Penulis: Maulani Asma Mardhiah |
Mahasiswi Ma’had Pengkaderan Da’i Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Seperti yang dilansir oleh situs www.disdikpora.bulelengkab.go.id bahwa terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan.
Untuk mengetahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Suatu bangsa dituntut untuk mempersiapkan pendidikan sebaik mungkin sehingga generasi penerusnya dapat diharapkan mampu menghadapi kemajuan perkembangan zaman. Baik atau tidaknya pendidikan suatu bangsa dapat dilihat dari pelaksanaan serta orientasi sistem pendidikan tersebut.
Semakin jelas arah pendidikan itu dalam tren kemajuan zaman, maka semakin tampak pula perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Idealnya penyelenggaran pendidikan memiliki dan mendukung fasilitas sarana dan prasarananya.
Akan tetapi, informasi pemberitaan media masa tentang sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia masih kurang memadai. Saat ini dunia mengalami disrupsi teknologi, perubahan ini berdampak dan telah dirasakan dalam aspek-aspek kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan.
Infrastruktur secara bahasa berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari disepadankan dengan kata prasarana. Hal ini didasarkan pada kata infrastruktur yang memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda.
Dengan demikian infrastruktur dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.
Katanya, kunci negara maju adalah pembangunan. Dinukil dari situs www.kompasiana.com bahwa kunci pembangunan adalah pendidikan. Tentu saja ini berarti bahwa pendidikan merupakan dasar sebuah negara untuk menunjang kualitas negara.
Itu berarti juga bahwa kualitas negara juga ditentukan oleh kualitas pendidikan negara itu sendiri. Kedua, di era 4.0 sekarang ini, semuanya serba digital. Teknologi sangatlah berperan penting dalam hal pendidikan.
Teknologi dapat menjadi perantara dalam berpendidikan. Contohnya saat pandemi Covid-19 lalu, sekolah dilaksanakan secara daring. Hal ini membuktikan bahwa jarak bukanlah penghalang untuk belajar dan berpendidikan.
Dilansir oleh situs www.cnnindonesia.com , Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegur Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, tentang ketimpangan infrastruktur pendidikan. Jokowi mengecek infrastruktur pendidikan di berbagai daerah saat kunjungan kerja.
Lalu ia membandingkan pembangunan pendidikan di kabupaten dengan kota. Ia mengatakan guru menghadapi tantangan berat di masa ini. Salah satunya terkait perkembangan teknologi. Pasalnya, tidak semua guru di Indonesia bisa mengakses teknologi terkini.
Dilansir pula oleh www.detik.com bahwa Presiden Jokowi mengakui penyebaran infrastruktur pendidikan belum merata.
“Kalau mungkin yang di kota-kota lebih enak, tetapi untuk guru-guru yang bekerja di daerah 3T, yang infrastrukturnya terbatas, yang fasilitasnya terbatas, yang gurunya juga terbatas, ini saya pastikan lebih berat,” ujarnya.
Kendati demikian, Jokowi memastikan pemerintah terus berupaya memberikan dukungan terbaik untuk para guru, termasuk memperjuangkan kesejahteraan para tenaga kependidikan. Pemerintah menargetkan satu juta guru ASN PPPK pada 2024.
Infrastruktur pada sektor pendidikan mungkin memang bukan segalanya. Buktinya, para peserta didik yang berdaya juang tinggi biasanya lahir dari segala keterbatasan fasilitas. Namun demikian, bukan berarti keberadaan infrastruktur pendidikan ini bisa diabaikan.
Hal itu berakibat pada pincangnya pelaksanaan pendidikan, dampaknya juga akan melebar hingga pada kualitas peserta didik, bahkan bisa terjadi secara berlarut-larut. Tentu sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa pendidikan adalah persoalan penting untuk kemajuan suatu bangsa.
Pendidikan bahkan bisa kita sebut sebagai benih bagi tegaknya peradaban. Tidak heran, sudah seharusnya pendidikan menjadi perhatian utama penguasa dalam semua aspeknya.
Demikian halnya ketimpangan infrastruktur pendidikan, yang tidak semestinya menjadi fenomena gunung es. Maksudnya, seolah tampak kecil tetapi ternyata memendam jauh lebih banyak permasalahan yang tidak disangka-sangka.
Inilah alasan akan bahaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini. Pendidikan pun ibarat barang mewah. Tidak pelak, makin lengkap infrastruktur pendidikan yang menyertai, makin mahal pula biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.
Swastanisasi pendidikan juga marak, tidak terkecuali pergantian status sejumlah perguruan tinggi negeri menjadi PTN BH (perguruan tinggi negeri badan hukum). Reputasi dan akreditasi internasional pada perguruan tinggi maupun sekolah-sekolah pun tidak ubahnya stempel untuk melegalkan harga mahal pendidikan. Begitu pula sekolah-sekolah berasrama, yang katanya mengusung konsep pendidikan terpadu nyatanya tidak bisa menghindar dari cuanisasi.
Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas ra.). Sungguh, menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Di titik ini jelas terletak urgensi untuk mengembalikan hakikat sistem pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang haram dikapitalisasi.
Penguasa pun tidak layak menjadikan pendidikan sebagai ladang kapital karena hal itu menegaskan berlepas tangannya mereka dari tanggung jawab dalam mengelola pendidikan demi kepentingan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mencermati hal ini, ketimpangan infrastruktur pendidikan juga tidak boleh terjadi. Sebabnya, infrastruktur pendidikan adalah bagian dari urusan masyarakat yang harus diselenggarakan oleh penguasa dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, bahkan tersedia secara gratis untuk semua individu rakyat.
Penguasa tidak boleh abai dengan hal ini. Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (HR Muslim).
Tidak heran sejarah mencatat di era Kekhilafahan, yang dilansir situs www.muslimahnews.id terdapat kota-kota tertentu yang menjadi pusat pendidikan, seperti Madinah, Baghdad, Damaskus, dan Al-Quds.
Warga negara muslim maupun warga negara luar yang nonmuslim berbondong-bondong melangkahkan kaki menuju kota-kota tersebut demi mereguk aliran ilmu langsung di pusat mata airnya. Namun, kota-kota tertentu yang berkembang menjadi pusat pendidikan itu bukanlah alasan untuk membuat akses pendidikan menjadi tidak merata.
Untuk itu, infrastruktur berupa sarana dan prasarana pendidikan tentu bukan hal yang perlu dipertanyakan. Riset para ilmuwan muslim itu adalah riset berbasis ilmiah yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat dunia hingga saat ini.
Demikian pula dengan berdirinya perguruan tinggi tertua di dunia seperti Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, Universitas Al-Azhar di Mesir, serta Universitas Cordoba di Andalusia, menunjukkan betapa majunya sistem pendidikan di masa Khilafah. Wallahualam bissawab.[]
Comment