Penulis: Irohima | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sosok ayah memiliki peran yang tak kalah penting dengan sang ibu dalam tumbuh kembang seorang anak. Ayah merupakan pelindung secara fisik maupun psikis. Kemampuan kognitif dan sosial seorang anak dipengaruhi oleh dukungan emosional yang diberikan ayah kepada anak.
Hal ini akan berpengaruh dan memberikan dampak besar bagi terbentuknya karakter unggul sumber daya manusia. Namun apakah kebijakan ‘cuti ayah’ yang tengah diusulkan merupakan upaya yang cukup untuk mewujudkannya ?
Terkait dengan peran ayah sebagai sosok penting dalam tumbuh kembang seorang anak sejak dini maka pemerintah kini sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) bagi Aparatur Sipil Negara atau ASN pria agar bisa menikmati ‘cuti ayah’ dengan melakukan pendampingan saat istri melahirkan, fase awal pasca persalinan bahkan ketika keguguran. Lamanya waktu cuti berkisar antara 15 hari sampai dengan 60 hari.
Abdullah Azwar Anas selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur sipil Negara seperti ditulis CNBCIndonesia, (14/03/2024) mengungkap bahwa dengan memberikan hak cuti ayah, maka kualitas proses kelahiran anak diharapkan berjalan dengan baik, mengingat hal itu merupakan fase penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang terbaik sejak dini.
Perkembangan generasi yang diwarnai berbagai kerusakan akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran tinggi terhadap kelangsungan peradaban. Seperti yang telah kita ketahui, generasi muda sering dikaitkan dengan kemajuan suatu bangsa. Mereka adalah generasi penerus estafet perjuangan.
Sebagai generasi penerus, pemuda memiliki peran penting sebagai ‘agent of change’ dan ‘Agent of control’ dalam membangun peradaban. Generasi yang berkualitas tentu akan mampu mengukir peradaban emas, namun jika generasi yang tumbuh adalah generasi yang tidak berkualitas dan lemah maka peradaban suatu bangsa terancam punah.
Kualitas generasi dipengaruhi oleh banyak faktor yang mengiringi perjalanan hidup seorang anak. Oleh karena itu, pembentukan generasi yang berkualitas membutuhkan supporting system yang kuat dan berkualitas sepanjang hidup anak, termasuk ayah yang berkualitas.
Mirisnya, sosok ayah turut menjadi korban sistem yang diterapkan sehingga belum berkualitas. Peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan juga sebagai panutan anak kerap tergerus dikarenakan sistem sekuler kapitalistik saat ini, di mana sosok ayah banyak disibukkan dengan mencari nafkah lahir namun lupa akan tanggung jawabnya untuk membentuk keluarga yang sehat dan ideal.
Sering kali keterlibatan ayah melakukan kegiatan bersama anak, berkomunikasi dengan anak, berbagi, mengasuh, memberi pengarahan dan selalu ada untuk anak dan lainnya terabaikan karena kesibukan bekerja ataupun karena memang tak peduli dan tidak memahami fungsi seorang ayah.
Banyak keluarga yang hancur dan anak-anak tumbuh tanpa peran seorang ayah. Belum lagi dengan berbagai pemikiran beracun dan merusak mereka seperti LGBT, judi online, pinjol, seks bebas bahkan kriminalitas yang menghantam mereka hingga membuat generasi muda menjadi mayoritas pelakunya.
Saat ini, banyak rumah tangga yang hancur karena seorang laki-laki yang gagal melakukan perannya sebagai ayah dan suami. Banyak anak-anak yang tak suka bahkan membenci ayahnya sendiri.
Fenomena ‘ayah gagal’ tengah menghantui banyak keluarga di Indonesia, keadaan ini diperparah oleh peran ayah sebagai pencari nafkah yang tak maksimal dan tidak didukung negara.
Sulitnya lapangan pekerjaan dan kebijakan ekonomi yang memberi peluang kerja lebih luas kepada perempuan membuat peran ayah kerap tertukar dengan sang ibu.
Penerapan sistem kapitalis telah membuat negara melempar tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok individu bertumpu pada keluarga secara mandiri. Sehingga jika suami tak mampu mencukupi maka istri atau anggota keluarga yang lain harus membantu.
Dari sini kerusakan generasi bermula, demi membiayai hidup yang mahal dalam kapitalisme, ayah dan ibu sibuk mengais rupiah dan lupa akan tanggung jawab membina dan mendidik buah hatinya.
Cuti ayah memang sebuah hal yang diperlukan, namun bukanlah solusi mendasar yang menyentuh akar permasalahan. Pemberlakuan cuti ayah tak bisa menjamin peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena upaya menyiapkan SDM dengan keunggulan tinggi tidak cukup hanya dengan 15, 30 atau 60 hari.
Butuh peran ibu dan ayah yang optimal untuk mewujudkannya, karena ayah dan ibu merupakan keluarga yang menjadi titik awal pembentukan generasi.
Generasi hebat lahir dari keluarga yang memiliki ketahanan, di mana seorang ayah mampu bertanggung jawab memenuhi kebutuhan fisik, naluri dan akal keluarganya.
Sayangnya kapitalisme tidak akan pernah bisa membentuk ketahanan keluarga, terbukti dengan masih banyaknya persoalan keluarga yang tak kunjung selesai hingga saat ini ditambah dengan kerusakan generasi yang makin menjadi.
Islam sebagai agama yang sempurna, telah menempatkan posisi ayah sebagaimana mestinya. Ketahanan keluarga akan senantiasa diupayakan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan ideal.
Islam menjaga peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Islam juga memfasilitasi dan menyiapkan setiap laki-laki agar mampu menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, suami dan ayah.
Dalam perannya sebagai periayah, negara dalam konsep Islam juga memberlakukan sistem ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pemberian jaminan kesejahteraan oleh negara akan membentuk ekonomi keluarga yang kokoh hingga para ayah tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dengan sangat baik tapi juga berkualitas.
Dengan begitu waktu ayah tak akan tersita dengan kegiatan mencari nafkah saja tapi bisa membersamai, mengasuh, dan mendidik anak secara paripurna hingga SDM yang luar biasa bukan impian semata. Wallahu a’lam bisshawab.[]
Comment