Pendidikan Islam Mampu Membangun SDM Berkualitas dan Berdaya

Opini333 Views

 

 

 

Penulis: Waryati | Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIA.NEWS.COM, JAKARTA  — Dunia pendidikan di Indonesia kembali dihantam permasalahan besar. Seperti kasus tindak kejahatan TPPO yang terjadi di perguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Ironisnya, pelaku kejahatan berasal dari orang penting yang berada di fakultas tersebut.

Menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah, seperti ditulis kompas.com, menyebut kasus TPPO sudah berlangsung sejak lama, hampir 15 tahun. Modus ini menyasar anak-anak tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan mahasiswa yang memiliki program magang.

Negara yang dituju untuk melancarkan modus TPPO di kalangan mahasiswa kebanyakan terjadi di Asia Timur, yakni Jepang dan Korea. Sedangkan untuk siswa SMK magang kelas tiga banyak ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, terutama di Malaysia.

Kasus yang menimpa mahasiswa Politeknik  Payakumbuh hanya salah satu yang terangkat oleh media. Itupun karena laporan ZA dan FY ke pihak KBRI Jepang. Pasalnya, mereka mencium gelagat tak baik dari perusahaan tempat mereka magang.

Saat mereka diberangkatkan dari Indonesia menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah tidak berlaku, visa mereka diperpanjang oleh pihak perusahaan menjadi visa kerja dengan perpanjangan 6 bulan.

Tak hanya masalah visa, para mahasiswa ini melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang, tetapi bekerja seperti buruh. Bekerja sehari 14 jam lamanya dari jam 8 pagi sampai jam 10 malam. Istirahat pun hanya diberikan waktu 10-15 menit dan dilarang pula melaksanakan ibadah. Sungguh ironis.

Bila merujuk pada aturan Permendikbud 03 Tahun 2020 berbunyi, untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran seharusnya 179 menit perminggu, per semester. Itu tertuang dalam pasal 19.

Di samping itu, para korban hanya mendapatkan upah sebanyak 50.000 Yen atau Rp 5 juta perbulan dan harus menyetorkan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen setara Rp 2 juta per bulan.

Menanggapi kasus ini beberapa kalangan menyinggung bahwa pihak yang harus bertanggung jawab adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Karena harusnya badan terkait menjadi satgas pencegahan TPPO paling terdepan.

Magang pada pelajar dan mahasiswa seharusnya menjadi jalan pembelajaran secara langsung. Magang jelas berbeda dengan bekerja. Pemagangan bertujuan untuk mempraktekan cara-cara atau pelajaran yang tidak didapatkan di sekolah maupun kampus. Sehinga siswa/mahasiswa mendapatkan wawasan dan pengalaman praktis mengenai kependidikan dan nonkependidikan, misalnya melakukan kegiatan rill seperti di industri agar mahasiswa memiliki kompetensi yang memadai dalam melakukan tugas sesuai bidang yang diminati.

Sayangnya, magang disalahgunakan oleh sebagian oknum rakus yang berusaha menyimpangkan program magang untuk mengeruk keuntungan. Konsep magang yang telah tersusun dengan apik nyatanya hanya sebatas teori tanpa realitas. Akibatnya, tujuan awal program pemagangan tak terealisasi dengan baik sehingga tidak mampu memberikan dampak signifikan kepada siswa/mahasiswa.

Patut diwaspadai pula program PKL yang biasa dilakukan pada siswa didik khususnya di kalangan SMK. Sejatinya pembelajaran praktis secara langsung yang harus mereka dapatkan. Faktanya justru terbalik, siswa dipekerjakan tanpa mendapat bayaran, karena dianggap sedang magang. Hal seperti ini diduga menjadi celah mengeksploitasi siswa dengan dalih PKL untuk mendapat keuntungan sendiri.

Karut marut dunia pendidikan seolah hal lazim terjadi di negeri berasaskan sekuler kapitalisme. Akibat penerapan sistem yang mendewakan materi ini, pendidikan terbukti jelas hanya mencetak manusia untuk menjadi robot industri.

Dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi pola pikir yang dibentuk kepada mereka memandang pendidikan sebatas jalan  mendapat kemudahan meraih materi. Alhasil, setelah lulus menempuh pendidikan tujuan akhirnya hanya kerja dan kerja. Dengan demikian, hasil pendidikan dalam sistem kapitalisme masih jauh dari harapan.

Berbeda hal ketika paradigma pendidikan disandarkan pada pendidikan berlandaskan Islam. Islam menjadikan sistem pendidikan terbaik sehingga mampu menyiapkan SDM berkualitas.

Pendidikan sejatinya dapat mencetak generasi unggul, generasi yang memiliki visi misi ke depan dan nampu mengembangkan potensi dirinya. Generasi yang tidak hanya hebat secara intelektual namun juga mampu menjadikan mereka sadar terkait tugas serta tanggung jawab terhadap kehidupan dan pencipta-Nya. Generasi yang berkeinginan membangun bangsanya menjadi bangsa mandiri sehingga terlepas dari intervensi asing.

Oleh karena itu, fungsi pendidikan menjadi sangat luas, tak terkecuali membangun aspek ruhiyah siswa didik. Maka fungsi dan tujuan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan Islam akan senantiasa membimbing serta mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupan sampai mencapai titik optimal.

Harapannya pendidikan dapat menumbuh kembangkan fitrah manusia dalam keimanan. Mengarahkan kemampuan akal. Menjadikan siswa didik memiliki akhlak mulia. Sifat seperti itu juga harus dimiliki oleh seorang pendidik. Karena di situlah muaranya.

Baik buruk seorang pendidik tentu akan tertular kepada siswa didik. Oleh karenanya, untuk menjadi pendidik dibutuhkan kompetensi mendasar pemahaman komprehensif tentang kehidupan sekarang dan nanti.

Dengan demikian, kasus TPPO yang terjadi sekarang tidak mungkin ada dalam sistem pendidikan Islam. Wallahu a’lam bishawwab. [SP]

Comment