Penangguhan JHT, Benarkah Bentuk Kasih Sayang?

Opini839 Views

 

 

Oleh : Fina Fauziah, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dikutip inilahkoranBandung – Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 2 tahun 2022 Tentang persyaratan pembayaran Jaminaj Hari Tua (JHT), menimbulkan polemik dan penolakan para buruh, salah satunya SPN Kabupaten Bandung. Pasalnya, SPN Kabupaten Bandung menilai dalam Permenaker No 2 tahun 2022 tersebut, mensyaratkan untuk pencairan JHT seorang pekerja harus menunggu hingga usia 56 tahun.

“Jelas kami menolak aturan tersebut, JHT itu kan tabungan pekerja. Tabungan ini sangat diharapkan oleh pekerja untuk menyambung hidup kalau belum ada pekerjaan lagi atau untuk modal usaha,” kata Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Bandung, Suharyono, Minggu 13 Februari 2022.

Apalagi, kata Suharyono, selama ini banyak buruh yang berhenti bekerja karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan juga habis kontrak kerja dengan usia jauh dibawah 56. Jika harus menunggu usia 56, paling sedikit mereka harus menunggu selama 6 tahun untuk bisa mendapatkan JHT.

Padahal, uang tersebut sangat dinanti-nantikan oleh pekerja untuk bekal usaha atau menyambung hidup sebelum mendapatkan pekerjaan baru.

“Lah kan kenyataannya banyak buruh yang diberhentikan dalam usia yang masih jauh. Misalnya diusia 40 dan 50 tahun, berarti dia harus menunggu sekitar 6 tahun. Dan itu banyak sekali buruh yang berhenti bekerja diusia yang masih jauh dari 56 tahun,” ujarnya.

Ironis, klaim pemerintah terkait penahanan uang JHT adalah bentuk sayang. Bagaimana dikata sayang, jika uang milik rakyat, ditangguhkan pemberiannya sampai 56 tahun? Lalu, pertanyaannya, akan digunakan untuk apa uang tersebut oleh negara?

Bukankah rakyat pemilik uang tersebut lebih berhak menggunakannya? Penerbitan peraturan itu memantik polemik di masyarakat. Tak sedikit yang mempertanyakan, bahkan memprotes sistem pencairan JHT setelah pemerintah melakukan perubahan aturan.

Para pekerja berasumsi bahwa mereka sangat membutuhkan dana tersebut untuk modal usaha dan melanjutkan kehidupan setelah di-PHK, tetapi jika dananya baru bisa cair di umur 56 tahun dari mana mereka akan mendapatkan modal?

Padahal JHT tersebut uangnya dari iuran yang dibayarkan dari potongan gaji pekerja. Tentu pekerja semakin sulit untuk sejahtera. Karena gajinya yang kecil masih harus dipotong untuk bermacam-macam jaminan. Memang ada pula dari subsidi perusahaan tempat bekerja.

Namun, hal tersebut juga dirasa merugikan bagi para pemberi kerja. Makanya banyak pengusaha yang kemudian terus melobi agar pemerintah bisa mengurangi beban mereka dan memang ada juga yang bersumber dari kas pemerintah pusat, namun ini jumlahnya kecil sekali. Padahal yang diinginkan oleh pekerja sebenarnya dapat hidup layak dan sejahtera. Tetapi, pada faktanya tidak demikian.

Sistem ekonomi yang bernafaskan kapitalisme telah menciptakan skenario yang berpihak kepada para kapitalis dan korporasi. Nasib buruh kian sengsara terlebih putusan undang-undang Omnibus Law. Di saat yang sama, gaji buruh masih harus dipotong atas nama jaminan hari tua, ataupun jaminan yang lainnya.

Sudah saatnya pemerintah berbenah diri dalam hal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yakni dengan mencontoh syariat Islam menyejahterakan rakyatnya.

Yang membuat sistem Islam kuat dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya adalah sistem ekonomi yang berdikari dan bebas ribawi. Dalam Islam jelas antara kepemilikan umum dan individu, sehingga hal-hal yang harus dikelola negara tidak boleh diserahkan konsensinya kepada individu maupun swasta.

Walhasil, pemerintah memiliki pendapat yang melimpah dari aspek-aspek tersebut, contohnya, sumber daya alam, hasil laut, hutan, dan sebagainya. Selain itu, negara wajib memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya secara mutlak.

Apabila dalam kondisi jompo, yang bertanggung jawab merawatnya adalah keluarganya, tetapi, jika dari pihak keluarganya kurang mampu akan dibantu oleh negara. Wallahu alam bisshowab.[]

Comment