Pemerhati Aceh: Perlu Upaya Internalisasi Nilai-nilai Keadaban dan Humanisme di Aceh

Berita488 Views
Wilson Lalengke
RADARINDONESIAEWS.COM, JAKARTA –  Kasus pembunuhan siswa SMA Negeri 2 Langsa oleh seorang pelajar SMK Aceh Tamiang baru-baru ini membuat Wilson Lalengke, pencinta dan pemerhati Aceh, merasa amat prihatin, galau dan sedih. Hal tersebut diungkapkannya, Sabtu (22/7/2018) sebagai respon atas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak di bawah umur itu, Jumat, 20 Juli 2018.
“Saya sangat sedih mendengar kejadian pembunuhan tersebut, seorang siswa dibunuh oleh siswa lainnya yang sudah direncanakan pelakunya, saya ikut berduka cita atas kematian korban, innailaihi wa innailaihi rojiun… Semoga khusnul khotimah, keluarga korban kiranya tabah dan sabar menghadapi cobaan ini,” ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu melalui pesan WhatsApp messenger-nya.
Peristiwa tragis tersebut, lanjut Ketua Umum PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) Nasional ini, merupakan cerminan adanya kondisi darurat nilai di masyarakat Aceh. “Bagi saya, kejadian itu mencerminkan keadaan darurat nilai yang sangat serius di wilayah Aceh lon sayang (red – Aceh kusayang),” imbuh Wilson, lelaki kelahiran Morowali Utara, Sulteng ini.
Dirinya mengaku sangat galau melihat fenomena seseorang yang masih anak-anak sudah berpikir dan merencanakan pembunuhan terhadap orang lain. Sungguh ironis lagi karena terjadi di wilayah Aceh yang menerapkan Syariat Islam sebagai aturan hukum positif dalam mengatur kehidupan bermasyarakatnya.
“Hal ini sangat menghawatirkan, usia anak-anak sudah melakukan tindakan pidana berat, melakukan pembunuhan berencana terhadap orang lain, di wilayah yang menggunakan sistem nilai syariah yang terkenal amat keras sanksinya (hukum kisas)  bagi pelakunya,” jelas lulusan pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris ini.
Wilson Lalengke yang sempat menjadi guru mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila selama 17 tahun di beberapa sekolah negeri dan swasta di Riau mengatakan bahwa amat mengerikan membayangkan kondisi masyarakat Aceh di generasi berikutnya. Kasus pembunuhan di Aceh hampir tiap hari terjadi, merata di semua daerah kabupaten dan kota di sana. “Saya merasa ngeri membayangkan kondisi masyarakat Aceh pada generasi berikutnya, generasi dengan kecenderungan memilih saling membunuh sebagai jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Harus ada upaya sangat serius untuk mengantisipasi keadaan lebih buruk di masa mendatang,” katanya.
Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah dan hanya di sini Syariat Islam diterapkan. Masyarakat Aceh dibangun dengan nuansa Islami sejak dahulu kala. “Patut disayangkan jika kejadian pembunuhan demi pembunuhan, dengan beragam motif dan cara, beberapa waktu ini dianggap hal biasa. Saya kira perlu dilakukan penelitian khusus terkait fenomena tersebut yaa. Selanjutnya, harus diusahakan semacam program internalisasi nilai-nilai keadaban dan humanisme berbarengan dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan Lil Alamin,” ujar Wilson Lalengke yang merupakan salah satu pendiri SMA Plus Provinsi Riau 20 tahun silam di Pekanbaru itu.
Kondisi ini, tambahnya, sangat memperhatinkan kita semua. Lembaga pendidikan tidak boleh tinggal diam, harus berupaya mencari solusi lewat kegiatan riset secara komprehensif, melibatkan berbagai disiplin ilmu, untuk menelaah dari semua sisi kehidupan kemasyarakatan dalam rangka mengatasi persoalan generasi Aceh.
“Perlu dilakukan penelitian komprehensif terkait fenomena ini. Saya amat sedih mencermati kondisi masyarakat Aceh lon sayang saat ini, dan ngeri membayangkan situasi di generasi berikutnya,” tutup Wilson yang kerap berkunjung ke Aceh dalam rangka melakukan kegiatan diklat jurnalistik bagi berbagai kalangan di Provinsi Aceh.
Sebagaimana diketahui, kasus pembunuhan yang dilakukan pelajar SMK Aceh Tamiang baru-baru ini tehadap siswa SMA Negeri 2 Langsa, yang diduga hanya gara-gara korban sering terlihat berbicara dengan pacar sang siswa terduga pembunuh, menjadi perhatian khusus, terutama oleh dunia pendidikan di Aceh. [Red]

Comment