Oleh Eva Rahmawati, Ibu Rumah Tangga
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah mengeluarkan regulasi yang menjamin jabatan Wakil Menteri (Wamen) mendapat uang penghargaan, tertuang dalam Pasal 8 Perpres 77/2021 yang merupakan hasil pengubahan atas Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wamen. Adapun besaran bonus yang akan diterima eks wakil menteri itu sebesar Rp 580.454.000 untuk satu periode masa jabatan.
“Wakil menteri apabila berhenti atau telah berakhir masa jabatannya diberikan uang penghargaan sebagai Wakil Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian isi Pasal 8 Ayat (1) Perpres 77/2021. (Tagar.id, 30/8/21).
Sungguh memilukan, di tengah kondisi rakyat yang serba sulit. Rakyat menjerit karena kemiskinan, pengangguran, kekumuhan, kebodohan, dan seterusnya. Terhimpit dan tercekik dengan segala beban pajak dan biaya-biaya kehidupan yang terus merangkak naik. Kebijakan pemberian penghargaan bernilai fantastis tidaklah tepat.
Tidakkah para pembuat kebijakan merasakan betapa perihnya rakyat mengais rezeki. Untuk mendapatkan penghidupan yang layak, rakyat harus banting tulang dan bekerja keras. Disamping untuk memenuhi kebutuhan pokok, rakyat juga harus menanggung kewajiban yang semestinya menjadi tanggung jawab negara.
Kebutuhan pokok dasar publik yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kewajiban negara. Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan. Akan tetapi, untuk mendapatkan itu semua rakyat dipaksa berusaha sendiri. Adanya BPJS Kesehatan, sebagai bukti bahwa urusan pelayanan kesehatan diserahkan kepada rakyat. Bukankah setiap bulan rakyat membayar iuran BPJS Kesehatan?
Terkait dengan pendidikan, untuk mendapatkan pendidikan yang bagus dan bermutu, rakyat harus mengeluarkan biaya besar. Sementara pelayanan pendidikan yang disiapkan negara masih kurang. Masih banyak area terpencil yang belum terjamah oleh sarana pendidikan. Para murid dan guru kekurangan peralatan sekolah dan tempat yang memadai. Selain itu, perpustakaan juga masih belum menyebar ke banyak daerah. Ditambah dengan tenaga pendidik belum merata.
Beban rakyat semakin berat, tatkala deretan pajak harus dibayar. Diperparah keadaannya dengan masa pandemi. Mobilitas rakyat dibatasi. Ruang gerak mencari nafkah terhambat oleh aturan-aturan. Sementara rakyat hidup sengsara, pejabat dimanjakan dengan gaji, tunjangan, fasilitas lengkap, dan uang penghargaan.
Para pejabat digaji dengan uang rakyat, rakyatlah yang menjadi ‘majikan’. Alih-alih majikan mendapat pelayanan, justru sebaliknya. Masih banyak rakyat yang hidup melarat.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang.
Dengan garis kemiskinan nasional pada Maret 2020 ialah Rp 454.652 per kapita per bulan menurut BPS. Padahal, garis kemiskinan Bank Dunia adalah 1,9 dollar AS per kapita per hari atau setara Rp 798.200 per bulan (kurs Rp 14.000).
Jika menggunakan standar garis kemiskinan Bank Dunia dapat dipastikan, angka kemiskinan naik dua kali lipat. Artinya masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Maka, pemberian uang penghargaan ratusan juta di saat rakyat susah, negara benar-benar mempertontonkan hilangnya sense of crisis terhadap rakyat.
Inilah fakta pemimpin produk sistem demokrasi sekuler. Para pemimpin lebih mengutamakan kesejahteraan pejabat, sementara rakyat hidup dalam keterbatasan. Fakta ini makin menguatkan pandangan publik bahwa jabatan dan pemberian penghargaan hanya bagian dari politik balas budi dan politik kekuasaan.
Hal ini terjadi karena sistem demokrasi sekuler yang diterapkan. Dalam kontestasi sistem pemilu demokrasi selalu ada politik transaksional antara si calon dengan parpol. Biaya politik yang sangat besar, memberikan celah pemberian dukungan dari yang lain, bisa pemodal, cukong, dan sebagainya. Dukungan ini tidka gratis, akan ada imbalan ketika berhasil duduk dalam kekuasaan. Inilah yang dinamakan politik balas budi.
Wajar jika muncul fenomena pemberian kursi jabatan pemenang pemilu terhadap para pendukungnya (tim sukses). Hingga memberikan gaji atau ‘bonus’ fantastis menjadi hal biasa. Sungguh, habis manis sepah dibuang. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya, ketika sudah menang yang dipikirkan bukan menyejahterakan rakyat tetapi kesejahteraan bagi kelompok.
Jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya kata-kata manis. Faktanya dari rakyat, oleh rakyat untuk pejabat dan oligarki. Kedaulatan rakyat dielu-elukan, nyatanya tidak ada. Kini kedaulatan di tangan para pejabat. Pejabat berkolaborasi dengan oligarki inilah yang sebenarnya berdaulat di atas rakyat.
Mereka berdaulat, membuat hukum yang bersumber dari akal manusia. Hasilnya, produk hukum yang diterapkan lebih mementingkan para pejabat, pemodal dan oligarki. Sebuah keberpihakan yang sangat nampak. Sementara rakyat dipaksa tunduk dan patuh terhadap semua aturan buatan yang sarat kepentingan dan lebih mengedepankan asas manfaat.
Padahal, dalam ajaran Islam, kedaulatan untuk membuat hukum hanya ada di tangan Allah SWT. Pemimpin yang dipilih rakyat dengan baiat, untuk melaksanakan hukum Allah SWT. Maka, para pemimpin senantiasa terikat dengan hukum Syara’.
Mereka meyakini bahwa jabatan yang diembannya adalah amanah. Semua yang dilakukan terhadap rakyat akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di akhirat.
Abdullah bin Umar mengatakan, Rasulullah Saw bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang Amir adalah pemimpin. Seorang suami juga pemimpin atas keluarganya. Seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari No. 4801)
Menjadi pemimpin bukan hanya menebar janji, tapi bukti. Buktikan bahwa rakyatlah yang semestinya disejahterakan. Bukan malah pejabat yang dimanjakan. Jawab keluhan rakyat dengan kenyataan.
Sungguh harapan dan hidup penuh keberkahan dan sejahtera itu hanya dapat diwujudkan dalam naungan Islam.Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment