Oleh: Farah Sari, A. Md, Aktivis Dakwah Islam
_____
RADARINDONESIA NEWS.COM, JAKARTA — Dikutip dari laman Tempo.Co (29/8/22), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Rabu, 24 Agustus 2022, menyebutkan bahwa belanja dana pensiun PNS sepenuhnya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN.
Dalam kesempatan berbeda, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkapkan tahun ini APBN dialokasikan sebesar Rp 136,4 triliun untuk membayar uang pensiun PNS.
Kondisi ini, kata Sri Mulyani, dinilai membebani APBN dalam jangka panjang.
Skema yang digunakan untuk pensiunan PNS diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Dana pensiun PNS diambil dari gaji yang dipotong per bulannya. Skema penghitungan pensiunan PNS memang menggunakan sistem pay as you go, yakni hasil iuran 4,75 persen dari gaji ASN dan dana dari APBN.
Melansir laman resmi PT Taspen, Program Pensiun adalah penghasilan yang diterima oleh penerima pensiun setiap bulan sebagai jaminan hari tua dan penghargaan atas jasa-jasa Pegawai Negeri selama bertahun- tahun bekerja dalam dinas Pemerintah.
Artinya uang pensiunan tidak sepenuhnya berasal dari APBN. Tapi juga berasal dari gaji pegawai yang dipotong selama bekerja. Di satu sisi, sudah seharusnya negara mengembalikan potongan uang tersebut pada pegawai yang sudah pensiun/tidak bekerja lagi. Karena uang itu adalah hak mereka.
Fokus pembahasan kita pada poin bahwa kewajiban penguasa adalah mengurus rakyatnya. Dana pensiun menjadi penting bagi mantan PNS karena khawatir akan keberlangsungan pemenuhan kehidupanya dan keluarganya.
Artinya, jika demokrasi saat ini bisa menjamin kebutuhan hidup rakyat baik saat bekerja atau sudah pensiun. Maka dana pensiunan tidak penting lagi bagi mereka. Karena inti masalah ada pada terjaminnya kebutuhan hidup.
Pertanyaannya, sudahkah sistem demokrasi liberal mampu mewujudkan hal tersebut? Jawaban sudah pasti belum. Bahkan sistem ini tidak akan mampu merealisasi tujuan itu.
Rasullah Saw bersabda: Setiap imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda, Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. (HR Abu Nu’aim). Di hadis lainnya Rasulpun bersabda, Barang siapa diserahi ke kuasaan untuk mengurus manusia, lalu menghindar (meng elak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkan nya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR Ahmad).
Hal di atas menggambarkan bagaimana posisi dan tanggung jawab seorang pemimpin/penguasa terhadap rakyatnya dalam pandangan islam. Sangat kontras dengan sistem demokrasi saat ini dalam kaitan mengurus rakyat. Tanggung jawab, pelayanan dan pengurusan itu ibarat mimpi yang tidak mungkin menjadi kenyataan.
Penggunaan dana APBN misalnya. Ketika digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat dengan mekanisme yang tepat (sesuai islam) tidaklah manjadi beban bagi negara. Karena negara dan penguasa wajib mengurus rakyatnya.
Sistem demokrasi liberal dan kapitalistik sendiri yang menjadikan beban hidup rakyat menjadi berat. Karena hilangnya peran negara mengurus dan menjamin kebutuhan.
Penguasa diposisikan sebagai fasilitator dan menjadi penghubung antara rakyat dan pihak penyedia barang/jasa. Rakyat sendiri yang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Mulai dari kebutuhan dasar pokok individu (sandang, pangan, papan) hingga kebutuhan pokok dasar masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, keamanan dan lainnya. Semua ditanggung oleh individu.
Dalam syariat islam negara/penguasa harus menjadi pelayanan dan pengurus rakyatnya. Tidak benar melakukan potongan terhadap gaji pegawai (PNS) atas nama tabungan pensiunan atau jaminan hari tua.
Dalam pandangan islam, upah/gaji hanya diterima ketika seseorang bekerja. Rasulullah Saw bersabda: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Tidak dikenal istilah uang pensiunan. Namun, ada negara yang tetap menjamin kebutuhan hidupnya dengan mekanisme tertentu. Meski tidak mampu lagi bekerja karena usia atau sakit dan ada tanggungan hidup (anak/istri) tidak ada wali, maka negara adalah pihak yang menjamin kebutuhannya sesuai dengan sabda Rasullulah Saw: Barang siapa mati meninggalkan harta, harta itu untuk ahli warisnya. Tetapi barang siapa meninggalkan utang atau anak isteri yang lemah (miskin) maka datanglah kepadaku, karena Aku yang akan megurusnya.
Kesempurnaan syariat islam yang diterapkan oleh negara akan mampu menjadi solusi atas kekhawatiran rakyat dalam aspek pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ketika sudah tua dan tidak mampu bekerja. Bahkan ketika meninggalkan tanggungan anak/istri yang tidak ada walinya. Semua menjadi tanggung jawab negara.[]
Comment