Pembiasaan Hijab, Bukan Perundungan!

Opini797 Views

 

 

Oleh: Yuli Ummu Raihan, Pegiat Literasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba heboh seorang siswi kelas 10 di SMAN 1 Banguntapan Jogja mengaku dipaksa berhijab oleh guru BK di sekolah tersebut. Akibatnya siswi tersebut mengalami depresi dan sampai saat ini mengurung diri.

Yuliani, selaku pendamping siswi tersebut mengatakan kalau kasus ini terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Yuliani yang juga bagian dari Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi) DIY mengatakan, “Siswi tersebut merasa terus dipojokkan dan dipakaikan hijab oleh guru BK. Siswi tersebut merasa tidak nyaman, jadi merasa dipaksa,” ujarnya. (Detik.com, 31/7/2022)

Guru BK mengatakan, “Kalau kamu nggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab.? Hal ini yang membuat siswi merasa tertekan lalu meminta izin ke toilet dan ia menangis selama satu jam di sana.

Laporan kasus ini akhirnya sampai ke Ombudsman RI (ORI) perwakilan DIY. Kepala ORI DIY Budhi Masturi akan menelusuri dugaan perundungan dalam kasus ini. Dia menilai pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama bisa masuk kategori perundungan.

Pasca heboh kasus ini muncul cuitan yang viral di media sosial Twitter dengan menampilkan gambar para siswi yang berpakaian putih abu tanpa menutup auratnya. Seruan untuk mengembalikan seragam sekolah seperti dulu (tanpa hijab dan potongan pendek) mulai bermunculan.

Kasus ini terasa sungguh miris. Bagaimana bisa upaya amar makruf dengan membiasakan memakai hijab dinilai sebagai sebuah perundungan?

Jika mau jujur tentu kita bisa melihat niat baik guru BK atau pihak sekolah dengan menganjurkan memakai hijab adalah sebuah kebaikan, bentuk kasih sayang dan upaya preventif kemaksiatan terutama untuk para siswi. Disamping itu bukankah menutup aurat sempurna adalah sebuah kewajiban untuk setiap muslimah apabila telah baligh?

Rasanya terlalu berlebihan jika hal ini membuat seseorang menjadi tertekan, merasa dipaksa, apalagi sampai depresi. Kecuali jika hal ini dilakukan kepada siswi non muslim. Upaya pembiasaan memakai hijab ini bukanlah sebuah perundungan.

Melansir dari laman Kemendikbud RI, perundungan adalah sebuah perilaku tidak menyenangkan baik secara fisik maupun verbal yang membuat seseorang merasa tidak nyaman. Permendikbud No 82 Tahun 2015 Penanggulangan Kekerasan di sekolah menyatakan perundungan dianggap terjadi apabila seseorang merasa tidak nyaman dan sakit hati atas perilaku orang lain.

Perundungan diibaratkan benih dari banyak kekerasan lain misalnya tawuran, intimidasi, pengeroyokan, pembunuhan dan sebagainya.

Perundungan juga bisa terjadi di dunia nyata maupun maya atau disebut cyber bullying. Perundungan bisa juga berupa perundungan sosial seperti mengucilkan, membeda-bedakan, mendiamkan, dan lainnya.

Kata perundungan yang diviralkan untuk kasus ini tentu tidak tepat. Apa yang dilakukan oleh guru BK atau pihak sekolah adalah bentuk kepedulian dan bagian dari pendidikan agar para siswi khususnya senantiasa terikat dengan hukum syara’ sebagai bentuk ketaatan sebagai hamba Allah SWT.

Aturan hijab bukan untuk merugikan, menyakiti, atau merugikan seseorang. Aturan hijab seharusnya bukan hanya dikhususkan untuk sekolah berbasis agama saja, tetapi untuk semua siswi yang berstatus muslimah. Ini adalah identitas sebagai seorang muslimah yang harus selalu ditampakkan sebagai bentuk kesadaran dan ketaatan.

