peraturan buatan manusia.

Jika perbuatan zina telah dibiarkan menjadi konsumsi publik, perjudian disediakan lokalisasinya, konsumsi Miras diroleransi pada kadar-kadar yang diklaim bebas bahaya, riba dilembagakan, pacaran diiklankan, perilaku korupsi terbuka celahnya, dan beragam pungutan pajak diperundangkan pada semua warga, apalagi yang tersisa dari kepedulian negara buat memelihara keimanan dan ketakwaan rakyatnya?

Obat satu-satunya mengembalikan seluruh kegemilangan manusia adalah kembali kepada Sang Pencipta. Apapun mutiara hidup yang diruntuhkan oleh masa kegelapan, lalu terbit hasrat untuk menghadirkannya kembali, bukanlah bertahan di atas pijakan yang rapuh. Bukan sekedar memperbaiki komposisi struktural tetapi bertahan dengan manajerial yang diproduksi oleh keterbatasan akal manusia. Melainkan harus kembali kepada kata kunci:

Rujuk kepada Syariat Islam. Perkara demi perkara, serta inregrasinya secara menyeluruh.

Allah memberi vonis atas diri kita: “Jika kamu (hai kaum Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (TQS al-Anfaal: 73).[]

Comment