Aturan mengenai ini sangat jelas dalam Al-quran surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya :”Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuanmu dan perempuan mukmin, “hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka keseluruh tubuh mereka. ” Demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu.”

Bukankah ini adalah bentuk pencegahan agar seorang muslimah terjaga dari berbagai fitnah dan kejahatan hari ini? Lalu bagaimana bisa hal ini disebut sebagai sebuah perundungan?

Semua ini berakar dari sistem sekuler kapitalis yang diadopsi negeri ini. Agama dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak diterapkan secara kafah. Agama hanya dipakai untuk masalah ibadah, pernikahan, kematian dan sebagian lainnya. Agama tidak boleh dibawa- bawa dalam hal gaya hidup, kebiasaan, tren, atau aspek lain.

Hak asasi manusia (HAM) menjadi alibi manusia bebas melakukan segala hal sekali pun bertentangan dengan aturan agama. Sistem sekularisme juga menjadikan dikotomi antara sekolah agama dan umum atau negeri. Maka wajar ada wacana untuk mengembalikan aturan seragam sekolah seperti dulu lagi, terutama untuk sekolah yang tidak berbasis agama atau umum.

Moderasi agama pun membuat hal ini semakin dibenarkan. Agama dianggap ranah privasi yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Pendidikan agama mulai dikurangi, sehingga pengetahuan para siswa terkait agama yang utuh tidak tercapai. Mereka memahami kewajiban hijab, tapi hanya untuk aktivitas tertentu seperti saat beribadah atau acara keagamaan. Selebihnya mereka bebas mau berhijab atau tidak.

Kalaupun ada pelajaran agama hanya sebatas teori. Tidak sampai menjadikan sebuah pemahaman dan mengokohkan keyakinan terhadap aturan agama. Output pendidikan hari ini hanya fokus pada capaian materi, tapi minim menghasilkan kepribadian yang baik apalagi unggul dari sisi agama.

Kita harus paham dan meyakini bahwa membiasakan memakai hijab bahkan sejak dini bukanlah perundungan. Ini adalah bentuk penjagaan, pembiasaan kebiasaan baik, ketaatan, dan identitas sebagai sebagai seorang muslimah.

Benar yang dikatakan oleh guru BK tersebut, kalau bukan berhijab dari sekarang, kapan lagi? Berhijab itu tidak menunggu siap, tapi harus dipersiapkan sejak dini. Agar tidak ada seorang muslimah pun ya ngerasa terpaksa, tertekan hingga depresi saat diminta memakai hijab.

Para muslimah harus bangga dengan identitas keislamannya, di saat gempuran budaya asing yang begitu besar di negeri ini. Di sini dibutuhkan peran orang tua untuk menanamkan nilai akidah memberikan contoh agar anak-anak mengenal aturan agama mengenai kewajiban berhijab. Membiasakan mereka untuk berhijab sedari dini meski belum terkena taklif hukum.

Percayalah kebiasaan baik yang dilakukan sejak dini akan melekat pada anak-anak. Seiring maklumat hijab yang diberikan sesuai porsinya dan terus menerus insya Allah kelak mereka akan memakainya dengan penuh kesadaran dan kebanggaan.

Masyarakat juga memiliki peran penting untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Lingkungan sangat berpengaruh pada pola sikap seseorang. Seseorang yang hidup di lingkungan islami tentu akan berbeda dengan Mereka yang hidup di lingkungan sekuler apalagi jauh dari nilai agama.

Terakhir, negara hendaknya membuat aturan yang menjaga akidah rakyatnya. Menghilangkan segala hal yang bisa merusak akidah rakyat. Mulai dari menyusun kurikulum, membuat aturan sosial, dan sanksi tegas untuk setiap pelanggaran syariat.

Sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara insya Allah akan menghasilkan generasi yang berkepribadian unggul dan stigma buruk untuk Islam dan segala aturannya insya Allah tidak akan ada lagi. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment